Sabtu, 25 Januari 2014

MAHASISWA VS HEGEMONI NEGARA


Membicakan Negara kekinian memang tak dapat dilepaskan dari berbagai macam masalah yang sangat kompleks, yang mana dalam hal ini sebuah kompleksitas masalah kebangsaan yang semakin surut dan menemui gejala-gejala colaps. Dan kalau ini sampai terjadi maka tidak menutup kemungkinan melahirkan pembusukan politik (Political decay), serta ketidakpercayaan masyarakat terhadap kekuasaan atau pemerintah yang ada. Artinya, bahwa dimata masyarakat kredibilitas pemerintah tidak ada lagi apa-apanya. Sondroma demikian akibat oragansi dan keserakahan pemerintah atas masyarakat yang tidak lagi mampu memahami substansi dari keinginan serta aspirasi masyarakat yang selama ini terpinggirkan dalam semua segmentasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Melihat kenyataan empiris tersebut, maka disatu sisi mahasiswa sebagai agent of change, social control, serta pengawal agenda-agenda reformasi sejak terjadinya refolusi kelas menengah di Indonesia. Hal ini menurut penulis sedikit meminjam istilah dan Ben Anderson bahwa di Indonesia pergerakan kemahasiswaan lebih berafeliasi pada sebuah gerakan refolusi.
Sehingga secara historis kalau kita ingin melakukan print out terhadap setiap gerakan yang pernah dilakukan oleh mahasiswa dan semua elemen-elemen yang tidak pernah sependapat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, maka peran mahasiswa dalam percaturan politik nasional tidaklah kecil peran utama mereka adalah sebagai kekuatan control sosial dan politik baik yang telah berlangsung, sementara maupun yang akan datang, yang kesemuanya itu tidak pernah lepas dari agenda pengawasan mahasiswa sebagai social control. Di samping sebagai komunitas akademik, protes-protes mahasiswa dalam kerangka kontrol politik ternyata mempunyai kekuatan yang sangat efektif dalam mengubah kebijakan strategi politik pemerintah. Kenyataan ini sudah berlangsung beberapa periode, seperti masa sebelum kemerdekaan, (peristiwa Sumpah Pemuda 1928), masa perjuangan tahun 1945, dan masa setelah Indonesia merdeka, terutama pada tahun 1966 yang lebih dikenal dengan sebutan angkatan 66. pada peristiwa-peristiwa tersebut terbukti mahasiswa selalu menduduki garda depan sebagai posisi sentral dalam memperjuangkan kebenaran, keadilan serta aspirasi rakyat. Begitu pula yang terjadi ditahun 1998 berbintang lima yakni Soeharto beserta krino-kroninya, yang sekalipun memang harus diakui bahwa hampir semua gerakan kemahasiswaan yang dilakukan cenderung dihadapkan pada berbagai macam akses sosial seperti penanganan dengan cara refresif dari pihak keamanan yang juga tak terhindar jatuhnya korban dari mahasiswa. Hal dapat disimak dari sketsa pergerakan mahasiswa yang pernah terjadi di Makassar misalnya yang jatuhnya korban 6 orang dari mahasiswa UMI Makassar, dengan kebijakan kenaikkan tarif angkutan kota, belum lagi insiden Trisakti, semanggi dan lain-lain yang berakibat pada trauma kebangsaan yang amat dramatis seperti yang baru baru terjadi penembakan brutal aparat kepolisian di Bima akibat kebijakan pemerintah Bima terkait penambangan yang berlokasi di kecamatan lambu-Bima-NTB.
Ternyata kemudian, gerakan mahasiswa sepertinya tidak akan pernah berhenti. Hal ini terjadi karena perjuangan mahasiswa tidak pernah didasari satu kepentingan personal, melainkan diletakkan pada satu kerangka yang ideal yang berbasis pada aspek moralitas. Sehingga dengan posisi tersebut menjadikan mahasiswa sebagai mahkluk yang istimewa. Secara biologis istimewa, mereka berada pada lapisan umur yang memungkinkan mereka berenergic, dan amat cocok untuk melakukan sebuah perubahan atau perbaikan sebagaimana yang diharapkan oleh semua komponen dibangsa ini. Namun demikian itu munculnya aksi-aksi demonstrasi dikalangan mahasiswa pada dasarnya sangat perkaitan dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan, ketidakadilan, atau situasi-situasi kritis yang memungkinkan untuk disikapi, tapi yang terpenting bahwa landasan utama pergerakan itu adalah gerakan moral kebangsaan sebagai wujud tanggungjawab intelektualisme demi kepentingan rakyat.
Dan untuk mempertegas paradigma pergerakan kemahasiswaan ada baiknya penulis meminjam satu pokok pikiran yang paling tidak dapat memberikan konstribusi yang konfrehensif bagi gerak perjuangan mahasiswa itu sendiri, maka menurut Philip Altbach, bahwa gerakan mahasiswa dinegara-negara di dunia ke tiga termasuk Indonesia akan mengindikasikan apakah sistem negara bersangkutan demokratis atau tidak. Dalam berbagai aksi, menunjukkan bahwa pada umumnya demonstrasi mahasiswa merupakan respon dari sistem politik yang mengalami pembusukkan secara internal, yang kemudian ini menjadi asumsi gagalnya setiap pembangunan di bangsa ini termasuk pembangunan politik, yang berimplikasi pada tidak koherennya setiap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah baik itu lembaga legislatif maupun eksekutif. Sehingga entry point tersebut menyebabkan munculnya aksi dari Grass Rootnya  yang selalu menjadi korban dari kebijakan pemerintah. Karena falsafah yang paling melekat pada sistem pemerintahan kita pada hari ini adalah elit (penguasa) masih menganggap dirinya sebagai kelompok yang paling benar dalam setiap tindakannya dalam hal ini kebijakannya.
Dan kalau kita pahami tentang gerakan mahasiswa dengan berbagai macam tuntutannya dapatlah dilihat bahwa gelombang gerakan mahasiswa mencapai titik puncaknya pada skala tuntutan yakni bahwa sejak terjadinya krisis ekonomi dengan interdepndi ekonomi kepada IMF (International Moneter Fond) yakni sejak tahun 1997, yang kemudian lebih di kenal sebutan gerakan pengentasan kemiskinan namun krisis ekonomi begitu terasa bagi masyarakat, dan selanjutnya pada tahun 1998 dengan hegemoni negara atas otoriter pemerintah menyebabkan pola gerakan berubah menjadi gerakan tuntutan secara politis. Yang bukan hanya pada perdebatan politis bagi elit-elit politik akan tetapi gerakan pada saat memungkinkan semua elementer turut larut dalam situasi politik sehingga tidaklah heran jika golongan santri, buruh, petani, ormas, orsospol, yang bersifat politis. Ini artinya bahwa mahasiswa sebagai kelas menengah sangatlah respek atas semua situasi dan kondisi bangsa, sekalipun harus berhadapan dengan monster yang di pasang oleh pemerintah.
Dan hari ini pemerintah telah berani menghegemonikan kekuasaannya dengan cara menetapkan kebijakan atas naiknya tiga patronase ekonomi yang nota bene akan merecoveri jargon-jargon perekonomian malah yang terjadi adalah terdepresiasinya nilai rupiah samapi 15.000 per 1 U$ Dollar Amerika suatu depresiasi yang mencapai 600% justru dalam hal ini penulis mencoba melakukan otokritis terhadap pernyataan Laksamana Sukardi (sebelum ada dalam kabinet), bahwa ia mengatakan hasil pemilu 1997 ciri pemerintah mencerminkan keserakahan dengan asumsi bahwa hasil dari pemilu tersebut tidak akan memberikan peluang bagi komponen yang lain untuk melakukan perbaikkan baik itu perbaikkan ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan lain sebagainya. Akan tetapi pernyataan demikian itu kembali terbantahkan pada saat sekarang ini. Yaitu ternyata Laksamana Sukardi jauh lebih serakah dari apa yang pernah disorotinya. Keserakahan itu dapat dibuktikan dengan cara menjual aset nasional PT. INDOSAT ke Singapora, ini adalah sebuah kejahatan negara yang tak beralasan. Belum selesai kasus tersebut, pemerintah kembali menetapkan kebijakannya dengan menaikkan tiga komponen yakni BBM, Tarif dasar listrik, dan tarif telepon, yang sama sekali pemerintah tidak pernah melihat kondisi masyarakat yang sementara dilanda resesi ekonomi yang berkepanjangan.
Situasi demikian semakin memancing terjadinya gerakan demonstrasi yang bukan hanya dilakukan oleh kalangan mahasiswa tetapi hampir separoh dari elemen di negeri ini turut aktif menyuarakan aspirasinya melalui perlemen jalanan mulai ibu-ibu rumah tangga, buruh, LSM-LSM, Nelayan, sampai pada pelajar dan siswa. Ternyata potret kabinet yang ada sekarang tidak jauh beda dengan apa yang ada di massa orde baru. karena terkesan kebijakan tersebut lebih menguntungkan para konglomerat, para elit politik yang sama sekali tidak pernah berpihak pada kepentingan rakyat. Artinya apa, bahwa jabatan-jabatan eksekutif maupun legislatif masih teramat jauh dari sense of crisis and sense of urgency. Yang mestinya pasca reformasi antara pemerintah dengan mahasiswa haruslah menjadi mitra yang satu dalam mengedepanan developmentalis-integritas yang menyeluruh dalam semua segmentasi berbangsa dan bernegara. Dan hari ini mahasiswa telah melakukan koreksi atas kebijakan pemerintah dan kalaupun pemerintah tetap memaksakan kehendaknya tanpa memperhatikan aspirasi yang berkembang maka hanya satu kata yang pantas diucapkan oleh mahasiswa bahwa perjuangan tidak akan pernah selesai sobat. Amien

2014, MAHASISWA VS HEGEMONI NEGARA
Oleh: Julyadin Bafadhal ince
Lahir di Simpasai Sape-Bima, tanggal 28 Oktober 1986.
Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Ilmu Politik Univesitas Islam Negeri UIN Alauddi Makassa

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar