riaucitizen.com |
Faktor
pendorong yang mempercepat kerusakan hutan di Indonesia yaitu, Pertama, pengusahaan
hutan dilakukan secara tidak berkelanjutan (unsustainable). Kedua,
perbedaan jangka waktu penggunaan konsepsi
dan daur penerbangan. Ketiga, inefisiensi yang terdapat mulai dari
penebangan sampai pemakaian. Keempat, cara penebangan yang dipakai menimbulkan bukaan
besar. Kelima, jumlah jenis pohon kayu yang disukai pasaran hanya sebagian
dari jumlah jenis kayu komersial yang telah diketahui. Keenam, efek
penggandaan (multiplier effect) yang terjadi akibat hutan yang
sebelumnya tidak pernah dijamah menjadi daerah yang mudah ditembus (Arkanudin, 2001)
Menghindari
semakin meluasnya kerusakan hutan di Indonesia perlu segera dilakukan upaya
pelestarian hutan, diantaranya dengan meningkatkan partisipasi seluruh lapisan
masyarakat terkait terutama masyarakat sekitar hutan. Hal ini dimaksudkan agar
di satu pihak mereka dapat membangun kehidupan yang lebih baik, tetapi di pihak
lain dapat melestarikan dan menggunakan sumber daya alam berupa hutan secara
berkelanjutan. Hasil konggres kehutanan Dunia VIII 1978 dengan tema Forest
for people menghasilkan sebuah bingkai paradigma Social
Forestry, yaitu konsep hutan untuk rakyat sehingga orientasi pembangunan
kehutanan tidak lagi dititik beratkan pada penerimaan yang sebesar-besarnya
bagi negara, melainkan juga sebagai sumber pendapatan masyarakat melalui
perannya baik secara individu maupun dalam bentuk koperasi (Arsyad,1997)
Menurut UU RI No. 4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan
pokok pengelolaan Lingkungan Hidup pada bab III mengenai hak, kewajiban, dan
wewenang bahwa setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat, memelihara lingkungan hidup, mencegah kerusakan dan pencemarannya, dan
berpartisipasi dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup (Departemen Kehutanan, 1999)
Partisipasi akan terlaksana jika orang diikutsertakan dalam
perencanaan serta pelaksanaan dari segala sesuatu yang berpusat kepada
kepentingannya dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat
kematangannya atau tingkat kewajibannya. Menurut Michael (1988) partisipasi
adalah keterlibatan mental dan emosional seseorang dalam suatu kelompok yang
mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada tujuan kelompok dan
berbagai tanggung jawab dalam pencapaian tujuan itu. Dengan demikian, partisipasi
memiliki tiga unsur penting, yakni:
1.
Keterlibatan,
yaitu keterlibatan mental, perasaan, dan fisik,
2. Kontribusi, yaitu kesediaan untuk
memberi sumbangan kepada usaha yang akan dilakukan guna mencapai tujuan
kelompok,
3.
Tanggung
jawab.
Alasan
penting melibatkan masyarakat dalam pengelolaan kelestarian hutan; pertama,
partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai
kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat yang tanpa kehadirannya
program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Kedua, masyarakat akan lebih mempercayai
proyek atau program jika mereka dilibatkan dalam proses persiapan dan
perencanaan dan ketiga,mendorong
partisipasi umum, karena anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila
masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri.
Partisipasi masyarakat dalam memelihara dan mengelola kelestarian
hutan dapat dilakukan dengan melibatkan mereka dalam proses perencanaan,
pelaksanaan, pemanfaatan dan pemeliharaan, serta pengembangan kelestarian hutan (Agus, 2012) yaitu :
1. Perencanaan
Perencanaan adalah suatu kegiatan yang merupakan proses
menetapkan tujuan, menetapkan alternatif-alternatif yang akan dikerjakan dan
bagaimana melakukan kegiatan itu. Perencanaan pengelolaan hutan sebagai suatu
proses mencapai tujuan kelestarian hutan dan usaha kehutanan tentu harus
dilandasi oleh dasar-dasar yang kuat dan akurat antara lain pembagian fungsi
hutan atau TGHK dan RTRWP serta data potensi yang detail dari kawasan hutan.
Bentuk partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pengelolaan kelestarian
hutan diantaranya: memberikan masukan, mengidentifikasi masalah, perumusan
rencana-rencana, memberikan informasi, pengajuan keberatan terhadap rancangan,
kerjasama dalam penelitian dan pengembangan juga bantuan tenaga ahli sehingga
partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan dapat membantu pemikiran dan
memberikan pertimbangan dalam bentuk teknis dan pengelolaan. Hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam
menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian hutan.
Menurut
PP No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemanfaatan Hutan diharapkan mampu menjadi landasan dasar dan tolak ukur partisipasi masyarakat dalam
perencanaan pengelolaan hutan di Indonesia. Dinamika persoalan kehutanan di
lapangan yang semakin kompleks dan saling berkaitan maka studi tentang
Perencanaan Pengelolaan hutan harus semakin digiatkan, tenaga perencanaan di
pusat dan daerah harus dibekali IPTEK di bidang perencanaan, sehingga
perencanaan tidak hanya bersifat top down(instruktif) melainkan
juga bottom up (artikulatif). Kepentingan ekosistem dan sistem
produktif seringkali berada pada kondisi trade off sehingga
diperlukan kriteria sistem perencanaan yang benar dan tidak sekadar mekanistik.
Mashab perencanaan historis by control dan by
extrapolation yang bersifat stabil untuk kondisi yang normal dan
reaktif sudah harus mulai ditingkatkan dan dilengkapi by anticipation and by
contingency dan bahkan by strategic (Arkanudin,
2001)
2. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah pengimplementasian program-program yang
sudah direncanakan. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pelestarian hutan
dapat mencakup beberapa kegiatan, diantaranya; pertama, Participatory Forestry yaitu
kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan yang direncanakan oleh ahli kehutanan
dengan usaha menggalakkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan.Kedua, Village
Forestry yaitu kegiatan pengelolaan hutan dan sumber daya kayu dalam
skala kecil yang dilaksanakan oleh masyarakat tanpa dilatih keahlian kehutanan
baik hutan Negara maupun pada lahan bersama. Ketiga, Communal
or Community Forestry yaitu suatu bentuk dari kehutanan desa dimana
kegiatan pengelolaan hutan oleh suatu kelompok (Michael,1988).
Program perhutanan model Participatory Forestry perlu
lebih banyak dikembangkan bagi masyarakat sekitar hutan dengan mengintensifkan
pelatihan-pelatihan dari para ahli kehutanan. Menurut Bratamihardja, Participatory
Forestry bertujuan: 1). Untuk menghutankan kembali dan merehabilitasi
lahan hutan yang rusak. 2). Untuk meningkatkan pendapatan petani miskin yang
hidup di sekitar hutan yang rusak tersebut. Bagian
terpenting dari pelaksanaan model ini adalah mencapai hubungan "mitra
sejajar" antara Perum Perhutanan
dengan masyarakat sekitar kawasan hutan (Arkanudin, 2001).
3. Pemanfaatan dan pemeliharaan .
Pemanfaatan
hutan secara adil, demokratis dan berkelanjutan dituangkan dalam sebuah konsep
yang disusun secara yuridis formal dalam bingkai program maupun kebijakan
pembangunan kehutanan nasional. Sesuai dengan konsepsinya yang berupaya
mewujudkan perubahan melalui pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan
secara berkelanjutan. Dengan demikian, terdapat dua unsur sekaligus target
utama pembangunan kehutanan. Pertama, hutan lestari yang
mencerminkan keberlanjutan peran ekologis sumber daya hutan sebagai salah satu
penyangga kehidupan ekosistem planet bumi secara lintas generasi. Kedua,
rakyat sejahtera sebagai pengejawantahan optimalisasi manfaat sosial ekonomi
sumber daya hutan sebagaimana tercermin dari peningkatan investasi, peningkatan
devisa, dan penerimaan Negara serta penyerapan tenaga kerja (Agus, 2012).
Partisipasi
masyarakat terhadap pemeliharaan hutan dilakukan dengan melibatkan mereka dalam
kegiatan perlindungan dan konservasi. Konsep perlindungan hutan bersifat
menjaga hutan dari gangguan, sementara konsep konservasi lebih bersifat
pelestarian dan pengawetan alam. Perbedaan tekanan kegiatan meletakkan kegiatan
perlindungan terpisah dengan konservasi. Tetapi karena objeknya hampir sama
yaitu kawasan hutan, tegakan dan hasil hutan maka dalam setiap pembahasan
selalu terkait perlindugan dan konservasi (Kasim, H 1990)
Menurut, (Arief, 2001). Kurangnya perhatian pemerintah untuk
melibatkan langsung masyarakat terhadap perlindungan hutan selama ini dengan
lebih menitik beratkan keamanan fisik daripada teknik kehutanan telah
mengakibatkan bencana kebakaran beserta implikasinya berupa ekspor asap
sehingga Pemerintah Indonesia banyak mendapat kecaman dari Negara-negara
tetangga. Aspek konservasi hutan menjadi unsur penting dari pelestarian hutan
berkaitan dengan peranannya untuk mengarahkan pengelolaan hutan pada
penanggulangan erosi, pengaturan air, pemeliharaan keragaman hayati,
kesinambungan siklus karbon dan estetika wisata alam. Secara operasional
kegiatan konservasi meliputi upaya melindungi, mengawetkan dan memanfaatkan
secara lestari. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah akan sangat kesulitan
melaksanakan kegiatan konservasi hutan tanpa adanya partisipasi langsung dari
masyarakat khususnya masyarakat sekitar hutan. Namun demikian, dalam Lokakarya
Paradigma Baru Manajemen Konservasi di Jogjakarta mencatat beberapa kendala
konservasi hutan di Indonesia, diantarnya sebagai berikut:
a. Pengurangan luas dan kualitas hutan,
tekanan defisit pemenuhan produksi kayu, pertumbuhan populasi, kebakaran hutan
dan belum memadainya peraturan dan implementasinya.
b. Segmentasi pengelolaan sumberdaya
hutan alam yang berakibat pada eksploitasi berlebihan, sementara
konservasi dianggap sebagai beban.
c. Persepsi konservasi belum dimiliki
oleh sebagian besar penentu kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan.
4. Pengembangan
Pengembangan
kelestarian hutan, Abu Rizal Bakrie ketika masih menjadi Menko Perekonomian
mencanangkan RPKK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan) yang di
dalamnya memuat prioritas kebijakan dan strategi riset dan pengembangan
teknologi, antara lain: 1). Insentif perpajakan bagi pengembangan riset dan
pengembangan teknologi, 2). Pengadaan dana riset dan fokus riset jangka panjang
berorientasi pada pemecahan masalah dan peningkatan daya saing, serta 3).
Pengembangan kerjasama dan sinergi pemerintah, perguruan tinggi, swasta, dan
lembaga riset (Leimena,
2003)
Revitalisasi
Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) adalah komitmen dan program Kabinet
Indonesia Bersatu sebagai salah satu dari triple track strategy pembangunan
nasional yaitu: stabilitas ekonomi makro yang medukung pertumbuhan ekonomi 6,5
persen per tahun; pembenahan sektor riil, khususnya UMKM, untuk mampu menyerap
tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru; dan revitalisasi
sektor pertanian dan pedesaan untuk berkontribusi pada pengentasan rakyat dari
kemiskinan. Dengan ketiga strategi ini ditargetkan berkurangnya tingkat
kemiskinan dari 16,6 % tahun 2004 menjadi 8,2% tahun 2009 dan tingkat
pengangguran turun dari 9,7% tahun 2004 menjadi 5,1% tahun 2009 (Salim. 1997)
Salah
satu konsep pengembangan hutan yang menganut kaidah kelestarian dimana
pelaksanannya harus memandang hutan sebagai satu kesatuan ekosistem, lengkap
dengan keaneka ragaman hayati yang dikandungnya serta melibatkan partisipasi
masyarakat sekitar hutan adalah Pengembangan Hutan Cadangan Pangan. Manfaat
“Hutan Cadangan Pangan” adalah pelestarian hutan dapat dijaga, sumber-sumber
air terpelihara, memunculkan sumber air baru, dan lahan kritis di sekitar hutan
pun lama-lama dihijaukan dan dijadikan hutan baru. Beberapa model pengembangan
hutan cadangan pangan diantaranya: Pertama, Agro-forestry, disamping
tanaman pokok kehutanan, juga dilakukan budidaya komoditi penghasil bahan
pangan sehingga areal hutan tersebut kaya dnegan berbagai jenis tanaman (sumber
karbohidrat), kedua, Silvo-fishery, disamping tanaman pokok
kehutanan ( khususnya pada areal hutan mangrove) juga dilakukan budidaya ikan
serta komoditi pengairan lainnya sebagai sumber protein hewani, ketiga, Silvo-pasture, Pemanfaatan
hutan dengan penanaman dan pengkayaan rumput dan hijauan makanan ternak sebagai
upaya dalam rangka pemenuhan sumber protein hewani. Ketiga model konsep ini secara
efektif melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung dalam sistem
pengelolaan hutan, memberikan kontribusi secara real bagi kesejahteraan
masyarakat, secara teknis maupun meningkatkan produktivitas sumberdaya hutan
dan secara ekologis mampu menjamin kelestarian fungsi hutan. Untuk mewujudkan
tuntutan pengelolaan terhadap kelesarian hutan secara adil dan berkelanjutan
senantiasa menghadapi tantangan dan kendala yang terkait dengan hak dan
kewajiban masyarakat dalam pengelolaan hutan. Kejelasan hak dan kewajiban yang
ada pada masyarakat akan menumbuhkan suasana yang aspiratif dan partisipatif
yang menempatkan masyarakat sebagaia basis pengelolaan hutan. Partisipasi
masyarakat secara sadar akan berperan dan berfungsi dalam pengelolaan hutan
yang lestari sehingga menjamin berkembangnya kapasitas dan pemberdayaan
masyarakat serta distribusi manfaat hutan (Arief,1994).
REFERENSI
- Agus, 2012. Kehutanan Masyarakat. Penerbit IPB dan The Ford Fundation. Bogor Departemen Kehutanan. 1986. Buku Informasi Nasional Indonesia. Bogor.
- Arkanudin, 2001. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
- Departemen Kehutanan 1999, Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Jakarta.
- Arief A,1994 Hutan Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Penerbit. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.
- Arsyad.1997.pengawetan hutan, Departemen Ilmu-Ilmu hutan,Fakultas Pertanian Institut pertanian Bogor.
- Kasim, H 1990. Studi FaKtor-FaKtor Sosial Ekonomi Daiam Hubungan dengan Perladangan Di SUB DAS Pameran Kabupaten Luwu. Skripsi Sarjana Universitas Hasanuddin Ujung Pandang.
- Leimena 2003.Studi Perladangan Berpindah Di Desa Mehalaan Kecamatan Mambi Skripsi Sarjana Fakultas dan Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar.
- Michael R,1988.Sistem Perladangan di Indonesia.Suatu Studi Kasus dari Kalimantan Barat.Gajha Madha Univercity Press.Yogyakarta.
- Mubyarto 1992. Hutan perladangan dan Pertanian masa depan pt. Aditya media Yogyakarta.
- Salim. 1997. ‘Hutan dan perladangan berpindah ‘. Problematika dan strategi pemecahanya . Aditya Media, Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar