Membicakan Negara kekinian memang tak dapat dilepaskan dari berbagai
macam masalah yang sangat kompleks, yang mana dalam hal ini sebuah kompleksitas
masalah kebangsaan yang semakin surut dan menemui gejala-gejala colaps. Dan kalau
ini sampai terjadi maka tidak menutup kemungkinan melahirkan pembusukan politik
(Political decay), serta ketidakpercayaan masyarakat terhadap kekuasaan atau
pemerintah yang ada. Artinya, bahwa
dimata masyarakat kredibilitas pemerintah tidak ada lagi apa-apanya. Sondroma
demikian akibat oragansi dan keserakahan pemerintah atas masyarakat yang tidak
lagi mampu memahami substansi dari keinginan serta aspirasi masyarakat yang
selama ini terpinggirkan dalam semua segmentasi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Melihat kenyataan empiris tersebut, maka disatu sisi mahasiswa
sebagai agent of change, social control, serta pengawal agenda-agenda reformasi
sejak terjadinya refolusi kelas menengah di Indonesia. Hal ini menurut penulis
sedikit meminjam istilah dan Ben Anderson bahwa di Indonesia pergerakan
kemahasiswaan lebih berafeliasi pada sebuah gerakan refolusi.
Sehingga secara historis kalau kita ingin
melakukan print out terhadap setiap gerakan yang pernah dilakukan oleh
mahasiswa dan semua elemen-elemen yang tidak pernah sependapat dengan
kebijakan-kebijakan pemerintah, maka peran mahasiswa dalam percaturan politik
nasional tidaklah kecil peran utama mereka adalah sebagai kekuatan control
sosial dan politik baik yang telah berlangsung, sementara maupun yang akan
datang, yang kesemuanya itu tidak pernah lepas dari agenda pengawasan mahasiswa
sebagai social control. Di samping sebagai komunitas akademik, protes-protes
mahasiswa dalam kerangka kontrol politik ternyata mempunyai kekuatan yang
sangat efektif dalam mengubah kebijakan strategi politik pemerintah. Kenyataan
ini sudah berlangsung beberapa periode, seperti masa sebelum kemerdekaan,
(peristiwa Sumpah Pemuda 1928), masa perjuangan tahun 1945, dan masa setelah
Indonesia merdeka, terutama pada tahun 1966 yang lebih dikenal dengan sebutan
angkatan 66. pada peristiwa-peristiwa tersebut terbukti mahasiswa selalu
menduduki garda depan sebagai posisi sentral dalam memperjuangkan kebenaran,
keadilan serta aspirasi rakyat. Begitu pula yang terjadi ditahun 1998 berbintang
lima yakni Soeharto beserta krino-kroninya, yang sekalipun memang harus diakui
bahwa hampir semua gerakan kemahasiswaan yang dilakukan cenderung dihadapkan
pada berbagai macam akses sosial seperti penanganan dengan cara refresif dari
pihak keamanan yang juga tak terhindar jatuhnya korban dari mahasiswa. Hal
dapat disimak dari sketsa pergerakan mahasiswa yang pernah terjadi di Makassar
misalnya yang jatuhnya korban 6 orang dari mahasiswa UMI Makassar, dengan
kebijakan kenaikkan tarif angkutan kota, belum lagi insiden Trisakti, semanggi
dan lain-lain yang berakibat pada trauma kebangsaan yang amat dramatis seperti yang baru baru terjadi penembakan brutal aparat kepolisian di Bima
akibat kebijakan pemerintah Bima terkait penambangan yang berlokasi di kecamatan
lambu-Bima-NTB.
Ternyata kemudian, gerakan
mahasiswa sepertinya tidak akan pernah berhenti. Hal ini terjadi karena
perjuangan mahasiswa tidak pernah didasari satu kepentingan personal, melainkan
diletakkan pada satu kerangka yang ideal yang berbasis pada aspek moralitas. Sehingga dengan posisi tersebut menjadikan mahasiswa
sebagai mahkluk yang istimewa. Secara biologis istimewa, mereka berada pada
lapisan umur yang memungkinkan mereka berenergic, dan amat cocok untuk
melakukan sebuah perubahan atau perbaikan sebagaimana yang diharapkan oleh
semua komponen dibangsa ini. Namun demikian itu munculnya aksi-aksi demonstrasi
dikalangan mahasiswa pada dasarnya sangat perkaitan dengan persoalan-persoalan
kemasyarakatan, ketidakadilan, atau situasi-situasi kritis yang memungkinkan
untuk disikapi, tapi yang terpenting bahwa landasan utama pergerakan itu adalah
gerakan moral kebangsaan sebagai wujud tanggungjawab intelektualisme demi
kepentingan rakyat.
Dan untuk mempertegas
paradigma pergerakan kemahasiswaan ada baiknya penulis meminjam satu pokok
pikiran yang paling tidak dapat memberikan konstribusi yang konfrehensif bagi
gerak perjuangan mahasiswa itu sendiri, maka menurut Philip Altbach, bahwa
gerakan mahasiswa dinegara-negara di dunia ke tiga termasuk Indonesia akan
mengindikasikan apakah sistem negara bersangkutan demokratis atau tidak. Dalam
berbagai aksi, menunjukkan bahwa pada umumnya demonstrasi mahasiswa merupakan
respon dari sistem politik yang mengalami pembusukkan secara internal, yang
kemudian ini menjadi asumsi gagalnya setiap pembangunan di bangsa ini termasuk
pembangunan politik, yang berimplikasi pada tidak koherennya setiap
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah baik itu lembaga legislatif
maupun eksekutif. Sehingga entry point tersebut menyebabkan munculnya aksi dari
Grass Rootnya yang selalu menjadi korban
dari kebijakan pemerintah. Karena falsafah yang paling melekat pada sistem
pemerintahan kita pada hari ini adalah elit (penguasa) masih menganggap dirinya
sebagai kelompok yang paling benar dalam setiap tindakannya dalam hal ini
kebijakannya.
Dan kalau kita pahami tentang
gerakan mahasiswa dengan berbagai macam tuntutannya dapatlah dilihat bahwa
gelombang gerakan mahasiswa mencapai titik puncaknya pada skala tuntutan yakni
bahwa sejak terjadinya krisis ekonomi dengan interdepndi ekonomi kepada IMF
(International Moneter Fond) yakni sejak tahun 1997, yang kemudian lebih di
kenal sebutan gerakan pengentasan kemiskinan namun krisis ekonomi begitu terasa
bagi masyarakat, dan selanjutnya pada tahun 1998 dengan hegemoni negara atas
otoriter pemerintah menyebabkan pola gerakan berubah menjadi gerakan tuntutan
secara politis. Yang bukan hanya pada perdebatan politis bagi elit-elit politik
akan tetapi gerakan pada saat memungkinkan semua elementer turut larut dalam
situasi politik sehingga tidaklah heran jika golongan santri, buruh, petani,
ormas, orsospol, yang bersifat politis. Ini artinya bahwa mahasiswa sebagai
kelas menengah sangatlah respek atas semua situasi dan kondisi bangsa,
sekalipun harus berhadapan dengan monster yang di pasang oleh pemerintah.
Dan hari ini pemerintah telah
berani menghegemonikan kekuasaannya dengan cara menetapkan kebijakan atas
naiknya tiga patronase ekonomi yang nota bene akan merecoveri jargon-jargon
perekonomian malah yang terjadi adalah terdepresiasinya nilai rupiah samapi
15.000 per 1 U$ Dollar Amerika suatu depresiasi yang mencapai 600% justru dalam
hal ini penulis mencoba melakukan otokritis terhadap pernyataan Laksamana
Sukardi (sebelum ada dalam kabinet), bahwa ia mengatakan hasil pemilu 1997 ciri
pemerintah mencerminkan keserakahan dengan asumsi bahwa hasil dari pemilu
tersebut tidak akan memberikan peluang bagi komponen yang lain untuk melakukan
perbaikkan baik itu perbaikkan ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan lain
sebagainya. Akan tetapi pernyataan demikian itu kembali terbantahkan pada saat
sekarang ini. Yaitu ternyata Laksamana Sukardi jauh lebih serakah dari apa yang
pernah disorotinya. Keserakahan itu dapat dibuktikan dengan cara menjual aset nasional
PT. INDOSAT ke Singapora, ini adalah sebuah kejahatan negara yang tak
beralasan. Belum selesai kasus tersebut, pemerintah kembali menetapkan
kebijakannya dengan menaikkan tiga komponen yakni BBM, Tarif dasar listrik, dan
tarif telepon, yang sama sekali pemerintah tidak pernah melihat kondisi
masyarakat yang sementara dilanda resesi ekonomi yang berkepanjangan.
Situasi demikian semakin
memancing terjadinya gerakan demonstrasi yang bukan hanya dilakukan oleh
kalangan mahasiswa tetapi hampir separoh dari elemen di negeri ini turut aktif
menyuarakan aspirasinya melalui perlemen jalanan mulai ibu-ibu rumah tangga,
buruh, LSM-LSM, Nelayan, sampai pada pelajar dan siswa. Ternyata potret kabinet
yang ada sekarang tidak jauh beda dengan apa yang ada di massa orde baru.
karena terkesan kebijakan tersebut lebih menguntungkan para konglomerat, para
elit politik yang sama sekali tidak pernah berpihak pada kepentingan rakyat. Artinya
apa, bahwa jabatan-jabatan eksekutif maupun legislatif masih teramat jauh dari
sense of crisis and sense of urgency. Yang mestinya pasca reformasi antara pemerintah dengan mahasiswa haruslah
menjadi mitra yang satu dalam mengedepanan developmentalis-integritas yang
menyeluruh dalam semua segmentasi berbangsa dan bernegara. Dan hari ini mahasiswa
telah melakukan koreksi atas kebijakan pemerintah dan kalaupun pemerintah tetap
memaksakan kehendaknya tanpa memperhatikan aspirasi yang berkembang maka hanya
satu kata yang pantas diucapkan oleh mahasiswa bahwa perjuangan tidak akan
pernah selesai sobat. Amien
2014, MAHASISWA
VS HEGEMONI NEGARA
Oleh:
Julyadin Bafadhal ince
Lahir di
Simpasai Sape-Bima, tanggal 28 Oktober 1986.
Jurusan
Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Ilmu Politik Univesitas Islam
Negeri UIN Alauddi Makassa
0 komentar:
Posting Komentar