Narasi dan Ilustrasi (kedip kecil kemuning)
Galau,
resah. Begitulah kira-kira kata yang tepat bagi Tisya, seorang gadis
usia dua puluh berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial alias PSK. Di
ruang tunggu tamu, teman-temannya kelihatan bergembira dan menikmati
hidupnya. Malam-malam mereka sepanjang hari, mengalir, berlayar
mengikuti aliran sungai birahi menuju sebuah muara, berhenti tepat di
tepi dompet tamunya. Tamu lelaki atau tamu sesama wanita, tua atau muda,
semua dibungkus. Yang penting kan dompetnya bisa memenuhi tarif. Tisya
pun menjalani malam-malam yang mengalir itu, tetapi dengan kegalauan.
Sudah lebih sebulan ia nampak lebih terbebani oleh pikirannya.
Pekan
lalu di Sabtu malam, ia mendapat teguran dari Mama Luli karena
penampilannya yang kurang bersemangat. Dalam pandangan Mama Luli sebagai
germo yang pasti mewakili cara pandang pelanggannya, Tisya bisa
dibilang tercantik dan terseksi dari teman-teman yang lain. Banyak tamu
selalu ingin main bersamanya. Bahkan beberapa pelanggan harus menelpon
lebih awal untuk mengetahui jam-jam buking yang masih kosong untuk
Tisya. Dan itupun akhirnya, khusus bagi Tisya terpaksa tidak menerima
order untuk masa pakai semalam atau setengah hari ke atas, ia hanya
menerima hitungan jam, maksimal lima jam, agar pelanggan lain dapat
kesempatan. Agar pelanggan lain tetap dan betah memilih tempat itu. Jika
jam Tisya padat, orderan terpaksa dialihkan ke Ruri , Mina, atau Lala.
Mereka sebenarnya nda punya beda dengan Tisya, hanya pelanggan saja yang
selalu menginginkan Tisya. Tisya juga menjadi kebanggaan tersendiri,
hingga teman-temannya kadang merasa sepi berlayar tanpa kehadiran Tisya
di kompleks lacur itu.
Jelas
saja Mama Luli marah dan menegur Tisya karena tingkahnya bisa
mempengaruhi bisnis hiburan seks terbesar di jalan Nusantara ini. Bisnis
yang ia rintis dengan modal seorang PSK cantik dan belakangan menjadi
almarhumah ibu kandung Tisya. Karena setelah mendapat teguran Tisya
tetap saja kelihatan galau dan resah, maka Mama Luli memanggil Tisya
dengan baik-baik.
“Tisya,
kamu nda boleh terus-terus seperti itu, usaha ini bisa bangkrut. Aku
sudah tua dan walau mungkin Tuhan tidak memanggilku aku tetap saja akan
mati. Hanya kamu yang dapat melanjutkan bisnis ini.”
“Justru itulah Mam... Itulah yang aku pikir selama ini dan membuatku resah dan galau seperti ini.”
“Oh
yaa? Kenapa kamu galau? Karena kamu nda punya anak sebagai penerus
usaha nanti? Makanya, kan saya sering bilang, rajinlah berdoa pada
Tuhan. Tuhan itu Maha Mendengar dan Maha Tau pada siapa Ia patut
menjawab doanya.”
“Mam...
saya bahkan sering berdoa sambil curhat padaNya. Berterus terang bahwa
saya sungguh iri pada si Maryam ibu Al-Masih. Aku minta pada Tuhan
kiranya Ia berkenan mengutus seorang malaikat lagi padaku sebagai mana
ia mengirimnya pada Maryam dahulu. Dan kelak karena anakku dari malaikat
itu tidak mungkin menjadi Nabi, ya cukup menjadi wali, pendeta, bikshu,
atau apalah, boleh juga menjadi seperti Pak Amur imam masjid sebelah.”
“Hmm... artinya, kamu ingin anakmu tidak melanjutkan bisnis ini kan?”
“Belum
tentu Mam! Sejak setahun terakhir aku selalu aktiv memberi personal
bonus satu ronde buat pelanggan tertentu, dengan syarat tanpa jurus
pengaman. Dan sejak itu pula aku membiarkan sperma mereka mendarat dan
bekerja di rahimku. Mungkin saja nanti ada yang jadi anak dan kelak bisa
menjadi penerus bisnis kita. Kalau aku punya anak 5 orang, aku ingin
cukup seorang saja keturunan langsung dari malaikat.”
Begitulah
akhirnya, setiap kali Mama Luli memanggilnya, Tisya bercerita banyak
hal tentang apa yang ia pikirkan. Tetapi inti masalahnya bukan soal iri
pada Maryam dan ingin punya anak malaikat. Tisya bertekad untuk merubah
strategi. Tisya berpikir bahwa bisnis PSK tidak lagi prospektif di
masa-masa mendatang. Memang banyak orang mengaggap bahwa pelacuran tidak
mungkin lenyap dari dunia, karena ia sudah ada sejak jaman bahola.
Namun Tisya melihat ini sebagai bisnis yang komoditi utamanya adalah
seks. Bisnis ini akan melemah, mati perlahan. Ia teringat pada Mas Endro
pelanggan setianya yang paling baik dan berduit, kelaminnya melemah,
mati perlahan, saat permainan mereka mancapai puncaknya.
“Mas
Endro kalo udah loyo kan bisa ditunggu, beberapa menit mekar lagi, atau
bisa datang lagi nanti. Begitu juga dalam bisnis terjadi fluktuasi,
melemah menguat, itu soal wajar dan pasti.” Mama Luli coba mengimbangi
dalam upayanya yang kesekian kali mengembalikan fokus Tisya.
Sesekali
hingar bingar musik masuk menghentak, mendentum menembus ke ruang
transaksi itu ketika pintu kedap tersingkap oleh orang-orang yang masuk
dan keluar. Dari pintu itu pula aroma pengab pembangkit syahwat, hilir
mudik menyusup hingga ke urat saraf. Birahi merayap liar tak bertuan. Di
luar, gerimis dan sepoi-sepoi angin pantai nan romantis dan suara
masjid tak mampu menerobos serta mengintervensi suasana rumah lonte yang
pengap, remang dan mabuk itu.
Tisya
tidak terbujuk oleh Mama Luli. Ia sangat yakin dengan pikirannya
tentang perubahan trend pergaulan beberapa tahun ke depan. Orang-orang
tidak lagi memenuhi hasrat seksnya dengan cara pergi ke pelacuran. Cara
ini mungkin hanya sesekali sebagai selingan atau sekedar mencari suasana
beda. PSK itu makan biaya banyak, dibayar mahal dan hanya dipakai
beberapa jam. Berat diongkoslah. Sekarang trend pergaulan baru sudah
dimulai. Cukup dengan pacaran, hasrat seks sudah bisa berjalan dengan
rutin dan gratis, sampai kapan saja, sampai perasaan bosan. Pacar
diputuskan dan cari pacar baru, ngeseks lagi sampai bosan, begitu
seterusnya. Setahun dapat tiga pacar, hitung saja seorang masa pakainya
empat bulan. Ngseks dua samapai tiga kali seminggu. Aman. Tanpa ongkos
besar. Semua laki dan perempuan menjalaninya.
“Sory
Mam..., dibanding menjadi pacar para lelaki, kelaminku dipakai gratis,
menjadi pelacur memang lebih mulia”, lanjut Tisya pada Mama Luli pada
kesempatan yang lain. “Pelacur menghasilkan sesuatu untuk meneruskan
hidup secara mandiri, tapi menjadi pacar nda punya nilai apa-apa kecuali
kata-kata indah cinta. Garam aja harganya seribu rupiah, masa kelamin
digratisin? Mahalan garam dong? Yah... tapi karena keberadaan PSK
terlanjur terancam dengan trend baru itu, menurut saya Mam, dari
sekarang kita harus perlahan membuka bisnis rumah kost atau rumah
kontrakan.”
“Kenapa rumah kost atau kontrakan?”
“Karena
itulah tempat paling aman bagi mereka lakukan, makanya kita ciptakan
kondisinya dan siapkan fasilitasnya, mereka menyewa atau mengontrak ke
kita. Multi efeknya nanti anak-anak kita tidak perlu lagi menjadi PSK
seperti kita sekarang. Mereka bisa sekolah dengan baik, dapat pacar.
Kalo mau gituan, mereka ngontrak rumah kost kita. Saya nda mau anak saya
nanti jadi PSK. Apapun bentuknya, PSK tetap saja tidak terhormat. Kalo
yang gratis-gratis tetap terhormat karena bukan PSK.”
***
Dengan
senyumnya yang paling manis, Tisya menempelkan spanduk kecil di teras
rumah kostnya: “Tersedia Kamar Kost Pria Wanita. Hub. 085394854940”. Di
beberapa kawasan seputaran kota, rumah kost yang sama milik Tisya sedang
dalam tahap penyelesaian. Beberapa rumah di kompleks juga sudah
dibelinya. Semua atas namanya sebagai pemegang hak waris Mama Luli.
Tisya menarget beberapa lokasi khususnya kawasan kampus dan industri,
menurut pikiran dan pengalamannya berpindah-pindah rumah kost, kedua
kawasan itu sangat digemari kelas menengah ke bawah untuk menyalurkan
birahi atas nama cinta.
Untuk
mendorong percepatan trend di tingkat lokal kotanya, Tisya menciptakan
selera dan citra sensual dalam segala aspek komoditi. Ia melakukan
kemitraan dengan beragam perusahaan khususnya entertain yang mengelola
hiburan. Semua perusahaan yang melakukan promosi atau iklan sedapat
mungkin menggunakan perempuan seksi atau kalimat-kalimat yang setiap
membacanya, menghipnotis pikiran siapa pun ke soal seks. Ia yakin hanya
berapa tahun saja seks akan menguasai pikiran dan gaya hidup. “Seks minded” harus menjadi raja pada pikiran setiap orang.
Video
dan gambar seksi harus dibantu peredarannya lewat handphone, karena
handphone dapat menembus privasi setiap orang. Distribusi busana harus
dikuasai agar ia dapat mengatur hanya design tertentu yang bisa masuk ke
kota itu, design seksi tanpa harus terlalu telanjang. Ia juga menguasai
visualisasi musik-musik MP3, musik harus memakai video clip dan
videonya harus sensual. Ia menciptakan selera musik untuk tontonan bukan
didengar. Segala penjuru Tisya menerjang.
Tisya
memang cerdas dan lihai. Investasinya dimana-mana. Tapi sangat
sederhana. Sedikit sekali orang yang dapat membaca gerakannya. Ia
melakukan gempuran ke segala sudut, seperti setiap kali ia digempur Mas
Endro. Selain itu ia masih menyimpan dendam pada mereka yang ia sebut
sebagai perempuan dan laki-laki gratisan yang memicu munculnya trend
pergaulan baru dan menggeser keberadaan PSK. Padahal dulu karirnya sudah
lumayan, beberapa langkah lagi ia dapat menembus predikat selebritis
dari kalangan PSK. Tapi semuanya sudah berlalu. Saatnya melakukan
serangan balik. Tisya menyiapkan kamar khusus untuknya di setiap rumah
kost miliknya untuk keperluan monitoring dan evaluasi.
Malam
itu Tisya tersenyum-senyum. Baru semingguan bulan puasa dan lebaran
berlalu, sepasang penghuni baru sedang asik-asik di sebelah kamarnya,
mereka baru balik dari kampungnya masing-masing dan malam ini ketemu
lagi dalam periuk kangen. “Aduk terus mang...!” Kata Tisya dalam hati
sambil senyum sendiri. Di rumah kost lain pasti banyak yang lagi ngaduk
juga. Jelas saja Tisya merasa berhasil. Bayangkan, mereka baru saja
selesai berjabat tangan dengan ibu dan ayahnya pake nangis segala, mohon
maaf lahir batin, minal aidin wal faidzin. Hanya sekejab dari keringnya
air mata maaf, malam ini mereka sudah beradu, bukan lagi tangan yang
berjabatan tapi ...****. “Hehehe... nikmatilah malam-malammu wahai
pendusta maaf, wahai penghianat ortu”, demikian kata Tisya dalam hati.
Tisya
lebih senang bermalam di kamar kostnya yang satu ini, karena diam-diam
ia terpikat juga dengan cowok yang tinggal sendiri di kamar sebelah
barat. Cowok ini selalu mengingatkannya pada Mas Endro. Tisya juga masih
ingin gitu-gituan. Ia rencana akan menggarapnya besok pagi. Tisya
tertidur sambil memikirkannya. Esok pagi dengan pakaian tidur produk
pemasarannya, motif kembang pink yang transparan, menyiratkan motif
garis pada CDnya, dan branya yang hitam, berkunjung ke kamar cowok
taksirannya.
Di
dinding kamar itu tertulis sebuah doa: “Tuhan, jika engkau berkehendak,
tolong berikan aku seorang saja perawan, meskipun ia tidak semulia
Maryam ibu Isya Al-Masih.” Tisya spontan mengingat doa yang selalu ia
sampaikan. Dalam pikiran Tisya, mungkin inilah laki-laki malaikat yang
pernah ia minta pada Tuhan. Apa arti doa bagi Tisya yang lihai dan
senior dalam menggoda birahi. Maka pagi di kamar itu mengalir, berlayar
mengikuti aliran sungai birahi menuju sebuah muara, tak perlu berhenti
di tepi dompet.
Makassar 8 Januari 2014
0 komentar:
Posting Komentar