Menurut Arief (2001) Sistem-sistem
silvikultur di hutan produksi Terbatas di
Indonesia secara umum dikenal dengan nama-nama sebagai
berikut:
1. Sistem Tebang Habis dengan Pemudaan Buatan
(THPB)
Sistem
THPB merupakan sistem silvikultur yang paling tua, digunakan untuk membentuk
tegakan hutan tanaman seumur. Pohon-pohon dalam hutan tanaman seumur, membesar
bersamaan dengan ukuran pohon yang hampir seragam sehingga dapat (tidak harus) dipanen bersamaan dan
diremajakan bersamaan lagi. Sistem ini bisa menghasilkan tanaman yang terdiri
atas satu jenis (spesies)
saja, disebut tegakan monokultur, bisa juga membentuk tegakan tanaman campuran
(multi species). Tegakan hutan tanaman dibangun untuk membudidayakan jenis
tanaman pohon yang diinginkan pasar. Produktivitas ekonomis hutan tanaman bisa
sepuluh kali lebih tinggi daripada produktivitas ekonomis hutan alami. Sebagai
contoh, karena terjepit oleh banyak pohon lain dalam hutan bekas tebang pilih
di hutan alami produksi, pohon-pohon jenis komersial kerapatannya rendah dan
hanya menghasilkan tiap 1-2 m³/ha.th. Sedangkan hutan tanaman merantimerah
diperhitungkan dapat mencapai riap 10-15 m³/ha.th. Hutan tanaman sering
membudidayakan jenis-jenis pohon yang dapat cepat membesar (jenis bagur, fast
growing tree species), karena perusahaan yang membudidayakannya ingin
modalnya cepat kembali, dan labanya dapat cepat diperoleh. Jenis-jenis hutan
tanaman yang umum dijumpai dibudidayakan di Indonesia adalah: mangium (Acacia
mangium), gmelina (Gmelina arborea), sengon (Falcataria
moluccana), mahoni (Swietenia macrophylla), jati (Tectona
grandis), tusam (Pinus merkusii).
Mengapa
kawasan bekas tebang habis harus ditanami pohon baru, bukankah pohon tua selalu
berbuah sehingga semai alami terdapat banyak, murah-meriah? Penanaman memang
mahal dan beresiko gagal, oleh karena itu kalaulah penanaman ingin dilakukan,
maka penanaman yang mahal itu harus menggunakan bibit unggul hasil program
pemuliaan pohon, agar tegakan yang terbentuk berikutnya adalah tegakan yang lebih
produktif atau lebih tahan resiko gagal. Penanaman setelah tebang habis
dilakukan karena dua alasan: (1) karena ingin mengganti jenis tanaman untuk
tujuan tertentu, misalnya untuk menghasilkan kayu pulp, (2) ingin mengganti
klon yang satu dengan klon lainnya hasil pemuliaan tanaman. Sistem silvikultur
THPB terdiri atas perlakuan: penataan areal kerja, penyiapan lahan, pengadaan
benih dan bibit, penanaman, pemeliharaan tanaman muda, pemeliharaan tegakan,
dan pemanenan pohon tua sekaligus. Pemerintah Indonesia sering menyebut sistem
THPB sebagai sistem silvikultur intensif.
2. Sistem Tebang Habis dengam Pemudaan
Alam (THPA)
Sistem
tebang habis bisa digunakan tanpa penanaman, setelah diketahui benar bahwa
bekas tebang habis tersebut dipenuhi secara merata oleh semai pohon jenis yang
diinginkan. Sistem ini merupakan sistem silvikultur yang murah, ekstensif, dan
bisa saja menghasilkan produktivitas yang tinggi dari hasil pembinaan permudaan
alami.16 Mungkinkah sistem THPA digunakan di hutan alami Kalimantan misalnya?
Di hutan alami Kalimantan terdapat permudaan alami jenis komersial dengan
kerapatan 5.000-10.000 bt/ha. Dalam sstem THPA, para rimbawan dapat memilih
100-200 bt/ha pohon binaan untuk dipelihara dengan sebaik-baiknya, terutama membebaskan
pohon-pohon binaan dari terkaman gulma. Dengan demikian penerapan sistem THPA
di Indonesia sangat memungkinkan. Tetapi sampai saat ini belum pernah
dilakukan.
3. Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia
(TPTI)
Hutan
alami fungsi produksi di Indonesia dikelola dengan keinginan mempertahankan
bentuk alaminya sebagai hutan alami campuran tidak seumur, yaitu berisi
keanekaragaman hayati tinggi, dan berisi semai, pancang, tiang dan pohon.
Bentuk hutan demikian hanya dapat dicapai dengan sistem tebang pilih. Hutan
alami produksi diusahakan dengan sistem tebang pilih juga karena alasan
ekonomis sebagai berikut:
a. Hutan alami berisi pohon kecil dan
besar, sedangkan kayu yang laku dijual hanya kayu berukuran besar saja,
sehingga dipanen dengan cara tebang pilih
b. Hutan alami berisi berratus jenis
tumbuhan, sedangkan yang laku dijual hanya kayu dari beberapa jenis pohon saja,
sehingga harus dipanen dengan cara tebang pilih,
c. Hutan alami berisi kayu baik dan
kayu cacat karena terlampau tua dan tidak dipelihara, sedangkan kayu yang laku
hanya kayu yang mulus saja, dengan demikian panen harus menggunakan cara tebang
pilih, Sistem tebang pilih di Indonesia dikeluarkan pemerintah pada tahun 1972
dengan nama Sistem Tebang
Taman
Pilih Indonesia (TPI), yang kemudian direvisi isi dan namanya pada tahun 1989
menjadi Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), dan direvisi lagi pada
tahun 1993 dengan nama tetap Sistem TPTI yang masih berlaku sampai tahun 2005
ini. Sistem TPTI diberlakukan di hutan alami tanah kering, hutan rawa, hutan
rawa gambut, dan hutan eboni.
4. Sistem Tebang Pilih Tanam Induk
Indonesia (TPTII)
Karena
hutan alami produksi bekas tebang pilih menjadi sasaran konversi menjadi lahan
perkebunan dan perambahan, maka Departemen Kehutanan mempromosikan pembangunan
hutan tanaman meranti di hutan alami pada tahun 1997. Tujuan penanaman meranti
di hutan alami adalah untuk meningkatkan motivasi pemilik perusahaan untuk
memelihara hutan alami bekas tebangan, dan agar masyarakat luas sekitar hutan
menghormati keberadaan perusahaaan yang menanami hutannya.
Refesensi
Arief A. 2001 Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisus: Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar