1. Sejarah
a. Asal Usul
Kerajaan Bima
terletak di pantai timur pulau Sumbawa. Asal mula kerajaan ini diperkirakan telah ada sejak periode Hindu. Namun, sayang
sekali, data sejarah berkenaan dengan kerajaan ini pada masa Hindu sangat
minim. Data sejarah tertulis yang tersedia hanya pada fase Bima telah konversi
ke Islam pada tahun 1620 M. Sumber sejarah Bima adalah artefak, prasasti dan
manuskrip. Sumber-sumber tersebut menceritakan tentang fase sejarah sejak
masa prasejarah hingga masuknya Islam. Ada dua prasasti yang ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu berbahasa
Sanskerta dan satunya lagi berbahasa Jawa kuno. Ini menunjukkan bahwa, kedua
bahasa tersebut ternyata juga pernah berkembang di Bima. Selain prasasti, juga banyak terdapat naskah-naskah kuno yang ditulis di
era Islam, sehingga bisa digunakan untuk mengungkap sejarah di era tersebut.
Naskah kuno berbahasa Melayu tersebut menceritakan kehidupan sejak abad ke-17
hingga 20 M. Selain bahasa Melayu, sebenarnya bahasa Bima juga cukup
berkembang, namun, bahasa ini belum mencapai taraf bahasa tulis.
Bo Sangaji Kai, sebuah naskah kuno milik Kerajaan Bima yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu
menceritakan bahwa, sejarah Bima dimulai pada abad ke-14 M. Ketika itu, pulau
Sumbawa diperintah oleh kepala suku yang disebut Ncuhi. Pulau Sumbawa
tersebut terbagi dalam lima wilayah kekuasaan Ncuhi: selatan, barat,
utara, timur, dan tengah. Ncuhi terkuat adalah Ncuhi Dara,
wilayahnya disebut Kampung Dara. Struktur Ncuhi mulai mengalami
perubahan, ketika Indra Zamrud, anak Sang Bima diangkat menjadi Raja Bima
pertama. Selanjutnya, Indra Zamrud menggunakan nama ayahnya, yaitu Bima untuk
menyebut kawasan yang meliputi pulau Sumbawa tersebut.
Berkenaan dengan Zamrud, kisahnya dimulai pada masa kanak-kanak, ketika ia
dikirim ayahnya ke Pulau Sumbawa dengan keranjang bambu. Indra Zamrud sampai dan mendarat di Danau Satonda, dekat
Tambora. Ncuhi Dara sudah mendengar berita kedatangan Indra ini, karena
itu ia datang untuk menyambut dan mengangkatnya sebagai anak. Ketika Indra dewasa, lima Ncuhi di
Sumbawa sepakat mengangkatnya menjadi raja, sedangkan para Ncuhi
tersebut menjadi menteri. Dengan kepemimpinan mereka, Kerajaan Bima terus
berkembang dan menjadi pelabuhan dagang yang cukup diperhitungkan. Kenyataan
ini sejalan dengan catatan yang terdapat dalam Kitab Negarakertagama yang menyebutkan bahwa, Kerajaan
Bima sudah memiliki pelabuhan besar pada tahun 1365 M. Jadi, kisah dalam Bo Sangaji Kai ini sesuai dengan catatan Negarakertagama.
b. Bima dan Islam
Kerajaan
Gowa-Tallo memegang peranan penting dalam proses konversi Bima ke Islam. Saat
itu, pada abad ke 17 M, Belanda telah menguasai sebagian besar jalur
perdagangan bagian barat. Untuk mencegah jalur timur direbut Belanda, maka,
kemudian Gowa mengirim ekspedisi untuk menaklukkan kerajaan pada pantai timur
yang meliputi Lombok dan Bima. Kerajaan-kerajaan ini berhasil ditaklukan dan
diislamkan oleh Gowa pada tahun 1609 M. Seiring dengan masuknya Islam, maka,
peradaban tulis juga berkembang. Oleh karena itu, data sejarah tertulis yang
tersedia banyak berkaitan dengan fase pasca masuknya Bima ke Islam.
Walaupun Bima
telah berhasil diislamkan oleh Gowa, Raja Ruma-ta Mantau Bata Wadu La Ka‘I
gagal mengajak keluarga dan rakyatnya untuk ikut memeluk Islam. Akibatnya,
ketika tentara Gowa ditarik dari Bima pada tahun 1632 M, keluarga raja dan
rakyatnya bangkit menentang raja, dan berhasil menurunkannya dari tahta. Untuk
mengatasi kemelut ini, pada tahun 1633 M, Gowa kembali mengirimkan pasukan ke
Bima. Setelah melalui pertempuran berdarah, Gowa berhasil merestorasi kekuasaan
pemeritahan Islam. Sejak saat itu, gelar raja diganti dengan sultan, dan Islam
secara resmi menjadi agama kerajaan. Ketika berkuasa, para raja juga
menggunakan nama-nama Arab untuk menunjukkan keislamannya.
Relasi dengan Kerajaan Gowa sangat dekat
dan berlangsung selama hampir satu abad setengah. Ketika Gowa kalah di tangan
Belanda, maka Bima akhirnya juga ikut menjadi daerah taklukan Belanda. Peristiwa ini terjadi pada akhir abad ke-18 M (1792 M), di masa Sultan
Abdul Hamid Muhammad Shah berkuasa di Bima. Saat itu, Sultan Abdul Hamid
dipaksa oleh Belanda agar Bima menjadi salah satu wilayah protektorat Belanda.
Dalam relasi
Belanda-Bima, Belanda cenderung untuk tidak terlalu ketat menanamkan pengaruh
dan kekuasaannya, sehingga relasi tersebut berlangsung cukup berimbang. Belanda
tidak mencampuri urusan pergantian kekuasaan di Bima, dan tidak seorangpun
sultan Bima diasingkan oleh Belanda ke tempat lain. Ketika Jepang masuk ke
Bima, relasi juga berlangsung cukup baik dan hampir tanpa insiden. Ada yang
berpendapat bahwa, relas harmonis ini berhasil diraih karena orang-orang Bima
telah banyak belajar dari pengalaman mereka selama berada di bawah kekuasaan
Gowa.
Kesultanan Bima
berakhir ketika Indonesia berhasil meraih kemerdekaan pada tahun 1945. Saat itu, Sultan Muhammad Salahuddin, raja terakhir Bima, lebih memilih
untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Siti Maryam, salah
seorang putri Sultan, menyerahkan bangunan kerajaan kepada pemerintah dan kini
dijadikan museum. Di antara peninggalan yang masih bisa dilihat adalah
mahkota, pedang dan furnitur.
2. Silsilah
Berikut ini adalah
urutan raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Bima:
1.
Jan
wa Mamiyan
2.
Sangyang
Tunggal.
3.
Sangyang Wunang
4.
Maharaja Indra Luka
5.
Batara Indra Manis
6.
Maharaja Indra Falasyara
7.
Maharaja Tunggal Pandita.
8.
Maharaja Batara Indra Ratu Punggawa
Bisa.
9.
Maharaja Pandu Devanata.
10.
Maharaja Sang Bima
11.
Maharaja Sang Aji Dharmawangsa
12.
Maharaja Sang Kang Kula
13.
Maharaja
Sang Rajuna
14.
Maharaja
Sang Deva
15.
Maharaja Deva Indra Zamrud
16.
Maharaja Indra Kamala I.
17.
Maharaja Deva Batara Indra Bima
18.
Maharaja Batara Sang Luka
19.
Batara Mera?
20.
Maharaja Batara Sang Bima
21.
Maharaja Batara Matra Indrawata
22.
Maharaja Matra Indra Tarata
23.
Maharaja Nggampo Java
24.
Maharaja Indra Kumala.
25.
Maharaja Batara Bima Indra Luka
26.
Maharaja
Indra Sri, Maharaja of Bima.
27.
Sangaji Ma Waa Paju Longgi (14.. – 1425
M)
28.
Sangaji Ma Waa Indra Mbojo (1425 –
14..)
29.
Sangaji Ma Waa Bilmana (14.. – 14..)
30.
Sangaji Manggampo Donggo (14.. – 1500)
31.
Ruma-ta Mambora Wa‘a Pili Tuta
(1500-….)
32.
Sangaji Makapiri Solo
33.
Ruma-ta Mawa‘a Andapa
34.
Ruma-ta Mawa‘a La Laba
35.
Mantau La Sadina
36.
Ruma-ta Mambora di Sapaga
37.
Ruma-ta Mambora di Bata Lambu
38.
Ruma-ta Samara
39.
Ruma-ta Mantau Asi Sarise
40.
Ruma-ta Mantau La Limandaru
41.
Mantau La Sadina Abdul Rahim (1609-….)
42.
Mambora di Sapaga (16.. – 1620 M)
43.
Paduka Sri Sultan Abdul Kahir
(1620-1632 M)
44.
Ruma Mantau Asi Peka (1632–1633 M)
45.
Paduka
Sri Sultan Abdul Kahir (1620-1632) dan (1633-1640 M)
46.
Paduka
Sri Sultan Abdul Khair I Sirajuddin Muhammad Shah bin Sultan Abdul Kahar (1640-1682
M).
47.
Sultan
Nuruddin Abu Bakar Ali Shah bin Sultan Abdul Khair Sirajuddin (1682-1687 M)
48.
Sultan
Jamaluddin Inayat Shah bin Sultan Nuruddin Abu Bakar Ali Shah (1687–1695 M)
49.
Sultan
Hasanudin Muhammad Ali Shah bin Sultan Jamaludin (1695-1731 M)
50.
Sultan Alauddin Muhammad Shah
Zillullahi fi al Alam bin Sultan Hasanudin (1731–1748 M)
51.
Sangaji Perempuan Ruma Partiga Sultanah
Kamalat Shah binti Sultan Alauddin (1748-1751 M)
52.
Sultan Abdul Karim Muhammad Shah
Zillullah fi al Alam bin Sultan Alauddin (1751–1773 M)
53.
Sultan Shafiuddin Abdul Hamid Muhammad
Shah Zillullah fi al Alam bin Sri Nawa AbdulKarim (1773–1817 M)
54.
Sultan
Ismail Muhammad Shah Zillullah fi al Alam bin Sultan Shafiuddin Abdul Hamid
(1817-1854 M)
55.
Sultan
Abdullah Muhammad Shah Zillullah fi al Alam bin Sultan Ismail (1854–1868 M)
56.
Sultan Abdul Aziz Zillullah fi al Alam
bin almarhum Sultan Abdullah (1868–1881 M)
57.
Sultan Ibrahim Zillullah fi al Alam bin
Sultan Abdullah (1881-1915 M)
58.
Sultan Muhammad Salahuddin Zillullah fi
al Alam bin Sultan Ibrahim (1915–1951 M)
59.
Sultan
Abdul Khair II Muhammad Shah Zillullah fi al Alam bin Sultan Muhammad
Salahuddin (1951- 2001)
60.
Putra
(Iskandar) Zulkarnain bin Sultan Abdul Khair II Muhammad Shah (Dr Ferry
Zulkarnaen) (2001-sekarang).
3. Periode Pemerintahan
Sejak awal berdirinya hingga saat ini,
telah memerintah sekitar 60 orang raja atau sultan di Kerajaan Bima. Khusus
pada periode Islam, ada 14 orang sultan. Ketika Jepang masuk ke Indonesia, yang
berkuasa di Kerajaan Bima adalah Sultan Muhammad Shalahuddin. Ia meninggal
dunia pada tahun 1951, dan kemudian digantikan oleh anaknya, Abdul Khair II. Di
masa Abdul Khair II ini, ia tidak banyak berkecimpung untuk mengurus Kerajaan
Bima, sebab ia lebih memilih menjadi pegawai di Departemen Dalam Negeri
dan anggota Parlemen. Ketika meninggal dunia, ia digantikan oleh anak
tertuanya, Putra Feri Andi Zulkarnain.
4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah kerajaan Bima mencakup Pulau
Sumbawa dan tanah-tanah timur, seperti Solo, Sawu, Solor, Sumba, Larantuka,
Ende, Manggarai dan Komodo.
5. Struktur Pemerintahan
(Dalam proses pengumpulan data)
Masyarakat Bima merupakan campuran dari
berbagai suku bangsa. Suku asli yang mendiami Bima adalah
orang Donggo. Sebagian besar di antara mereka mendiami daerah dataran tinggi.
Sebelumnya, 0rang-orang Donggo ini juga banyak yang mendiami daerah dataran
rendah, namun, karena terdesak oleh para pendatang yang membawa agama dan
kebudayaan baru, mereka menyingkir ke dataran tinggi. Hal ini didorong oleh
keinginan untuk mempertahankan agama dan tradisi yang telah mereka warisi
secara turun temurun. Kepercayaan
asli orang Donggo adalah animisme, yang mereka sebut dengan Marafu.
Dalam perkembangannya, kepercayaan ini terdesak oleh agama Kristen dan Islam.
Orang Donggo yang menjadi suku asli Bima ini hidup dari bercocok tanam, dengan
sistem peladangan yang berpindah-pindah. Oleh karena itu, rumah mereka juga
berpindah-pindah.
Suku lain yang mendiami Bima adalah
orang Dou Mbojo. Mereka adalah para migran dari daerah Makasar yang datang sekitar
abad ke-14 M. Mereka berbaur dan menikah dengan orang asli Bima dan mendiami
daerah pesisir. Untuk bertahan hidup, mereka bercocok tanam, berdagang dan
menjadi pelaut. Kepercayaan asli orang Dou Mbojo
adalah Makakamba-Makakimbi, sejenis animisme. Sebagai mediator antara
alam gaib dengan manusia, dipilih seorang pemimpin yang disebut Ncuhi Ro
Naka. Secara substantif,
kepercayaan ini tidak berbeda dengan Marafu pada orang Donggo. Mereka
memiliki tradisi ritual pada saat tertentu untuk menghormati arwah leluhur,
dengan mempersembahkan sesajen dan hewan ternak sebagai korban. Upacara ini
dipimpin oleh Ncuhi, ditempat yang disebut Parafu Ra Pamboro.
Selain suku di atas, sejak Islam masuk pada abad ke-16 M, juga terdapat
perkampungan Melayu di Bima.
Berkaitan
dengan kehidupan keagamaan, agama besar pertama yang berkembang adalah Hindu.
Sisa peninggalan peradaban Hindu ini masih bisa dilihat pada prasasti Wadu Pa‘a
yang dipahat Sang Bima saat mengembara ke arah timur pada sekitar pertengahan
abad ke 8 M. Selain prasasti Wadu Pa‘a, juga ditemukan bekas candi di Ncandi
Monggo, prasasti Wadu Tunti di Rasabou Donggo, kuburan kuno Padende dan Sanggu
di Pulau Sangiang. Namun, peninggalan
bersejarah ini tidak mengandung informasi memadai untuk menjelaskan peranan
agama
0 komentar:
Posting Komentar