"Nggusu Waru” Sebuah Kriteria Pemimpin Menurut Budaya Mbojo (Bima-Dompu).
Nggusu Waru adalah delapan sifat/karakteristik yang menyatu
sedemikian kuatnya dalam diri seseorang yang menjadi pemimpin (dumudou,
ama dou, amarasa) (bahasa lokal). Kedelapan sifat/karakteristik itu
sekaligus dapat dijadikan kriteria alternatif bagi seseorang yang akan
dipilih/diangkat menjadi pemimpin, yaitu sebagai berikut :
(Sa’orikaina) “dou maja labo dahu dinadai Ruma Allahu Ta’ala”.
Artinya orang yang merasa malu dan takut kepada allah SWT. Takwa dalam
artian hati-hati dan selektif dalam hidupnya. Ia tidak mau bersikap
sembarangan. Karena ia yakin bahwa meskipun mata kepalanya tidak dapat
melihat allah, tapi mata hatinya yakin bahwa allah SWT pasti
memperhatikan dia, sebagaimana dirumuskan dalam pengertian ihsan, yaitu:
“hendaklah engkau menyembah allah, seakan-akan kau meliha-Nya. Jika
engkau tidak melihat-Nya, maka yakinlah bahwa allah pasti melihat
engkau”. Jadi, kriteria yang satu ini mendasari sekaligus menjiwai
ketujuh sifat yang lainnya. Sifat ma sabua ake, nakapisiku sifat ma
pidumbua ma kalai ede.
(Dua orikaina) “ dou ma bae ade”. Artinya, orang yang memiliki
kapasitas intelektual serta kepekaan jiwa (spiritual) yang mendalam
sehingga dengan mudah menanggapi berbagai permasalahan yang terjadi,
secara rasional dan intuitif serta tidak mudah bersikap emosional dalam
arti negatif. Karena itu, ia selalu mampu mengontrol dirinya sedemikian
rupa sehingga tidak mampu terbawa oleh pemikiran yang bersifat
polaritas: prokontra, kiri-kanan, hitam-putih, dan sejenisnya
(unca-anca, ngu’e-nga’e). Tapi ia mampu mengajukan pikiran yang
partisipatif, akomodatif, dan adaptif. Jadi ia mampu memodernisasi,
menjembatani, mencari titik temu, dari dua/lebih hal yang ekstrim
sedemikian rupa sehingga ia mampu berada “ditengah-tengah”, menjadi
wasit, adil dan santun. Dia tidak mudah terpancing untuk melakukan
kekerasan, ia anti kekerasan sesuai dengan makna instrinsik dari kata
DOMPU atau DOMPO. Bukan secara kebetulan kalau Kabupaten DOMPU itu
secara geografis berada “persis” ditengah-tengah pulau Sumbawa, sehingga
sangat relevan dengan kata DOMPU/DOMPO.
(Tolu orikaina) “dou ma mbani labo disa”. Bukan orang yang “kebe”
(orang yang kebal) karena memiliki ilmu-ilmu tertentu yang bersifat
mistik. Dou mbani labo disa Artinya orang yang memiliki sifat berani
melakukan perubahan (reformasi) kearah yang lebih positif-konstruktif
karena diyakini kebenarannya. Karena itu, ia berani
mempertanggungjawabkan perbuatanya kini disini, di dunia, dihadapan UUD
45 dan pancasila serta dihadapan Allah SWT, yaitu dihari perhitungan
yang amat cermat lagi teliti, di yaumul hisab, nantinya. Dalam al-quran
telah dijelaskan yang artinya “Sesungguhnya aku yakin bahwa sesungguhnya
kelak aku akan menemui hisab oleh dan terhadap diriku sendiri(QS. Al
Haqqah, 69:20). Karena itu tidak ada seorangpun yang mampu
“bersandiwara” seperti yang pernah ia lakukan semasa hidupnya di dunia.
Perhatikan pula QS. Yasin, 36:65, yang artinya “Pada hari itu kami tutup
mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberikan
kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan”.
Jadi, mbani labo disa berarti, berani dan dapat/sanggup berbuat sesuatu,
sesuai dengan aturan main yang ada/berlaku, yang tentu saja ia yakin
akan kebaikan dan kebenaran.
(Upa orikaina), “dou ma lembo ade ro ma na’e sabar”. Artinya orang
yang lapang dada (berjiwa demokratis dan akomodatif) yang mampu
menjembatani hal-hal yang dapat menimbulkan polaritas (pro-kontra).
Dengan berkat kesabarannya ia tidak mudah memihak kepada hal-hal yang
nampaknya secara lahiriah, menguntungkan, padahal justru membahayakan.
Dengan demikian ia, mampu mengatasi berbagai krisis yang terjadi. Karena
ia memiliki tekad/semangat yang membaja dalam meraih tujuan yang lebih
luhur, lebih membahagiakan. Ia mantapkan tekad/semangat dengan
mengatakan” kalembo ade, kana’e saba, kapaja syara’, sia sawa’u, su’u
sawale. Insya Allah, Allah SWT akan menolong siapa saja, selama orang
tersebut memiliki sikap seperti itu. Perhatikan QS. Al-Baqarah, 2: 45
dan 153 yang artinya “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan
sabar dan sholat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat
kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”. Sabar itu selalu pahit pada
awalnya, tetapi manis pada akhirnya. “Sesungguhnya yang demikian itu
termasuk urusan yang patut di utamakan”(QS. Ali Imran, 3:186).
(Lima orikaina), “dou ma ndinga nggahi rawi pahu”. Artinya, orang
yang jujur. Orang yang satu kata dengan perbuatannya (tidak hipokrit),
karena apa yang telah dikatakan atau yang telah disepakati bersama
misalnya, itu pulalah yang akan dilaksanakanbersama secara arif,
sehingga menghasilkan suatu yang sangat positif dan konstruktif, ntau
pahu. Hal itu dimungkinkan karena ia memiliki kemampuan terutama dalam
hal penggunaan kata/kalimat yang secara psikologis dan secara moral
dapat mengantarkan dirinya dan orang lain kepada satunya kata dan
perbuatan. Ungkapan tersebut sesungguhnya merupakan manifestasi dari
orang yang kuat imannya (cia imbina) kepada adanya Allah SWT sebagai
pencipta alam semesta sekaligus sebagai pelindung dan pemeliharanya.
Keimanan seperti itu, harus diyakini dengan hati (kapodaku ba ade),
diucapkan dengan lisan (rentaku ba rera/lera) dan diamalkan dengan
anggota badan (karawiku ba weki/sarumbu). Ketiga-tiganya harus berjalan
secara simultan dan seimbang. Bukan sebaliknya, nggahi wari pahu
(hipokrit). Bukan seperti itu. Karena ia yakin bahwa allah SWT sangat
marah (benci) kepada orang-orang dengan tipe seperti itu. QS. As-Saf,
61: 1-2, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu
mengatakan (sesuatu) apa yang kamu tidak perbuat. Amat besar kebencian
di hadirat Allah SWT (apabila) kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan”.
(Ini orikaina), “dou ma taho hid’i” atau “londo dou ma taho”.
Artinya, orang yang memiliki integritas kepribadian yang kokoh-kuat dan
berwibawa. Dedikasinya tinggi serta loyal akan perjuangan, menegakkan
keadilan dan kebenaran. Jadi, taho hid’i disini, bukan pada penampakan
fisik kejasmaniannya yang tampan, cantik, dan/atau gagah saja. Bukan
itu, itu belum cukup. Tetapi yang sangat penting pada aspek integritas
kepribadian yang sidik (jujur), tidak bohong, amanah (dapat dipercaya),
tidak khianat, tabaliq (transparan dan komunikatif) tidak
sembunyi-sembunyi, serta fatonah (cerdas dan kreatif), tidak
bohong/dungu, sedemikian rupa, sehingga menampakkan pribadi manusia
seutuhnya: proporsional dan harmonis. Harmonis antara fisik-kejasmanian
dan psikhis-kerohanian, secara sempurna. Atau meminjam istilah dalam
tasawuf, ia menjadi “insan kamil”, yaitu manusia yang selalu dalam
“proses menjadi” sempurna. Jadi “dou ma taho hid’i” atau “londo dou ma
taho”. Artinya orang yang seimbang antara struktur tubuhnya yang gagah
(pria) atau cantik (wanita) dan berakhlak baik/akhlakul karimah.
(Pidu orikaina), “dou ma d’i woha dou”. Artinya, orang yang selalu
merasa terpanggil untuk mengambil tanggung jawab, ditengah-tengah
komunitasnya, baik ditingkat lokal, memiliki akses tingkat nasional, dan
syukur-syukur di tingkat Internasional. Dan karenanya, ia selalu dekat
di hati rakyat, ia selalu dicintai rakyatnya. Dengan demikian, ia selalu
unggul dalam setiap kegiatan yang bersifat kompetitif dan yang
melibatkan orang banyak (publik). Betapa tidak, karena ia selalu hadir
di tengah-tengah publik, baik dikala suka maupun dikala duka, dengan
tidak membeda-bedakan status sosial; kaya-miskin, orang kota-orang
gunung, bangsawan-budak (ada dou). Ia berkeyakinan bahwa kesusahan,
penderitaan orang lain, adalah peluang baginya untuk beribadah kepada
Allah SWT, dengan cara memudahkan urusan sedemikian rupa, sehingga orang
itu merasa berbahagia berada di sampingnya.
(Waru orikaina), “dou ma ntau ro wara”. Artinya, orang yang memiliki
kekayaan (maksudnya, bukan hanya memiliki kekayaan bersifat
materi-kebendaan saja, tetapi yang penting, kaya rokhani), sehingga
tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang bersifat materi. Betapapun ia
menghajatkannya. Atau menurut ungkapan yang populer di era roformasi
dewasa ini, ia tidak mau melakukan KKN alias Kuku Keko Ndimba (istilah
lokal). Betapapun ia menghajatkan materi-uang, karena sangat
bertentangan dengan hati nuraninya, bertentangan dengan sifat-sifat yang
terpuji seperti yang tersebutkan di atas. Jadi, dia sudah merasa kaya
secara rokhaniah maupun secara moral. Dengan demikian, ia mampu menilai
bahwa sebuah benda yang berharga itu, tidak ubahnya ibarat sebutir
batu/kerikil yang berserakan disepanjang jalan. Ia sama sekali tidak
terusik untuk memilikinya melebihi porsi yang diperlukannya. Lagipula,
sesuai dengan haknya tidak lebih dari itu.
Tulisan ini disadur oleh Bahtiar Malingi (Dosen IAIN Mataram NTB -
Mahasiswa S2 UNY Yogyakarta)dari sebuah buku karangan sesepuh yang nama
panggilannya guru melo (Abdul Malik Mahmud Hasan) dengan judul “Ngusu
Waru” Sebuah Kriteria Pemimpin Menurut Budaya Lokal Mbojo (Dompu-Bima).
0 komentar:
Posting Komentar