PEREMPUAN DAN POLITIK “Studi tentang Partisipasi Politik Perempuan di DPRD Kabupaten
Bima“
Oleh : Ardiansyah, M.Pd.
A. Latar Belakang
|
Indonesia merupakan Negara pertama di kawasan Asia Pasifik
yang membentuk kementrian khusus untuk meningkatkan peran perempuan. Berbagai
kegiatan perempuan yang muncul sejak pemerintahan Orde baru baik organisasi profesi maupu ikatan
kerja suami, PKK, Kowani, dll. Hal tersebut menunjukkan adanya pertumbuhan
partisipasi politik perempuan yang semakin besar dan telah banyak membantu
melaksankan program-program pemerintah. Berbagai jabatan politis telah dicapai
seperti menjadi menteri, anggota parlemen, ketua partai, bupati, camat, lurah
dll. Tetapi jika dilihat dari jumlah maupun pengaruhnya dalam perumusan kebijaksanaan
nasional sangatlah kecil.
Keterlibatan perempuan dalam urusan politik pada masa kini
sangat berbeda dengan kondisi perempuan dimasa lalu. Perbedaan itu bisa karena
kondisi sosio-kultur maupun perkembangan zaman. Berbagai permasalahan yang
seringkali korbannya adalah para wanita seperti penyiksaan terhadap TKW di luar
negeri, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menunjukkan lemahnya
perlindungan hukum terhadap mereka. Semua permasalahan dan ketidakadilan yang
menimpa kaum hawa inilah yang nampaknya membuat kaum pejuang feminis menjadi
geram. Mereka menginginkan adanya sebuah perlindungan secara legal yang
terformulasikan berupa aturan dalam suatu undang-undang.[2]
Reformasi
politik di indonesia
sebenarnya memberikan harapan bagi kaum perempuan yang selama 32 tahun terpasung hak
politiknya. Gerakan-gerakan perempuan
yang sebelumnya tidak mempunyai energi, muncul dengan berbagai usaha
pemberdayaan hak-hak perempuan, khusunya
hak politik, dalam rangka mengentaskan perempuan dari kubangan politik destruktif.
Namun, era reformasi
ini tidak bisa menghilangkan apatisme dan ketidak berdayaan perempuan yang
selama puluhan tahun dijebloskan oleh sistim politik hegeonik dan repsesif.
Kodisi perang perempuan menjadi sangat buruk bila melihat realitas politik di
tingkat massa, di mana perempuan tidak lebih sebagai objek politik. Mereka
tidak saja menjadi objek politik, tetapi juga apatis terhadap perkembangan
nasib kaumnya. Politik didefinisikan dalam arti laki-laki, yakni sebuah dunia
dengan sistem zero sum game.[3]
Dalam sistem politik kita yang berlaku selama ini,
kebijakan yang berlaku menempatkan perempuan hanya sebagai second persen. Akibatnya nasib perempuan tidak pernah mengalami
perubahan yang segnifikan. Meski sudah lama kita ketahui, cacatan Badan Pusat
Stastistik (BPS) pada tahun 1995 menyatakan bahwa partisipasi perempuan dalam
lembaga tinggi dan tertinggi negara sebesar 7,55% di MPR; 12,60% di DPR; 14,29%
di mahkamah agung; 6,67% di DPA; dan tak ada satu perempuan pan yang ada di
Badan Pemeriksa Keuangan.[4]
Dalam buku Dilema perempuan
di penghujung tahun 1990 John Naisbitt dan Patricia Aburdene mengemukakan
tesis bahwa 1990 adalah dasawarsa perempuan dalam kepemimpinan. Selama 20 tahun
terakhir, diseluruh dunia berjuta-juta perempuan mengambil peran-peran penting
yang sebelumnya di kuasai oleh laki-laki. Mereka tidak
memasuki sektor pekerjaan sosial, tetapi sektor bisnis, manajemen, dan politik.
Tahun1990 tecatat perempuan menguasai sekitar 39,3% dari 14,2 juta pekerjaan
eskutif,administrasi, dan manajemen. Data ini merupakan fenomena yang terjadi
di negara amerika serikat.[5]
Kebijakan politik memang sangat berarti bagi upaya
pemberdayaan perempuan karena melalui keputusan politik ini segala aktifitas
kehidupan dapat ditentukan. Adanya one
gate policy atau kebijakan satu pintu yang digagas Mentri Pemberdayaan
Perempuan untuk mengkoordini kegiatan yang sensitif jender patut didukung oleh
seluruh jajaran eksekutif dalam membuat kebijakan. Kalau sensivitas jender
dapat diresapi oleh seluruh pengambilan kebijakan, maka dengan sendirinya
program kegiatan yang direalisasikan juga akan menghargai sensitivitas jender.[6]
Di indonesia keterlibatan perempuan dalam lever manajemen
partai masih sangat rendah dan sistem ini masih belum dapat dilaksanaka secara
nasional representasi politik perempuan dalam pemilihan umum sangat
menggembirakan, yakni mencapai 52% , namun sayangnya jumlah tersebut tidak
diwakili secara representatif dalam parlemen yang hanya 7,9% .
Di beberapan negara dalam proses pemilihan kandiat untuk anggotan
parlemen masing-masing partai politik memberikan kuota kepada kandidat
perempuan. Seperti di negara Agrentina yang memberikan kuota 30%, Brasil 20%,
India 33%, (Ani Soetjipto: 2000). Pmerintah indonesia melalui kantor Mentri
Negara Pemberdayaan Perempuan telah menyusulkan kuota 30% sebagai langkah
sementara peningkatan perempuan dalam pengambilan kebijakan karena selama
sistem politik masih sangat patriorkis
seperti sekarang ini, langkah tersebut sangat stategis.[7]
Keterlibatan perempuan dibidang politik pada masa reformasi kini
mengalami perluasan peran menjadi anggota parlemen. Keterlibatan perempuan
dalam pemilu legislatif menunjukan adanya kemajuan bagi proses demokrasi yang
berbudaya partisipatoris dan tentu saja hal ini membuat kaum perempuan lebih
kaya akan pemenuhan haknya. Dengan adanya keterlibatan perempuan di Parlemen diharapkan
berbagai aspirasi yang berkaitan tentang masalah-masalah perempuan bisa
“terinstitusionalisasikan” melalui berbagai produk politik yang dibuat.
Keterlibatan perempuan dalam politik
formal di Indonesia mulai memperoleh ruang sejak dikeluarkannya undang-undang
pemilu No. 12/2003, yang menyebutkan pentingnya aksi afirmasi bagi partisipasi
politik perempuan dengan menetapkan jumlah 30% dari seluruh calon partai
politik pada parlemen di tingkat nasional maupun lokal. Aksi afirmasi
seringkali didefinisikan sebagai upaya strategis untuk mempromosikan kesamaan
dan kesempatan bagi kelompok tertentu dalam masyarakat seperti perempuan atau
kelompok minoritas yang kurang terwakili dalam proses pengambilan keputusan.
Pentingnya keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan
rakyat sendiri, bukannya tanpa alasan yang mendasar, melihat bahwa pemenuhan
keterwakilan perempuan pada pemilu 2004 tergolong rendah, hanya mencapai 11.3%.
Angka ini mengalami kenaikan 2% jika dibandingkan dengan pencapaian pada pemilu
1999 sebesar 9% di tingkat nasional
Pemerintah mengeluarkan kebijakan
terbaru tentang pemilu yang memperkuat keterlibatan perempuan dalam politik
formal yaitu UU Pemilu Nomor 10/2008. Pada Pasal 8 ayat (1) butir (d)
menyatakan bahwa partai politik dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi
persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada
kepengurusan partai politik tingkat pusat.
Keterlibatan perempuan dalam Pemilu
dengan kuota 30% dianggap suatu kemenangan bagi para pengusung gender yang
menyerukan Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Lebih jauh, Pasal 66 ayat 2 UU
Nomor 10/2008 juga menyebutkan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol
pada media cetak harian dan media elektronik nasional. Sementara di Pasal 2
ayat 3 UU Parpol disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol harus
menyertakan 30% keterwakilan perempuan. partisipasi politik
perempuan yang menjabat sebagai anggota dewan di kabupaten bima masih tergolong
rendah, padahal UU sudah mensyaratkan agar ada pemenuhan kuota 30% bagi
perempuan di lembaga legislatif. Peran dan kedudukan perempuan sebagai anggota
dewan yang ideal, sehingga
dalam pemilu-pemilu mendatang mampu memenuhi 30 % kuota di lembaga legislatif
seperti yang dinyatakan dalam pasal 65 (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. keterwakilan perempuan di lembaga
legislatif kabupaten bima nusa
tenggara barat berdasarkan Pemilu 2004 dan 2009 yang tidak banyak
meloloskan kaum perempuan di parlemen
hanya terdapat 7,41% atau hanya 28 orang dari 378 orang anggota DPRD di
provinsi dan kabupaten/kota di Nusa Tenggara Barat. Pada Pemilu 2004, perempuan
Nusa Tenggara Barat yang terpilih
menjadi wakil rakyat baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota
sebanyak 15 orang dari total 370 orang.Hal ini menunjukkan
peningkatan dibandingkan dengan pemilu 2009 dibandingkan 2004 belum mencapai
kuota 30 % seperti tercantum dalam Undang-Undang Pemilihan Umum No. 12 stahun
2003 dan UU Pemilihan Umum Nomor 10 tahun 2008.
B.
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah
dari tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
partisipasi
politik perempuan di DPRD Kabupaten Bima.?
2.
Bagaimana
implikasi partisipasi politik
perempuan di DPRD Kabupaten Bima.?
C.
Hipotesis
Berdasarkan
penjabaran di atas bahwa di temukan hipotesis penelitian sebagai jawaban
sementara terhadap masalah yang di anjurkan yaitu; partisipasi politik perempuan di DPRD semakin meningkat dari ketahun
ketahun, namun pada tahun 2004 sampai
2009 ada peningkatannya walaupun pada tahun 2009 agar menurun dari tahun 2004
tetapi tidak menutup kemungkinan partisipasi
perempuan di dunia pilotik semakin meningkat kesadaran untuk berkiprah dalam
actor pengambilan kebijakan dalam publik.
D. Tujuan
dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Untuk
mengetahui bagaimana partisipasi politik perempuan di DPRD Kabupaten BIma.
2. Untuk
mengetahui bagaimana implikasi
partisipasi
politik perempuan di DPRD Kabupaten Bima.
Adapun manfaat dan kegunaan
penelitian adalah:
1.
Manfaat secara teoritis
Dengan adanya penelitian tersebut dapat
membantu masyarakat untuk mengetahui bagaimana keterlibatan perempuan terhadap
percalonan pemilihan legislatif dalam perumusan kebijakan dan Impolementasi Kebijaka
dalam konteks kebijakan publik.
2.
Manfaat secara praktis:
a.
Untuk menambah dan memperdalam
keterampilan peneliti dalam pengambilan kebijakan.
b.
Penelitian ini sangat bermanfaat bagi
penulis selain yang dapat mengetahui sejauh mana pengetahuan mengenai
implementasi kebijakan publik sehingga dalam penerapan dan pengimplementasian
kebijakan di daerah dapat berjalan dengan baik sesuai tujuan NKRI tercinta ini.
E. Tinjauan
Pustaka
Beberapa
literatur yang di temukan sekitar pembahasan ini adalah:
1. Dalam
buku menju kemandirian politik perempuan 2008
siti musdah mulia dalam pengalaman coordinator program voter education
(pendidikan pemilih) bagi perempuan di tingkat grass root. Program tersbut
dilakukan menyongsong pemilu tahun 1999. Ada empat hal yang disimpulkan dari
program voter education (pendidikan pemilih) bagi perempuan yaitu: 1. Telah
terjadi proses depolitisasi yang sengaja dan sistemik terhadap perempuan,
akibatnya, meskipun Indonesia telah merdeka lebih dari setengah abad, namun
perempuan pada umumnya masih buta politik. Mereka umumnya memandang politik sebagai
dunia maskulin, kotor dan kejam. 2. Umumnya perempuan belum mengerti makna
demokrasi dan pentingnya institusi pemilu sebagai sarana untuk membangun masa
depan Indonesia yang demokratis. 3. Umumnya perempuan belum memahami hak asasi
mereka, termasuk hak asasi dalam bidang politik dan potensi-potensi yang
terkandung dibalik hak tersebut. 4. Pendidikan politik bagi perempuan belum
diselenggarakan secara sunggu-sunggu dan terencana. Karen itu, tidak heran
banyak perempuan tidak tertarik, bahkan bersikap apatis terhadap dunia politik.
Fakta dari lapangan bahwa struktur politik Negara
selama ini menegasikan hak poltik perempuan sedemikian rupa, baik secara
individual maupun kolektif. Artinya perempuan mengalami proses depolitisasi
yang luar biasa. Pngalaman riil dalam pendidikan pemilih bagi perempuan bahwa
masalah perempuan dan politik di Indonesia terhimpu sedikitnya dalam tiga isu.
Pertama, keterwakilan perempuan sangat rendah di ruang publik. Kedua, komitmen
partai politik belum sensitif gender sehingga kurang memberikan akses memadai
bagi kepentingan perempuan. Ketiga, masih kuatnya kendala struktural,
nilai-nilai budaya dan interpretasi ajara agama yang bias gender dan
nilai-nilai patriarki.
2. Menurut
ir. Tari siwi utami melakukn perubahan dalam segi politik kemasyarakatan. 1.
Dalam persoalan politik ada beberapa hal yang harus dilakukan diantaranya
adalah dengan memperkuat partisipasi peran perempuan dalam dunia politik. 2.
Persoalan aspek kultural. Pada aspek ini banyak sekali stereotyping yang bersifat socially
constructed dan pemahaman yang misleading
tentang perempuan. Kaum perempuan diidentikan sebagai kelompok yang lemah
lembut imana perannya adalah pada wilaya domestik semata, yakni dapur, sumur
dan kasur.
Mengapa
perempuan selalu terbelakang dari kancah politik.namun secara umumnya
faktor-fakror itu dapat diklafikasikan menjadi: . Pertama, terbatasnya
keterlibatan perempuan dalam prose pengambalan kebijakan publik yang ditetapkan
oleh lembaga-lambaga legislatif, eksekutif, yudikatif, termasuk TNI dan POLRI.
Kedua, masih terdapat kelemahan hubungan kemitraan antara lembaga-lembaga yang
memiliki visi pembedayaan perempuan. Ada kesan bahwa pemerintah dalam membuat
kebijakan politik belum menepatkan kesetaraan gender secara tepat. Sementara
LSM, khususnya yang bergerak dalam aktivitas advokasi perempuan jalan dengan
sendirinya. Sebagai dampaknya, banyak kebijakan dan program pembangunan yang
ditujukan kepada perempuan sering tidak pecan jender, yaitu belum
mempertimbangkan perbedaan pengalaman, aspirasi, dan kepentingan antara
perempuan dan laki-lak. Kebijakan publik sering diformulasikan dengan
mengasumsikan peran perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga sehingga
mengurangi hak-hak perempuan yang akhirnya mengukuhkan bentik-bentuk
ketidaksetaraan dan ketidakadilan jender di segala bidan pembangunan.
3. Dalam buku berdedah tetapi setara 2010 saparinah sadli, buku ini membahas
kajian-kajian perempuan dalam membelah kaum perempuan dengan berbagai bidang
termasuk dalam perlindung HAM perempuan di dalam keluarga seperti kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT), kemiskinan, kesehatan bagi perempuan yang hamil,
melahirkan, kesehatan bayi, anak belita dan yang lebih penting pendidikan
perempuan. Isu perempuan,gender, dan feminism dalam era 1980-an belum di agap
penting. Di Indonesia, sampai saat ini isu perempuan masih dipandang sebagai
“produk impor” dari barat. Walaupun pada awal kemunculan pada era 1980-an,
perempuan masih dipandang sinis oleh kaum laki-laki.
Esensi
gerakan feminismen adalah perjaungan agar perempuan dan laki-laki tidak
didiskriminasi disemua bidang kehidupan. Kita memang berbeda tetapi bukan untuk
dibedahkan.
3.
Milik Dra.Hj. SITI KOMARIAH M.Si. tahun 2011 dengan judul Studi tentang Kedudukan, Peran, dan Partisipasi
Politik Perempuan di Lembaga Legislatif Jawa Barat. Penelitian
ini merupakan penelitian tahap ke III yang bertujuan memberi gambaran dan mengidentifikasi
kedudukan, peran, serta partisipasi politik perempuan yang menjabat sebagai
anggota dewan di DPRD I Propinsi Jawa Barat.Masalah penelitian ini adalah untuk
melihat partisipasi perempuan dalam politik yang masih
tergolong rendah, padahal UU sudah mensyaratkan agar ada pemenuhan quota 30% bagi perempuan di lembaga legislatif. Penelitian ini pada khususnya memberikan masukan atau rekomendasi terhadap Undang-undang Pemilu dan Undang-undang Parpol yang akan disusun oleh DPR di masa mendatang. Berdasarkan hasil penelitian terkait dengan peran, kedudukan, dan partisipasi politik perempuan di lembaga legislatif Jawa Barat antara lain merekomendasikan bahwa: Pertama, tidak tercapainya keterwakilan 30% perempuan di DPRD Jawa Barat disebabkan oleh faktor yuridis dan teknis.Dilihat dari aspek yuridis, keterwakilan perempuan hanya diatur sebatas pada pencalonan saja sehingga tidak menjamin pencapaian 30% keterwakilan perempuan di DPRD Jawa Barat. Ke depan Undang-undang tentang Pemilihan Umum yang mengatur ketentuan affirmative haruslah secara gradual dirumuskan dalam bahasa hukum yang cukup tegas. Apabila dalam UU. No 10 tahun 2008 tentang Pemilu diatur sebatas pada pencalonan, maka pada UU terkait pada masa yang akan datang harus dirumuskan sampai pada pengaturan yang menjamin keterwakilan perempuan 30%. Kedua, persyaratan terkait dengan pengaturan keterwakilan 30% perempuan baik pada rekrutmen perempuan bakal calon maupun pada kepengurusan yang harus memenuhi 30% keterwakilan perempuan ini hendaknya dirumuskan secara tegas dengan mengatur pula tentang sanksi pada partai politik yang tidak mengindahkan peraturan tersebut.Jangan sampai partai politik yang tidak mencapai kuota 30%, sanksinya ”banci” yakni hanya diumumkan di media massa, sehingga partai biasa-biasa saja tidak diloloskan untuk partai
peserta pemilu. Ketiga, peran KPU belum maksimal dalam memberikan sanksi kepada partai politik yang tidak mencapai kuota 30%. Seharusnya KPU memiliki kewenangan mengembalikan daftar nama jika tidak memenuhi ketentuan 30% dan penempatan selang seling (zipper system). Keempat, secara teknis di lapangan menunjukkan bahwa partai-partai baru dalam melakukan rekrutmen bakal calon legislatif masih tidak mengindahkan ketentuan UU yang berlaku. Rekrutmen menurut UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu, juga menurut UU No. 2 tahun 2008 tentang partai politik harus dilakukan secara terbuka dan demokratis, namun
praktek di lapangan menunjukkan berbagai penyimpangan dari yang diatur oleh Undang-undang. Untuk itu, khususnya pada UU partai politik haruslah diatur adanya pengawasan dari Pusat dan/atau dari struktur kepengurusan partai di atasnya secara hierarkis terkait dengan pelaksanaan rekrutmen bakal calon legislatif.
tergolong rendah, padahal UU sudah mensyaratkan agar ada pemenuhan quota 30% bagi perempuan di lembaga legislatif. Penelitian ini pada khususnya memberikan masukan atau rekomendasi terhadap Undang-undang Pemilu dan Undang-undang Parpol yang akan disusun oleh DPR di masa mendatang. Berdasarkan hasil penelitian terkait dengan peran, kedudukan, dan partisipasi politik perempuan di lembaga legislatif Jawa Barat antara lain merekomendasikan bahwa: Pertama, tidak tercapainya keterwakilan 30% perempuan di DPRD Jawa Barat disebabkan oleh faktor yuridis dan teknis.Dilihat dari aspek yuridis, keterwakilan perempuan hanya diatur sebatas pada pencalonan saja sehingga tidak menjamin pencapaian 30% keterwakilan perempuan di DPRD Jawa Barat. Ke depan Undang-undang tentang Pemilihan Umum yang mengatur ketentuan affirmative haruslah secara gradual dirumuskan dalam bahasa hukum yang cukup tegas. Apabila dalam UU. No 10 tahun 2008 tentang Pemilu diatur sebatas pada pencalonan, maka pada UU terkait pada masa yang akan datang harus dirumuskan sampai pada pengaturan yang menjamin keterwakilan perempuan 30%. Kedua, persyaratan terkait dengan pengaturan keterwakilan 30% perempuan baik pada rekrutmen perempuan bakal calon maupun pada kepengurusan yang harus memenuhi 30% keterwakilan perempuan ini hendaknya dirumuskan secara tegas dengan mengatur pula tentang sanksi pada partai politik yang tidak mengindahkan peraturan tersebut.Jangan sampai partai politik yang tidak mencapai kuota 30%, sanksinya ”banci” yakni hanya diumumkan di media massa, sehingga partai biasa-biasa saja tidak diloloskan untuk partai
peserta pemilu. Ketiga, peran KPU belum maksimal dalam memberikan sanksi kepada partai politik yang tidak mencapai kuota 30%. Seharusnya KPU memiliki kewenangan mengembalikan daftar nama jika tidak memenuhi ketentuan 30% dan penempatan selang seling (zipper system). Keempat, secara teknis di lapangan menunjukkan bahwa partai-partai baru dalam melakukan rekrutmen bakal calon legislatif masih tidak mengindahkan ketentuan UU yang berlaku. Rekrutmen menurut UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu, juga menurut UU No. 2 tahun 2008 tentang partai politik harus dilakukan secara terbuka dan demokratis, namun
praktek di lapangan menunjukkan berbagai penyimpangan dari yang diatur oleh Undang-undang. Untuk itu, khususnya pada UU partai politik haruslah diatur adanya pengawasan dari Pusat dan/atau dari struktur kepengurusan partai di atasnya secara hierarkis terkait dengan pelaksanaan rekrutmen bakal calon legislatif.
F.
Kerangka Teori
1.
Teori
gender
Gender merupakan bangunan sosial dan kultural yang
pada akhirnya membedahkan antara karakteristik maskulin dan feminin. Maskulin
dan feminin bersifat relatif, tergantung pada konteks sosial budaya masyarakat
yang bersangkutan. Konsep gender muncul karena para ilmuwan sosial melihat
bahwan subordinasi perempuan merupakan hal yang umum dan berjalan
bertahun-tahun dengan keuntungan di pihak laki-laki sehingga nyaris menjadi
sebuah ideologi.[8]
Ideologi gender merupakan ideologi yang
mengkotak-kotakkan peran dan posisi ideal perempuan di dalam rumah tangga dan
masyarakat. Peran ideal inilah yang akhirnya menjadi sesuatu yang baku dan
stereotip.
Ideologi gender seringkali memojokkan perempuan
kedalam sifat feminim, yaitu karakteristik kepantasan yang diaggap sesuai
dengan keperempuanannya dampaknya ialah segala sesuatu yang sejalan dengan
ideologi gender mendatangkan perasan aman bagi sebagian terbesar laki-laki dan
sebagian kecil perempuan. Karakteristik kepantasan yang berlaku di dalam
masyarakat, dan semakin baku ini, berkaitan erat dengan suatu kebudayaan setiap
daerah karena gender yang berlaku dalam suatu masyarakat ditentukan oleh
pandangan masyarakat yang bersangkutan.
Gender dapat berlangsung di dalam masyarakat karena
didukung oleh sistem kepercayan gender. sistem kepercayaan gender ini
didasarkan pada sejumlah kepercayaan dan pendapat tentang laki-laki yang
maskulin, dan perempuan yang feminin. Sistem ini mencakup sikap terhadap peran
dan prilaku yang baku dan sesuai bagi laki-laki dan perempuan. Pola baku inilah
yang akhirnya membentuk suatu stereotip, suatu perkotak-kotakan peran laki-laki dan
perempuan. Menurut Deaux dan Kite menyatakan bahwa sistem kepercayaan tentang
bagaimana “sebernanya” laki-laki dan perempuan, serta bagaimana “seharusnya”
laki-laki dan perempuan bersikap.
Selanjutnya deaux dan kite menunjukan bahwa setiap
masyarakat memiliki citra yang jelas tentang bagaimana “seharusnya”laki-laki
dan perempuan, suatu penelitian yang dilakukan oleh Williams dan Best (yang
dikutip oleh deaux dan kite) di 30 negara menunjukan adanya kesamaan pandangan
tentang atribut laki-laki dan perempuan. Penelitian ini membuktikan bahwa
meskipun gender tidak brsifat umum (universal), tetapi generalisasi atas
pandangan kultural tetap ada. Pada umumnya laki-laki dipandang lebih kuat dan
aktif, mempunyai keinginan yang besar untuk mencapai sesuatu, memiliki
dominasi, otonomi, dan agresi. Sebaliknya, perempuan dipandang sebagai makluk
yang lemahdan pasif. Mereka bersifat mengalah dan afiliatifserta lebih
memperhtikan lingkungan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa
sistem kepercayaan masyarakat tentang gender lebih merupakan asumsi yang
kebenaranya dapat diterima sebagian saja karna kepercayaan orang dalam suatu
masyarakat tidak selalu dapat menunjukkan kenyataan yang akurat dan yang
sesungguhnya. Oleh karena itu, ada kemungkinan mengandung kesalahan
interprestasi dan/atau pandangan yang bias (biased
perception). Adalah benar bahwa beberapa aspek stereotip gender dan sistem
kepercayaan masyarakat berdasarkan pada kenyataan yang dialami atau yang
sesungguhnya terjadi didalam masyarakat. Namun, tidak semua aspek yang diberi
label maskulin untuk laki-laki, dan label feminin untuk perempuan dapat
diterima dan berlaku untuk masyarakat di Indonesia khususnya di Yogyakarta, dan
terlebih lagi dilingkungan PNS.[9]
Pada era globalisasi, dunia kerja tidak lagi
membutuhkan kekuatan fisik(otot), tetapi lebih pada kebutuhan kemampuan
berpikir (otak). Dengan semakin terbukanya kesepaanya bagi kemampuan berpikir
perempuan cenderung setara dengan kemampuan berpikir laki-laki. Kenyataan
dengan demikian menujukan bahwa pelabelan feminindan masku;in menjadi kurng
penting artinya. Walau demikin, gender masih berlaku pada perkerjaan produktif
yang berupah, terutama dalam promosi karier. Di dalam promosi karier, terutama
pada jabatan-jabatan struktural yang memiliki didaerah operasional, seringkali
laki-lakilah yang ditugaskan. Pada perkerjaan kerumah tanggaan, berlakunya
ideologi gender juga mengalami perubahan dengan semakin sulit mencari peran
pengganti ibu sehingga mendorong laki-laki mulai membantu perkerjaan domestik.
Pelabelan ini hanya dapat berlaku pada kelas priayi
konversional (priayi dalam pengertian adik-adik dan kerabat raja) dan bukan
pada masyarakat kebanyakan, termasuk kelompok PNS. Pada kelas priayi
konversional, perempuan dituntur untuk dapat menunjukan sikap, perilaku, dan
peran seperti yang dituntur oleh kepercayaan gender yaitu sifat-sifat feminine.
Pada kelompok PNS, perempuan berkerja pada sektor publik memperoleh upah, dan
dapat menjadi pemimpin walaupun pada mengenbangkan sifat androgini. Pada sifat
ini, seseorang dituntut memiliki dua sifat sekaligus yaitu sifat-sifat feminine
dan maskulin.[10]
2.
Teori
peran
Secara sosiologis peran sulit dibedakan secara tegas
dengan status. Keduanya merupakan kesatuan. Peran dan status hanya dapat
dipisahkan secara teoritis, teapi sangat sulit dibedakan dalam kenyataan.
Soedjitto menjelaskan bahwa peran berfungsi untuk menjalankan
hak dan kewjiban, tetapi status lebih merupakan himpuan dari hak dan kewajiban
tersebut. Dalam studi ini peran lebih mengarah pada peran gender. Perbedaan
peran gender biasanya dipelajari melalui sosialisasi. Sosialisasi yang
berlangsung baik didalam keluarga, sekolah maupun media massa, menjadi sangat
penting dalam mempengaruhi dan menentukan status anak perempuan dan laki-laki
secara berbeda. Dari sini munculah apa
yang diebut sebagai stereotip, yakni suatu pembedaan status dan peran ang
diharapkan dari dua jenis kelamin. Misalnya bahwa laki-laki dianggap mempunyai
intelektualitas dan emosi yang lebih tinggi, serta menginginkan kerja yang
penuh arti dengan harapan- harapan yang lebih besar dari pada perempuan.
Stereotip semacam ini telah dikembangkan melalui penelitian yang sistimatis di
lapangan. Stereotip inilah yang menentukan status, dan pelaksanaan status
menentukan peran.
Berdasarkan penelitian tersebut terlihat bahwa laki-laki
dan perempuan memiliki karakteristik psikologis yang berbeda. Karna mereka
diharapkan menjadi merbeda, gerak keduanya menjadi sangat terbatas. Mislnya, pandangan-pandangan
stereotip bahwa peran pemimpin mengandung unsure-unsur dominasi kompetisi,
agresi, rasio, ambisi dan lain sebagainya selama pandangan stereotip terhadap
perempuan adalah non kompotitif, non agregesif, emesional, dan tidak ambisius,
maka selama itu pula akses perempuan untuk dapat menjadi pemimpin sangat kecil.
Walaupun peran tersebut normatif. Namun secara
historis dapat berubah sehingga harapan terhadap perempuan dan peranan
perempuan pada hari ini aka berbeda dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu.
Yang mula-mula tidak dipertanyakan di dalam kehidupan, kemudian menjadi bahan
perdebatan.[11]
Menurut manning (1996) suatu masalah yang berkaitan dengan teori peran akan
meandang perbedaan seksual, dan setuasi perempuan versus laki-laki secara
abstrak.
3.
Teori
Sosialisasi
Teori sosialisasi di dalam kamus sosialogi,
sosialisasi diartikan sebagai suatu proses sosial yang dilakukan, sehingga
individu dapat diintergrasikan kedalam kelompok sosial dengan mempelajari
kebudayaan kelompok dan peranannya didalam kelompok tersebut. Oleh karena itu,
sosialisasi merupakan suatu proses sepanjang hidup (along life process). Suatu fase yang sangat penting terjadi ketikaa
masa kanak-kanak. Pada fase itu nilai-nilai, sikap, keahlian, dan peranan
diinternalisasikan pada anak sehingga membentuk kepribadian anak tersebut.
Proses ini sangat esensial dalam membentuk dirinya untuk memgembangkan suatu
konsepsi tentang dirinya sebagai “suatu person” melalui prilaku dan sikap orang
lain. Melalui pelajaran tersebut ia dapat memainkan berbagai macam peran sosial
yang akhirnya akan mengembangtumbuhkan kepribadian sosial.[12]
Proses sosialisasi dapat berlangsung di dalam maupun di luar rumah. Melalui
proses ini seseorang di harapkan dapat mengetahui bagaimana seharusnya ia
bersikap dan tingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan di dalam lingkungan
sosial budayanya. Di dalam rumah, lembaga yang mempunyai hak dan bertangguh
jawab dalam proses sosialisasi adalah keluarga.
Posisi dan status sosial ekonomi keluarga yang satu
tentu berbedah dengan yang lain. Inilah yang menimbulkan adanya kelas-kelas
sosial di dalam masyarakat. Secara lebih khusus, Schneider (1994) membedahkan
sosialisasi antara keluarga-keluarga dari kelas-kelas sosial yang berlainan.
Sedangkan menurut Berger dan Luckmann (1966)
menunjukan bahwa di dalam sosialisasi primer tidak ada masalah identifikasi
karena orang-orang yang berpengaruh tidk dapat dipilih, dan anak harus menerimah
sebagaimana adanya. Maka dari itu, sesuatu yang diinternalisasikan melalui
sosialisasi primer akan sangat kuat tertanam di dalam kesadaran anak. Ia akan
selalu teringat apa yang perna di ajakan oleh orang terdekatnya tentang dunia
kenyataan yang harus di hadapai. Adapun isi yang diinternalisasikan dalam sosialisasikan primer antara masyarakat
satu dengan masyarakat lain tidak selalu sama. Tetapi ada suatu hal yang sama
yaitu bahasa, dengan bahasa maka motivasi dan interpretasi didefinisikan secara
kelembagaan.
Dalam hal studi gender, menunjukan bahwa para
fiminis telah menemukan bahwa studi sosialisasi secara ekstrem bermanfat untuk
memahami bagaimana seseorang tumbuh sebagai person.[13]
Meskipun temuan lewat studi tentang sosialisasi
peranan seks sangat terbatas, tetapi hal ini merupakan konsep yang bernilai
dalam memahami, dengan cara bagaimana harapan-harapan kultural (cultural expectation) tentang gender
ditransmisikan pada individu di dalam suatu masyarakat, oleh karena pada
sosialisasi dapat dengan mudah diobservasi dalam pengalaman individu maupun
kelompok, maka studi sosilisasi sangat bermanfaat dalam mengkaitkan hubungan
antara individu denga masyarakat di mana mereka hidup.
Dengan sosialisasi, pemahaman tentang normal
kepantasan berdasarkan perbedaan seks yang dianut oleh keluarga dan warga
mayarakat lain secara pelan tapi pasti, tertanam kuat di dalam kesadaran anak.
Jika hal ini terjadi di dalam masyarakat yang patrilineal, maka pemahaman
normal yang lebih mementingkan laki-laki akan tertamam kuat, baik pada anak
laki-laki maupun anak perempuan. Dampaknya adalah bahwa dunia kerja akan
mengikuti norma kepantasa yang berlaku di dalam mayarakat.[14]
4.
Teori
perubahan sosial dan partisipasi
Pada dasarnya perubahan sosial adalah sebagai
perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Dari
pengertian yang terjdi dalam perubhan struktur adalah perubahan jumlah
penduduk, perubahan status sosial, perubahan lapisan sosial. Sedangkan
perubahan dalam fungsi sosial antara lain ayah di rumah dan ibu berkerja. Di
inilah terjadi fungsi ayah dan ibu.
Beberapa definisi perubahan sosial yaitu; Menurut
Gillin perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah
di terimah, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material,
komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi atau penemuan-penemuan
baru dalam masyarakat.
Menurut Mac Iver perubahan sosial adalah sebagai
perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan keseimbangan
dalam hubungan social.
Menurut Selo Soemardjan perubahan sosial adalah
segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu
masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Termasuk dalam nilai-nilai,
sikap, dan pola prilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Ada dua teori utama mengenai
perubahan sosial
yaitu
1. Teori
siklus menjelaskan bahwa perubahan sosial bersifat siklus artinya berputar
melingkar. Menurut teori ini perubahan sosial merupakan suatu yang tidak bisa
direncanakan atau diarahkan kesuatu titik tertentu tetapi berputar-putar
menurut pola melingkar. Pandangan teori ini perubahan sosial sebagai suatu hal
yang berulang-ulang apa yang terjadi sekarang akan memiliki kasamaan atau
kemiripan dengan apa yang terjadi dimasa dulu. Di dalam pola perubahan ini
tidak ada proses perubahan masyarakat secara bertahap sehingga batas-batas
antara pola kehidupan primitif, tradisional, dan modern tidak jelas. Perubahan
siklus merupakan perubahan yang menyerupai spiral.
Pandangan teori
siklus sebenarnya telah dianut oleh bangsa Yunani, romawi, dan cina kuno jauh
sebelum ilmu social modern lahir. Mereka membayangkan perjalanan hidup manusia
pada dasrnya terperangkap dalam lingkara sejarah yang tidak menentuh.
Menurut seorang
filsif sosial jerman, Oswald Spengler berpandanga bahwa setiap peradaban besar
menjalani proses penahapan kelahiran, pertumbuhan, dan keturunan. Perubahan sosial
akan kembali pada tahap kelahiran. Kita dapat melihat kebenaran dati teori
siklus dari kenyataan social sekarang. Misalnya dari prilaku model pakaian, gaya hidup kepemimpinan
politik. sebagai contoh dalam perubahan model pakaian terbaru kadang-kadang
merupakan tiruan atu mengulang model pakaian jaman dulu. Dalam bidang politik
bersifat siklus sering kita mlihat upacara-upacara social ymg dilakukan
pemimpin suku di zaman kuno di lakukn kembali oleh pemimpin politik masyarakat
modern. Misalnya melakukan upacara yang bersifat memujah dan memeliharan
tradisi turun-menurun.
2. Teori perkembangan atau linier
menurut teori ini perubahan sosial akan menujuh kesuatu titik tujauan
tertentuh, penganut teori ini percaya bahwa perubahan sosial bisa direncanakan
atau diarahkan kesuatu tujun tertentu. Masyarakat berkembang dari tradisional
menuju masyarakat kompleks modern. Pandangan teori ini dikembangkan oleh para
ahkin sosial sejak abad ke-18 bersamaan dengan munculnya zaman pencerahan di
eropa yang berkeinginan masyarakat lebih maju. Teori linier dapat dibagi
menjadi 2 yairu; teori evalusi dan teori revalusi. Teori evalusi melihat
perubahan secara lambat. Sedangkan teori revolusi melihat perubahan secara
sangat drastis. Merunut teori revolusi bahwa masyarakat berkembang dari
primitif, tradisional dan bersahaja menuju masyarakat modern.[15]
Sedangkan pada Teori Partisipasi adalah Pelaksanaan suatu kegiatan tidak
terlepas dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang akan dicapai harus
ada dukungan serta keikutsertaan dari setiap anggotanya baik secara
mental,maupun secara emosional. Keterlibatan atau keikutsertaan seseorang dalam
suatu kegiatan merupakan partisipasi seseorang yang patut dihargai, serta
diharapkan ada manfaat serta tujuan atas keikutsertaan tersebut. Partisipasi
ditandai dengan keterlibatan seseorang dalam suatu kelompok baik moril maupun
materi, serta adanya rasa tanggung jawab.
Pengertian
Partisipasi Dilihat dari segi etimologi, kata partisipasi berasal dari bahasa
Belanda”Participare”. Dalam bahasa Inggris kata partisipasi adalah
”participations”berasal dari bahasa latin yaitu ”participatio”. Perkataan
participare terdiri dar idua suku kata, yaitu part dan cipare. Kata part
artinya bagian dan kata cipare artinya ambil. Jika dua suku kata tersebut
disatukan berarti ambil bagian, turut serta. Dalam hal ini turut serta atau
bagian, misalnya siswa yang memiliki hobi atau kesenangan bermain sepakbola di
sekolah. Melalui berbagi aktivitas gerak yangmemiliki tujuan kearah yang lebih
baik. yaitu dengan ditandainya ada perubahandalam hal kognitif, afektif, dan
psikomotor siswa.
Menurut Moelyarto Tjokrowinoto Partisipasi adalah
penyetaraan mental dan emosi dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk
mengembangkan daya pikir dan perasaan mereka bagi tercapainya tujuan-tujuan,
bersama bertanggung jawab terhadap tujuan tersebut.
Menurut Kafler yang
dikutif oleh Mulyono mengenai partisipasi adalah keikutsertaan seseorang dalam
suatu kegiatan yang mencurahkan baik secara fisik maupun mental dan emosional.
partisipasi fisik merupakan partisipasi yang langsung ikut serta dalam kegiatan
tersebut, sedangkan partisipasi secara mental dan emosional merupakan
partisipasi dengan memberikan saran, pemikiran, gagasan, dan aspek mental
lainnya yang menunjang tujuan yang diharapkan. Sebenarnya partisipasi adalah
suatu gejala demokratis dimana orang dilibatkan dan diikutsertakan dalam
perencanaan serta pelaksanaan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai
tingkat kematangan dan tingkat kewajiban. Partisipasi itu menjadi lebih baik
dalam bidang-bidang fisik maupun bidang mental serta penentuan kebijaksanaan.
Dari pengertian partisipasi di atas dapat diambil suatu
kegiatan tertentu. Bukan saja hanya ikut serta tetapi keterlibatan emosional,
mental serta fisik anggota dalam memberikan saran ide, kritik, serta inisiatif
terhadap kegiatan-kegitan yang dilaksanakan. Serta mendukung pencapaian tujuan
serta bertanggungjawab atas keterlibatannya. Prinsip partisipasi adalah
masyarakat berperan secara aktifdalam proses atau alur tahapan program dan
pengawasannya, mulai dari tahapsosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan
pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam
bentuk materil.
Menurut Verhangen menyatakan bahwa,“partisipasi merupakan
suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan
pembagian: kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat”. Theodorson dalam
Mardikanto mengemukakan bahwa “dalam pengertian sehari-hari, partisipasi
merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individu atau warga
masyarakat) dalam suatu kegiatan tertentu”. Keikutsertaan atau keterlibatan
yang dimaksud di sini bukanlah bersifat pasif tetapi secara aktif ditujukan
oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, partisipasi akan lebih tepat diartikan
sebagi keikutsertaan seseorang di dalam suatu kelompok sosial untuk mengambil
bagian dalam kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya sendiri.
Menurut konsep proses pendidikan,
partisipasi merupakan bentuk tanggapan atau responsesatas rangsangan-rangsangan
yang diberikan yang dalam hal ini, tanggapanmerupakan fungsi dari manfaat (rewards) yang dapat diharapkan.
Adapu Tahap-Tahap Partisipasi adalah
a. Tahap partisipasi dalam pengambilan
keputusan Pada umumnya, setiap program pembangunan masyarakat (termasuk
pemanfaatan sumber daya lokal dan alokasi anggarannya) selalu ditetapkan
sendiri oleh pemerintah pusat, yang dalam hal ini lebih mencerminkan sifat kebutuhan
kelompok-kelompok elit yang berkuasa dan kurang mencerminkan keinginan dan
kebutuhan masyarakat banyak. Karena itu, partisipasi dalam pembangunan perlu
ditumbuhkan melalui dibukanya forum yang memungkinkan masyarakat banyak
berpartisipasi langsung di dalam proses pengambilan keputusan tentang
program-program pembangunan di wilayah setempat atau di tingkat local.
b. Tahap partisipasi dalam perencanaan, Partisipasi
dalam tahap perencanaan merupakan tahapan yang paling tinggi tingkatannya
diukur dari derajat keterlibatannya. Dalam tahap perencanaan, diajak turut
membuat keputusan yang mencakup merumusan tujuan, maksud dan target.[16]
5.
Teori
patriarchy dan segmentasi pasar kerja
Billing dan Alvesson menggunakan konsep patriarchy (partiarkat) untuk
menggambarkan bentuk organisasi yang khusus, yakni rumah tangga, di mana ayah
memiliki dominasi terhadap seluruh anggota keluarga lain dalam hubungannya
dengan keluarga besar (extended family),
serta mengontrol semua produksi ekonomi rumah tangga.
Dengan demikian, patriorkat
merupakan pencerminan suatu hokum sang ayah, dan hokum tersebut berlaku
terdapat individu lain yang berada di dalam suatu keluarga inti (nuclear family). Hal ini tidak terbatas
pada pencerminan hokum di dalam keluarga saja tetapi mencakup seluruh otoritas
laki-laki sebagai ekspresi dari ayah secara simbolik. Konsep patriarkat ii juga
mencakup dominasi pada tingkat sosial di mana biasanya laki-laki memegang
posisi kekuasaan politik, sosial, ekonomi, dan kehidupan kerja, sementara
perempuan tidak mempunyai akses untuk posisi tersebut. Meski demikian, bukan
berarti bahwa perempuan sama sekali tidak mempunyai kekuasaan (power less) atau kehilangan
sumber-sumber pengaruh dan hak-haknya secara keseluruhan. Jika ada perempun yang
dapat mempunyai kekuasaan, ia tetap berada di bawah kontrol laki-laki, dan
jumlahnya pun hanya sedikit.
Menurut mileet laki-laki dan
perempuan dilukiskan sebagai makhluk yang berada di dalam hubungan
domonasi-subordinasi. Patriarchy didefinisikan
sebagai struktur dari subordinasi dan dominasi. Pada dasarnya dijelasan
mengenai patriarchy di atas mencakup
hierarki hubungan sosial dan intitusi di mana laki-laki mempunyai kemampuan
untuk mendominasi perempuan. Walaupun begitu, sejumlah penganut teori patriarchy tidak menggunakan model yang
universal, melainkan bahwa setiap masyarakat memiliki bentuk dn tipe yang
berbeda-beda.[17]
Patriarkat telah dibangun lama
sebelum masa kapitalisme, dan dipindahkan begitu saja dalam masyarakat industry
melalui sistem kontrol pada produksi dan ekonomi. Dengan demikian, pmbatasan
secara seksual dalam pembagian kerja dapat diberlakukan pula pada sistem upah.[18]dalam
hal ini, Hartmann menunjukan bahwa dalam sistem patriarchy, laki-laki mengontro kerja perempuan, baik di dala m
rumah maupn di luar rumah. Di dalam rumah, pekerjaan perempuan berlangsung
rutin dan melelahkan, dan pekerjaan jenis ini dianggap bukan sebagai suatu
pekerjaan sehingga perempuan tergantung pada suami. Di lauar rumah, dapat
dilihat antara lain bahwa laki-laki menyisihkan perempuan dari pekerjaan yang
berupah tinggi.[19]
Sedangkan teori segmentasi pasar kerja merupakan penyempurnaan dari teori
neoklasik. Pada prinsipnya, teori ini mengungkapkan bahwa di pasar tenaga kerja
terdapat beberapa lapisan atau segmentasi yang sedemikian rupa sebagai akibat
dari adanya sejumlah halangan yang bersifat kompetetif atas dasar kualitas human capital yang dimiliki oleh
pesaing. Salah satu yang paling dikenal dari teori segmentasi pasar kerja
adalah the dual labour market theory
dari pendapat doeringer dan piore dan hein. Mereka membedakan dua jenis pasar
kerja. Pertama, pekerja keamanan, dan
peluang untuk promosi ke jenjang yang lebih tinggi. Kedua,pekerja sektor sekunder yang memmilki upah lebih rendah,
jaminan keamanan yang kurang, dan peluang untuk promosi yang sangat terbatas.
Berdasarkan pendapat doeringer dan piore dan hein di atas, PNS perempuan yang
menjadi focus studi ini termasuk di dalam jenis pekerjaan sektor primer.
Adanya dua pasar kerja secara relative terpisah satu
sama lain antara tenaga kerja laki-laki dan perempuan, memiliki konsekuensi
yang penting terhadap rendahnya upah, jaminan social, dan peluang promosi bagi
tenaga kerja perempuan. Hal ini menyebabkan pilihan kesempatan kerja bagi
tenaga kerja perempuan jadi terbatas. Akibatnya, upah tenaga kerja cenderung
lebih rendah untuk pekerjaan-pekerjaan perempuan karena mereka harus bersaing
keras dengan tenaga kerja laki-laki, sekaligus dengan sesame tenaga kerja
perempuan. Tenaga kerja perempuan kurang dapat bersaing dengan tenaga kerja
laki-laki untuk pekerjaan yang lebih banyak dan lebih baik. Hal inilah yang
membantu mempertahankan upah tenaga kerja yang relative lebih tinggi bagi jenis
pekerja yang bercirikan pekerjaan laki-laki.[20]
6.
Teori
akulturasi kekuasaan politik
Alkuturasi adalah percampuran antara dua kebudayaan
yang mengatur menjadi satu kebudayaan. Indonesia dengan begitu banyak
bahasa, suku, agama, ras, dan
berbagai kemajemukan Akulturasi budaya pada dasarnya merupakan sebuah
proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok tertentu
dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan yang berbeda. Kebudayaan yang
langsung pada masyarakat yang memiliki kekuasaan serta masyarakat yang
dikuasai. Kekuasaan ini meliputi kekuasaan politik atau ekonomi. Untuk memahami
pengertian akulturasi dalam konteks budaya pertama-tama kita perlu memahami
definisi budaya dan kebudayaan terlebih dahulu.
Menurut Sachari kebudayaan
adalah suatu totalitas dari proses dan hasil segala aktivitas suatu bangsa
dalam bidang estetis, moral, dan ideasional yang terjadi melalui proses
integrasi, baik integrasi historis maupun pengaruh jangka panjangnya. Para ahli
ilmu sosial mengartikan konsep kebudayaan itu dalam arti yang amat luas yakni
meliputi seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya dan hasil dari pikiran,
karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya (Koentjaraningrat).
Menurut Bronislaw Malinowski kebudayaan
memiliki 4 unsur pokok yaitu:
a.
sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara
para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
b.
organisasi ekonomi
c.
alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas
untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)
d.
organisasi kekuatan (politik)
Menurut
Koentjaraningrat kebudayaan memiliki
paling sedikit tiga wujud, yaitu:
a.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya yang berfungsi
mengatur, mengendalikan dan memberi arah pada kelakuan, dan perbuatan manusia
dalam masyarakat yang disebut dengan adat kelakuan.
b.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas
kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat yang sering disebut sistem
sosial.
c.
Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia.
Masih banyak
akulturasi kekuasaan politik budaya Indonesia dengan budaya Hindu-Budha dan
Budaya Islam yang mempengaruhi berbagai aspek yang lain di dalam seni tari dan
musik, seni ukir, seni lukis dan seni wayang dapat kita lihat saat ini bahwa
kebudayaan.
Hasil
Akulturasi. Islam serta unsur-unsur budayanya di Nusantara merupakan hasil
akulturasi antara budaya Islam dengan Hindu-Buddha yang lebih dulu ada di
Nusantara. Beberapa contoh antara lain Seni Bangunan Seni sastra. Prasasti-
prasasti awal menunjukkan pengaruh Hindu-Budha di Indonesia, seperti yang
ditemukan di Kalimantan Timur, Sriwijaya, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Prasasti
itu ditulis dalam bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa.[21]
G. Metodologi
Penelitian
1.
Jenis
penelitian
Dalam
upaya memperoleh data dan informasi yang diperlukan, maka cara-cara yang
digunakan untuk menghimpun data mengenai keadaan masyarakat,interaksi dan
keterlibatan politik prempuan terhadap pencalonan pada pemilu legislatif di kecamatan
Lambu Kabupaten Bima.
Penelitian
ini adalah penelitian kualitatif dan kuantitatif dengan teknik analisis
deskriptif yang bertujuan memberikan gambaran secara sistimatis fakta tentang
objek yang diteliti. Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan kualitatif berupa lingkungan atau tingkah laku mereka “perempuan” yang
terobsesi di dalam penelitian ini. Penelitian kualitatif adalah tradisi
tertentu yang secara fundamental tergantung pada pengamatan manusia dalam
pengawasanya itu sendiri dan berhubungan dengan orang-orang yang bergelut
dilingkungan tersebut.[22]
Dengan
demikian penelitian kualitatif adalah upaya untuk mengetahui sesuatu hal dengan
cara mengungkapkan atau menganalisis hal-hal yang ada di lapangan secara
fundamental dan tergantung pada pengamatan yang rasional.
2.
Variabel
dan indikator penelitian
Adapun
variabel-variabel yang akan diteliti yang berkaitan dengan keterlibatan
perempuan terhadap pencalonan pada pemilu legislatif di kecamatan lambu kabupaten
bima yaitu:
1. Peran
perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Tingkat
pendidikan dan status perempuan dalam organisasi sosial
3.
Hubungan aktifis perempuan dengan tokoh masyarakat
dan pemerintah
Desain
penelitian ini dimaksudkan untuk menjadi penuntun mulai dari persiapan sampai
pada pelaksaan penelitian. Langkah awal dari penelitian ini dimulai dari
mengidentifikasi dan merumuskan masalah. Setelah itu dilakukan kerangka
konseptual yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti berdasarkan
kajian teori. Berdasarkan uraian teori yang diperoleh dari berbagai buku inilah
maka dilanjutkan pada tahap mengidentifikasi variabel dan membuat desain
penelitian, mengoperasionalkan variabel, menentukann populasi, menentukan
jumlah sampel yang akan diteliti serta menetapkan teknik-teknik pengumpulan
data.
Setelah
tahap-tahap tersebut selesai maka dilanjutkan dengan menyusun daftar pertanyaan
yang akan menjadi pedoman dalam wawancara di lapangan. Disamping itu juga
dilakukan pengurusan izin yang akan digunakan sebagai pengantar untuk
memperoleh kemudahan penelitian. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data. Data
yang diperoleh kemudian diolah dalam bentuk tabel dan dianalisis untuk
selanjutnya ditarik kesimpulan penelitian yang kesemuanya disusun dalam bentuk
skripsi.
3.
Populasi
dan Sampel
Populasi
dalam penelitian ini adalah jumlah keseluruhan dari unit yang ciri-cirinya akan
diduga dalam usaha untuk memperoleh informasi dan menarik kesimpulan. Dari
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa populasi adalah himpunan semua
obyek yang akan diteliti. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah
beberapa orang “perempuan” yang ikut berpartisipasi didalam pencalonan
pemilihan umum legislatif di beberapa desa di kecamatan lambu kabupaten bima.
4.
Teknik
pengumpulan dan Analisis data
a. Teknik
pengumpulan data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan cara sebagai berikut:
1) Teknik
observasi
Teknik
ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lapangan yang merupakan lokasi
penelitian. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran umum tentang lokasi
penelitian dan kondisi demografisnya serta beberapa hal lain yang berhubungan
dengan penelitian ini.
2) Teknik
wawancara
Teknik ini dilakukan dengan cara mengadakan tanya
jawab langsung dengan menggunakan pedoman wawancara untuk wawancara bebas atau
wawancara dengan menggunakan kuesioner (alat perekam) untuk wawancara
berstruktur.
3) Teknik
dokumentasi
Teknik ini sangat penting untuk melengkapi data
dalam rangka menganalisis masalah penelitian. Dalam penelitian ini peneliti
berusaha mengumpulkan data dari beberapa desa yang ada di kecamatan lambu kabupaten
bima dan data lain yang diperlukan dalam penulisan ini.
b. Analisis
data
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif,
yaitu merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi
mengenai status gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada
saat penelitian dan karena penelitian ini merupakan penelitian deskriptif maka
teknik yang digunakan dalam menganalisa data adalah teknik analisis deskriptif
kuantitatif dan kualitatif. Teknik anlisis deskriptif kuantitatif digunakan
dengan memasukan dalam tabel persentase, sedangkan teknik analisis deskriptif kualitatif
adalah uraian dari tabel-tabel persentase.
H. Susunan
kerangka Bab
Untuk
lebih mengetahui serta memahami skripsi ini maka perlu adanya sistimatika
penulisan yang sesuai dengan peraturan yang ada, yaitu sebagai berikut:
Bab
I, merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang alasan memilih judul
dengan mengemukakan latar belakakng masalah, rumusan masalah, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi
penelitian, dan susunan kerangka bab.
Bab
II, merupakan bab yang membahas tentang kondisi geografis kabupaten bima yang
memuat tentang penjelasan yang mengenai komposisi penduduk dan kondisi
kecamatan lambu.
Bab
III, merupakan bab yang menguraikan tentang kondisi pemilu legislatif di
kecamatan lambu kabupaten bima dan sejarah keterlibatan, peran serta partisipasi
perempuan terhadap pembentukan daerah kabupaten bima yang meliputi gambaran
mengenai sejarah berdirinya kabupaten bima dan perjuangan politik di bima.
Bab
IV, merupakan bab yang menguraikan dan membahas tentang hasil penelitian serta
pembahasan hasil-hasil penelitian di lapangan.
Bab
V, adalah merupakan bab akhir yang menyimpulkan seluruh hasil penelitian dalam
penulisan skripsi ini dan memberikan saran-saran supaya untuk penulisan yang
berkenaan dengan judul ini dan kiranya akan dapat disempurnakan oleh penulis
selanjutnya.
I. Daftar Pustaka
Agger,
ben, 2012, teori sosial kritis, kritik,
penerapan dan implikasinya. Yogyakarta:
kreasi wacana perum sudarjo bumi indah.
http://sacafirmansyah.wordpress.com/2009/06/05/partisipasi-masyarakat.
Mulia, siti musdah, 2008,
menuju kemandirian politik perempuan.
Yogyakarta: kibas press.
Mosse, Cleves Julia, 2007, Gender dan pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa Wwomen’s centre
dengan Pustaka pelajar.
Partini,
2013, Bias gender dalam birokrasi.
edisi kedua. Yogyakarta: Tiara Wicana.
Rakhmat, jamaluddin, 1998, Cacatan kang jalal visi median, politik, dan pendidikan. Bandung:
PT remaja rosdakarya.
Sadli.
Saparinah, 2010, Berbeda tetapi setara “pemikiran
tentang kajian perempuan”. Jakarta: Kompas.
Sugyono, 2008, Metode
penelitian kualitatif kuantitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Utami, Tari siwi, 2001, perempuan dan politik di parlemen.
Yogyakarta: Gama Media.
Wasim, Alef Theria, 2012, filsafat perempuan dalam islam. Yogyakarta: Rausyanfikr Institute.
[3] Tari siwi utami,
‘’pengantar K.H. abdurrahman wahid’’, perempuan
politik di parlemen, Gama Media, Yogyakarta, 2001, hal. Vi.
[7] Ibid.
Hal.8.
[15] http://nie07independent.wordpress.com/2008/11/18/teori-perubahan-sosial-karl-marx-dan-max-weber/vs. diambil tgl 5 januari 2014
0 komentar:
Posting Komentar