Urgensi Pendidikan Spiritual
Telaah Atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr
Di
Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah
Seminar
Proposal Tesis
Dosen
Pengampu
Prof.
Dr. Azyumardi Azra, MA.
S A H L A N
2114100000022
sahlanSPsUINjkrt@yahoo.co.id
Konsentrasi
Pendidikan Islam
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2014
Abstrak:
Penelitian ini
membuktikan kelemahan dan dampak negatif dari mode of thought modern yang
positivistik-profan dengan meremehkan dimensi transendental-sacred yang
spiritual sebagai suatu hal fundamental dalam kehidupan dan menjadi core
value-nya. Pendidikan spiritual dapat berkontribusi positif terhadap konsep
membangun sumber daya manusia modern, yaitu
sebagai guiding principles yang bersumber dari paradigma tawhỉd (unity of all creation).
Tesis ini memperkuat pendapat Seyyed Hossein Nasr (1989), Muhammed
Fadhel Jamali(1988), untuk
mengatasi krisis modern harus didasarkan pada fondasi moral dan spiritual, juga Pendidikan moral dan spiritual
dapat membantu manusia untuk menemukan jalan yang benar. Juga
pendapat Andrew Wright (2000), John
Cottingham (2005).
Mengatakan bahwa dimensi spiritual
merupakan hakikat keberadaan manusia. Komaruddin
Hidayat(1998), manusia adalah makhluk spiritual maka dengan spiritualitas akan merasakan kebahagian.
Tesis ini juga
membantah pendapat André Comte Sponville(2007), mengatakan, bahwa kita
bisa saja memisahkan antara konsep spiritualitas dari agama dan Tuhan, Daniel
A. Helminiak( 1996) menurutnya konsep agama tidak mereduksi hakikat
kehidupan spiritual. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa spiritualitas kontras
terhadap agama formal, dia mengakui walaupun
manusia tidak memeluk suatu agama, tetapi mereka tetap memiliki spiritualitas yang
tinggi. Sementara menurut David Car (2003) perkembangan spiritual seseorang dapat saja melalui agama atau tanpa agama.
Dalam penelitian
ini, metodologi yang digunakan yaitu metodologi kualitatif analitis, yang berusaha menjelaskan data secara
deskriptif, dengan menggunakan pendekatan filosofis. dan sosio-historis.
Pendektan filosofis merupakan salah satu cara untuk memahami serangkaian
realita secara mendalam untuk mencapai kebenaran. Sementara pendekatan
sosio-historis dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui latar sosial
yang mempengaruhi pemikiran Nasr sebagai realita sejarah.
Keywords: Manusia, Pendidikan, dan Spiritualitas
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Membahas hakekat manusia dengan memberikan
kritik terhadap ideologi dunia modern yang sekarang sedang dihadapi manusia.
Ideologi dunia modern telah menggeser posisi manusia dari pusat eksistensinya,
sehingga manusia modern semakin terpinggirkan dari esensi kemanusiaannya dan
kehidupan menjadi kehilangan horizon spiritual sehingga menimbulkan berbagai
bencana dan krisis, sebagaimana konsep-konsep serta faktor-faktor yang
dipergunakan untuk menganalisa krisis yang dihadapi manusia modern ini,
pemecahan-pemecahan yang dicari, dan bahkan untuk melukiskan bencana yang akan
menimpa umat manusia itu biasanya berdasarkan cara pandang yang holistik
tentang kehidupan sesungguhnya. Keadaan tersebut telah membuat manusia lupa
dengan hakikat dirinya yang sebenarnya dan horizon spiritual. Kemajuan
masyarakat yang sudah berhasil dan begitu percaya pada ilmu pengetahuan dan
teknologi yang serba canggih, akhirnya berkembang lepas dari kontrol agama
karena menjadikan manusia sebagai pusat kemajuan, sehingga ilmu pengetahuan dan
teknologi bagi sebagian besar orang di Barat akhirnya menggantikan posisi agama,
segala aspek agama seolah dapat terpenuhi dengan ilmu dan teknologi. Namun dalam
kurun waktu yang panjang teknologi canggih ternyata menghianati kepercayaan manusia,
kemajuan iptek justru identik dengan bencana, sehingga membuat masyarakat Barat
mengalami apa yang disebut krisis epistimologis, mereka tidak lagi mengetahui
makna dan tujuan hidup (meaning and purpose of life).[1]
Perubahan yang
terlihat sekarang sebagai bentuk integrasi perkembangan komunikasi dan
teknologi informasi yang semakin cepat mengharuskan dunia pendidikan
mempersiapkan berbagai kebutuhan perangkat intelektual, serta mulai lunturnya
nilai-nilai moral keagamaan.[2] Semua model pemikiran (mode
of thought) yang merambah di zaman sekarang merupakan kelanjutan dari
kreativitas cara berpikir manusia pada abad sebelumnya, adalah juga di ikuti,
dikonsepsikan dan diciptakan oleh sejarah yang dihadapi generasi tertentu pada
zamannya. Namun anehnya, generasi yang datang berikutnya tidak mampu keluar
dari garis orbit lingkaran yang gerak berkreasi dalam menatap perubahan zaman
yang dimotori oleh penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi.[3]
Perkembangan
dan kemajuan ilmu pengetahuan di bidang teknologi informasi, banyak mempengaruhi
tatanan nilai yang selama ini dianggap mapan. Perubahan sosial budaya semakin
hari semakin merongrong nilai-nilai ke-manusia-an yang fitri, dalam kegalauan
sosial seperti itu rekonstruksi pengalaman keagamaan merupakan suatu
keniscayaan. Kompleksitas kemajuan dunia modern dan tekanan kepada segi kemanusiaan dari agama
ini menjadi semakin relevan, bahkan mendesak, dalam menghadapi apa yang disebut
globalisasi, yaitu zaman yang
menyaksikan proses semakin menyatunya peradaban seluruh umat manusia berkat
kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi. Mengingat kenyataan global umat
manusia dalam kaitanyan dengan persoalan keagamaan di zaman kontemporer yang
didominasi oleh barat dengan segala paham yang berkembang sekarang.[4]
Tentu saja
untuk merespons maenstrim global sebagai kelanjutan dari paradigma modern, Interaksi
lintas budaya, seseorang kadang terjadi hambatan dikarenakan adanya perbedaan
ekspektasi di era globalisasi, interaksi antar bangsa menjadi intensif, dan
transparan. Seperti diketahui, budaya barat berpandangan praktis-pragmatis,
sekularistik dan liberal maka penyebaran informasi-pun dilakukan secara bebas
nilai, baik nilai agama maupun nilai budaya yang berfunngsi sebagai penyaring.
Sehingga disamping menerima informasi dari kemajuan globalisasi dan teknologi
juga berdampak pada kehidupan yang “permissive seperti free sex,
tawuran dan pesta obat-obatan terlarang”, ini menunjukan bahwa nilai-nilai
agama dan budaya lokal/kearifan lokal serta jati diri bangsa mulai memudar dan
tercerabut dari akar budayanya.[5]
Dalam konteks ini, semakin mengglobal
dan perubahan yang terjadi dalam segala aspek kehidupan manusia kini dan-disini,
sedikit banyak akan mempengaruhi pandangan dunia (worldview) manusia
dalam menyikapi persoalan kehidupan. Sementara menurut Ahmad Nurcholis, dampak paling
krusial dari perkembangan modernitas adalah manusia melihat segala sesuatu
hanya berdasar pada sudut pandang materialistik hedonis, sementara tentang
spiritual terpinggirkan. Meskipun secara material manusia mengalami kemajuan
yang spektakuler secara kuantitatif, namun secara kualitatif dan keseluruhan
tujuan hidupnya, manusia mengalami krisis yang sangat menyedihkan, bahkan mendorong
terjadinya degradasi kehidupan beragama atau moral seperti krisis nilai
spiritual berupa alienasi yaitu kerenggangan hubungan antara manusia dengan
Tuhan, hubungan manusia dengan manusia lain, dan hubungan manusia dengan alam
sekitar, sekaligus sebagai bentuk dehumanisasi nilai-nilai ke-manusia-an
manusia, ini semua sebagai dampak dari maenstrim globalisasi nilai budaya barat
yang sekularistik, individualistik, hedonis, dan konsumeristis.[6]
Jawad, melihat mendasari penyebab ini
terlihat gejala krisis spiritual.[7]
Dunia modern, seperti Nasr melihatnya, bahwa kita harus
beralih ke sumber-sumber tradisi dalam rangka untuk mengevaluasi
hal mendasari ini, tidak memiliki
kejelasan, tujuan, dan prinsip.[8]
kehilangan pengalaman
spiritual batin yang
memungkinkan hilangnya realisasi konkret
dari tingkat yang lebih tinggi dari makhluk, manusia
modern telah terbatas pada
aspek parsial dan
terbatas seperti realitas bahwa manusia telah kehilangan pandangan tentang Allah sebagai Realitas absolut.[9] Pandangan ini adalah salah
satu karakter utama peradaban Barat dalam mengafirmasikan relativitas realitas
yang memberinya alasan kuat untuk menyandarkan tatanan nilainya pada
dasar-dasar yang sekuler- material, dan positivistik. Menurut Al Attas, inilah
sebabnya peradaban Barat “selalu berubah dan menjadi (becoming) sesuatu
yang tidak pernah ada (being) kecuali bahwa adanya itu akan dan selalu
menjadi sesuatu yang menjadi” (becoming).[10]
Kenyataan
tersebut mengantarkan manusia pada zaman dimana manusia menemukan dalam dirinya
kekuatan yang dapat mengatasi persoalan hidupnya. Manusia dianggap makhluk yang
bebas menentukan nilai, independen dari campur tangan Tuhan, alam. Bahkan Manusia
membebaskan diri dari tatanan nilai-nilai Ilahiah (Theomorphisme),
untuk selanjutnya membangun tatanan antropomorphisme –suatu tatanan nilai
yang semata-mata berpusat pada manusia. Manusia menjadi tuan atas
nasibnya sendiri, yang mengakibatkannya terputus dari nilai spiritualnya. Manusia
melihat segala sesuatu hanya dari tempat ia berada, tidak dari tempat yang
seharusnya (pusat spiritualnya). Paradigma modernisme seperti itu, yang memandang
satu-satunya realitas sejati adalah realitas emperik-indrawi semata.[11]
Sebagai salah satu tokoh aliran filsafat
dengan pendekatan perenialisme dan sufismenya. Nasr, membahas hakekat manusia
dengan memberikan kritik terhadap ideologi dunia modern yang sekarang sedang dihadapi
manusia. Baginya, ideologi dunia modern telah menggeser nilai spiritual
manusia. Dari penjelasannya ini, tampak pula bahwa Nasr, berusaha menegaskan bahwa
manusia dengan segala karakteristiknya tidak dapat terlepas dari dimensi ketuhanan,
untuk mendapatkan pengetahuan tentang hakikat diri manusia sebenarnya dapat
dilakukan dengan menggali teks-teks keagamaan, tetapi manusia sekarang
cenderung mengabaikannya sehingga ia tidak mengetahui arti kearifan spiritual
dalam kehidupannya, fungsi kesalehan mausia tidak pernah bisa dipisahkan dari
realitas dan dari mana manusia itu sesungguhnya berasal, inilah sebabnya mengapa
ajaran-ajaran tradisional selalu menggambarkan kebahagiaan manusia di dalam
kesadaran dan kehidupannya menurut alam pontifikalnya.[12]
Hal ini ditambah lagi dengan kecenderungan
memformulasikan berbagai masalah dalam kehidupan manusia kepada
perubahan-perubahan fisik yang biasanya tidak menyentuh aspek batin bahkan
sering bertentangan. Dimensi metafisis dari ilmu pengetahuan menjadi hilang,
karena yang dikembangkan hanyalah ilmu yang bersifat praktis dan dapat diukur
dalam kerangka ilmiah yang diciptakan berdasarkan kebutuhan praktis manusia
dengan mengabaikan aspek moralitas dan nilai transendental ke-Tuhan-an[13]
Ekses corak
kemajuan seperti itu merembes ke dunia pendidikan, hal ini terjadi karena
pendidikan merupakan suatu entitas yang selalu terkait dengan konstelasi
sosial, politik, dan budaya pemikiran yang dominan, juga adalah sistem sosial
yang merefleksikan dialektika sosio-kultural secara kelembagaan,[14] mengatakan salah satu
persoalan pendidikan sampai saat ini belum terpecahkan secara tuntas adalah
menyangkut persoalan karakter manusia sebagai sasaran dimana pendidikan
dilaksanakan. Pendidikan sebagai aktivitas transformasi nilai-nilai
fundamental, ini dapat dilihat secara historis dan filosofis. Dalam perspektif
historis, pendidikan selalu mengikuti maju mundurnya perjalanan sejarah umat
manusia, mulai dari bentuk tradisional hingga sampai modern. Sementara dalam
pandangan filosofis, pendidikan merupakan tindakan performatif dalam upaya mencapai
sesuatu yang bermanfaat bagi manusia baik sebagai individu atau sebagai
kelompok sosial dalam berhubungan dengan sesama. Selain itu juga, pendidikan
merupakan refleksi untuk mencapai hakikat hidup yang sesungguhnya.[15]
Fenomena lain yang terjadi pada saat
itu adalah menyebarnya kemiskinan di kalangan rakyat, sementara para pejabat
kerajaan hidup dalam kemewahan dan diperparah dengan hilangnya aturan-aturan
dan perundang-undangan yang mengatur rakyat.[16]
Hal itu berimplikasi terhadap dekadensi moral, dehumanisasi, despiritualisasi, dan
runtuhnya nilai-nilai kehidupan.[17]
Perlunya
pengertian secukupnya akan hakikat perubahan zaman sekarang ini dalam era
global sebetulnya manusia mengalami zaman yang anomali, karena peradabannya
berpusat pada paham materialisme, kajian hal-hal yang spiritual sebagai
rekonstruksi keagamaan seperti diwakili oleh tasawuf yang mempunyai pandangan
futiristik, masyarakat manusia dan pelestarian nilai-nilai
kemanusiaan tidak mungkin tanpa meningkatkan spiritualitas, yaitu menghormati
apa yang disebut nilai-nilai kemanusiaan.[18]
Berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah makhluk tidak hanya memiliki aspek
hewani, tetapi juga memiliki aspek keruhanian
Penguatan pendidikan spiritual sangat mendesak
dalam mengatasi krisis yang menimpa
segala aspek kehidupan manusia modern“Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”[19]
Juga, nilai-nilai spiritual sangat urgen sebagai respons positif terhadap
perkembangan arus globalisasi. Pendidikan merupakan usaha mentransformasi
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang menjadi landasan untuk lebih
baik dari sebelumnya, pendidikan spiritual dimulai dari sejak manusia dalam
rahim yaitu berupa perjanjian primordial dengan penciptanya.[20]
Pendidikan adalah pengenalan dan pengakuan
mengenai tempat sesuatu sesuai dengan tatanan penciptaan yang ditanamkan secara
progresif ke dalam diri manusia sehingga menggiring pada pengenalan dan
pengakuan akan Tuhan dalam tatanan wujud sejati. Pendidikan sangat bergantung pada
kepercayaan, keyakinan, dan pandangan hidup manusia masyarakat yang terlibat di
dalamnya, hal ini didukung oleh fakta secara eksplisit atau implisit mengatakan
bahwa setiap tindakan-tindakan yang berkaitan dengan pendidikan tidak dapat
dipisahkan dengan pandangan filsafat, agama, dan sains mengenai eksistensi dan
hakikat manusia, baik jasmani maupun ruhani atau spiritual. Hakikat
pendidikan adalah pembentukan manusia ke arah yang di cita-citakan. Dengan
demikian pendidikan adalah proses pembentukan manusia ke arah yang di
cita-citakan. Proses membentuk manusia
yang di cita-citakan Islam merupakan
pekerjaan besar dan mulia.[21]
Apabila
di cermati lebih kritis dan serius kerenggangan spiritual umat Islam,
sebenarnya berawal dari kerapuhan metodologi dan intelektual dalam upaya
memahami genre perkembangan zaman. Lebih jauh pendidikan dalam tradisi Islam
klasik sangat menekankan nilai-nilai spiritual-ke-Tuhan-an. Namun melihat kemajuan disegala bidang
kehidupan manusia. Pendidikan harus dijadikan salah satu tema sentral dari
agenda rekonstruksi pemikiran ke depan. Sebab, ia merupakan jantung untuk
memompakan spirit pembaruan ke seluruh mode of thought secara
dinamis-progresif. konsep tersebut
mungkin fleksibel dan cukup kaya untuk
mengakomodasi dan mengintegrasikan spiritualitas
dalam kehidupan. Nasr dengan paham tradisionalnya cukup serius
menawarkan untuk kembali kepada spiritualitas dan tradisionalisme Islam untuk
melihat ulang paradigma pemikiran modern. Aktualisasi prima sikap keberagamaan
sebagai upaya penyerahan diri kepada kehendak Tuhan. Dimensi spiritual dari
paham tradisional dan penghayatan cara beragama merupakan sebuah perjalanan
menemukan hakikat diri manusia sendiri.[22]
Hal inilah yang menimbulkan ketertarikan peneliti
untuk melakukan penelitian lebih jauh dan mendalam berkenaan dengan pendapat
Seyyed Hossein Nasr tentang pendidikan spiritual dalam konsep tradisionalisme
Islam yang gagas oleh Nasr:
B. Permasalahan
1. Identifikasi
masalah
Dari deskripsi latar belakang di atas, sangat jelas
bahwa manusia modern mengalami malaise (kelesuan spiritual) dan split
personality. Dalam meresponi hal tersebut manusia harus lebih menekankan dimensi
spiritualitas yaitu bersikap apresif terhadap nilai-nilai luhur keagamaan dan
tidak hanya praktik dalam bentuk formal keagamaan semata.[23] Muncul masalah yang dapat
di identifikasi sebagai berikut:
a. Bagaimana paradigma
Barat terhadap krisis manusia modern?
b. Bagaimana konsep tradisionalisme Islam, lebih khusus pendidikan
spiritual dalam merespons krisis manusia modern?
c. Bagaimana
perkembangan pemikiran modern dengan mengesampingkan dimensi spiritualitas
agama?
d. Secara teori
maupun praktek worldview manusia modern dalam merumuskan konsep
mengalami masalah pada tataran ontologis dan epistemologis. memisahkan antara
yang profan dan sakral, manusia dan Tuhan, dualisme dan dikotomi subjek dan
objek menimbulkan problem yang cukup besar dalam memahami realitas kehidupan. Fakta
ini menuntut adanya worldview yang bersifat holistik, yang berbasis pendidikan
spiritual sebagai pilar pembangunannya,
namun juga harus mengintegrasikan spiritualitas agama dan kearifan moral dalam
konsep tersebut sebagai basis praksis.
C. Pembatasan dan Perumusan
Masalah
Pertanyaan di atas perlu disederhanakan dan dibatasi dalam
beberapa pertanyaan yang lebih detail menjadi:
a) Bagaimanakah konsep tradisionalisme Islam ?
b) Bagaimanakah proses
rekonstruksi spiritual terhadap krisis manusia modern?
c) Bagaimanakah bentuk
kontribusi dan aplikasi konsep pendidikan spiritual terhadap krisis modern?
Bagaimanakah
Respons Pendidikan Spiritual Terhadap Krisis Manusia Modern?
Melihat dari
masalah yang diidentifikasi dan batasan masalah diatas maka perumusan masalahnya
adalah: Bagaimana konsep pendidika spiritual dalam tradisi Islam dan
urgensinya terhadap krisis manusia modern?
D. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Kajian-kajian tentang spiritualitas
dan pendidikan atau pendidikan spiritual telah dilakukan oleh para pemikir dan
praktisi pendidikan. Di antaranya karya yang mengkaji isu-isu pendidikan
spiritual dengan beragam pendektan. juga mengeksplorasi isu-isu kultural,
agama, gender dan sosial yang disajikan dalam bentuk penelitian dan terma
pedagogis.[24]
Globalisasi
telah muncul sebagai semboyan baru sekarang dan sementara
itu telah jelas membawa manfaat yang luar biasa di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi serta pertukaran
budaya internasional, semua ini
dianggap dimensi global.
Jelas, jika umat manusia adalah untuk bertahan hidup dalam masyarakat
global yang super-materialistik
gaya hidup harus menghasilkan
paradigma yang lebih holistik di mana spiritualitas
memainkan peran penting untuk mencapai
kebaikan sejati.[25] Menurut Mohammed Fadhel Jamali, Manusia modern menghadapi dilema
spiritual yang sudah mulai mengerut
dan kering. Tapi pendidikan
yang efektif harus didasarkan pada
fondasi moral dan spiritual, lebih lanjut jamali, mengatakan bahwa semua aspek kehidupan di negara-negara maju
dan berkembang harus peduli dengan
dasar nilai-nilai agama yaitu spiritual,
bahkan dia percaya bahwa pendidikan
moral dan pendidikan spiritual dua hal yang tidak bisa
terpisahkan.[26]
Dalam konteks tersebut, I Ketut Sumarta, seorang yang
telah lama bergelut dalam dunia pendidikan, dalam bukunya yang berjudul Pendidikan
yang Memekarkan Rasa, sebagaimana di kutip oleh Djudjun Djaenudin Supriadi mengatakan bahwa: “Pendidikan nasional kita cenderung
hanya menonjolkan pembentukan kecerdasan berpikir dan menepikan penempatan
kecerdasan rasa, kecerdasan budi, bahkan kecerdasan batin. Dari sini, lahirlah
manusia-manusia yang berotak pintar, manusia berprestasi secara kuantitatif
akademik, namun tiada berkecerdasan budi sekaligus sangat berkegantungan, tidak
merdeka mandiri”.[27] Dalam penelitiannya,
Sister Mary Janet, Tentang korelasi antara nilai-nilai spiritual dengan
pendidikan karakter di sekolah umum dan sekolah Kristen di Amerika, Janet
menyimpulkan bahwa sekolah yang efektif dan baik tidak dapat dibangun tanpa
memadukan moralitas dan spiritualitas. Dan begitu juga nilai-nilai
spiritualitas mampu membangkitkan karakter positif yang sesuai dengan kultur
demokrasi.[28]
Secara apik Danah Zohar, melihat
Krisis spiritual (spiritual crisis) yang merupakan krisis mendasar pada
masyarakat modern. Dalam konteks ini, keberadaan spiritualitas menjadi penting
bagi kehidupan manusia untuk mulai dilihat kembali sebagai bagian integral kehidupannya.
Kebutuhan ini, ternyata, telah banyak dirasakan bahkan sudah mulai dicari
solusinya. Agama-agama formal memang kian mendapat tantangan baru, terutama
dari hipotesis konsep Spiritual Quotient (SQ) yang diajukan oleh Danah
Zohar dan Ian Marshall.[29]
Daniel Goleman menyebutkan bahwa
tahun-tahun terakhir milenium ini memperkenalkan zaman kemurungan (age of
melancholy), seperti halnya abad XXI menjadi abad kecemasan (the age
of anxienty). Wacana ini memperlihatkan apa yang tampaknya merupakan wabah
depresi manusia modern, wabah yang meluas seiring dengan diterimanya gaya hidup
modern di seluruh dunia. Tetapi dia tidak membahas secara khusus seperti apa
pendidikan spiritual.[30]
E.
Manfaat/Tujuan Penelitian
Adapun manfaat penelitian dapat dikelompokan menjadi
dua yaitu secara teoritik dan praktik:
1.
Secara teoritis: Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangsih riil terkait prinsip-prinsip dan metodologi untuk
pengembangan penelitian pendidikan secara umum yang akan datang.
2.
Secara praktis: hasil penelitian dapat memberikan
kontribusi nyata terhadap pemahaman yang lebih luas dan mendalam dalam
mengungkap aspek pemikiran Nasr dibidang pendidikan spiritual. Serta bermanfaat
dalam pengembangan khazanah ilmu pengetahuan, dan dapat diaktualkan dalam
persoalan-persoalan pendidikan. Penelitian ini semata-mata hanya fokus
mengakaji pemikiran Nasr.
F.
Signifikansi Penelitian
Kenyataan akan
pentingnya pendidikan spiritual kini sudah merebak di sebagian kalangan
masyarakat, sehingga informasi dan pembelajaran tentang hal ini mulai menjadi
kebutuhan yang mendesak. Meskipun demikian, pengetahuan dan karya-karya ilmiah
tentang pendidikan spiritual–khusunya ditinjau dari pendidikan Islam–masih
sedikit. Salah satu penyebab mengapa pengetahuan tentang potensi spiritual ini
menjadi sangat mahal; karena miskinnya contoh-contoh tentang praktik dari teori
pendidikan spiritual itu sendiri. Para ahli masih kesulitan menemukan siapakah
pelaku yang memiliki kecerdasan spiritual yang patut dijadikan teladan. Dengan
mengkaji pemikiran dan konsep pendidikan spiritual yang di konsruk oleh pemikir
tradisioalis yang pernah di miliki oleh Islam, adalah letak penting dari kajian dan penelitian ini. Dengan demikian,
penelitian ini ingin menggali dan menganalisis nilai-nilai khazanah pemikiran
Tradisionalnya Seyyed Hossein Nasr dan kontribusinya bagi pengembangan tradisi
keilmuan modern khususnya bagi pendidikan spiritual dan pendidikan umumnya.
G. Metodologi
Penelitian
1. Sifat
dan Jenis Penelitian
Ditinjau dari jenis
datanya, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menghasilkan data
deskriptif analitis,[31] sehingga memerlukan
pendekatan deskriptif analisis. Oleh
sebab itu, kajian ini seutuhnya melakukan telaah kepustakaan (library
research). Penelitian kepustakaan mengandalkan datanya dari buku,
jurnal, arsip, dokumen, dan tulisan-tulisan lain. Dengan perkembangan dan kemajuan
teknologi informasi, kini makna perpustakaan telah meluas ruang lingkupnya,
yakni mencakup pula media elektronik seperti internet, film dokumenter. Penelitian
ini akan memusatkan perhatiannya pada sumber-sumber data kepustakaan dalam
maknanya yang luas itu.[32] Ditinjau dari sifatnya
penelitian ini mengarah pada penelitian yang berupaya menggambarkan data secara
deskriptif-analitis untuk memahami secara lebih detail pemikiran yang Nasr yang
bercorak filsafat perenialis.
2.Sumber Data
Penelitian
Sesuai
dengan jenis penelitiannya, teknik pengumpulan data dilakukan di perpustakaan.
Tekniknya adalah dengan mengumpulkan data-data (baik primer maupun sekunder)
berdasarkan tema-tema yang relevan. Tema-tema itu kemudian diklasifikasi
berdasarkan nilai atau mutu relevansinya dengan topik penelitian ini, yaitu
melalui data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah
karya-karya Seyyed Hossein Nasr, yaitu:
1.
Knowledge and
The Sacred, (1989)
2.
Man
And Nature:The Spiritual Crisis of Modern Man, (1990)
3.
Traditional Islam in The Modern World
(1987).
4.
Islam In The Modern World: Challenge By
The West, Threatened By Fundamentalism, Keeping Faith With Tradition,
(2010)
5.
The
Need for a Sacred Science, (1993)
6.
The Garden Of Truth: The Vision and
Promise If Sufism, Islam's Mystical Tradition,
(2008).
7.
Islam and The Plight of Modern Man, (2001)
8.
Ideals and Realities of Islam, (2008)
9.
The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity, (2002)
10.
Islam: Religion, History, and Civilization, (2002)
11.
Islamic
Spirituality Foundations, ed. (1987)
12.
Science and Civilization
In Islam (2001)
Dari
sekian banyak karya tersebut penulis hanya akan batasi pada beberapa karya Nasr
yang berkaitan langsung dengan penelitian ini, diantaranya ialah, Knowledge and
The Sacred (1989),
Islamic Spirituality
Foundations,ed.(1987), Traditional Islam in The Modern World (1987)/
Islam In The Modern World: Challenge By The West, Threatened By Fundamentalism,
Keeping Faith With Tradition (2010), dan Islam and The Plight of Modern Man (2001). Juga
untuk menulis biografi Nasr akan merujuk pada karyanya, In
Search of the Sacred: A Conversation with Seyyed Hossein
Nasr on His Life and Thought
(2010).
G. Pendekatan Penelitian
G. Pendekatan Penelitian
Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan
pendekatan filsafat (philosophical approach). Diantara karakteristik
pendekatan filosofis adalah penelitian dan pengkajian struktur ide-ide dasar
serta pemikiran-pemikiran yang fundamental (fundamental ideas) yang
dirumuskan oleh seorang pemikir, di samping itu conceptual analysis juga
menjadi sebuah karakteristik penting dan suatu kemestian dalam penelitian
dengan pendekatan filsafat.
H. Sistematika
Penelitian
Teknik
penulisan ini disusun berdasarkan bab per bab. Untuk memudahkan pemetaan
masalah yang dihadapi dalam mengkaji Islam dan krisis manusia modern, maka
diawal penelitian ini diuraikan satu bab khusus, yakni bab pertama sebagai
kerangka analisis dalam memahami bab-bab selanjutnya.
Pada bab pertama akan diuraikan secara
konseptual teoritik mengenai akar dan sejarah munculnya berbagai krisis yang
dialami manusia modern atau yang disebut dengan bab pendahuluan yang memaparkan
latar belakang perlunya penelitian ini. identifikasi masalah, pembatasan
masalah, dan perumusan masalah, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan dan
manfaat penelitian, signikansi penelitian, metodologi penelitian yang meliputi
sifat dan jenis penelitian serta sumber data , pendekatan peneliitian dan
sistematika pembahasan penelitian.
Bab kedua akan menguraikan
perdebatan akademik tentang urgensi pendidikan spiritual terhadap krisis yang
di alami manusia modern. Oleh karena itu, pada bab ini, teori yang akan dibahas
meliputi, konsep pndidikan dalam upaya peningkatan spiritual, konsep pendidikan
spiritual, dan urgensi pendidikan spiritual dalam mengatasi krisis manusia
modern. Pada sub bab urgensi pendidikan spiritual, juga akan membahas
komponen-komponen menuju spiritual khusus dalam pandangan pemikir Islam. Dari
konsep-konsep tersebut akan dijadikan landasan mengenai spiritualitas dan
pengembangannya dibidang pendidikan Islam dan umum.
Bab ketiga menjelaskan tentang
riwayat hidup, latar belakang pendidikan, pokok-pokok pemikiran Nasr tentang
spiritualitas,
Bab keempat menguraikan dialektika
pendidikan spiritual dengan krisis manusia modern, manusia sebagai hamba
menurut Nasr, dan hubungan manusia dengan Tuhan dalam pandangan Nasr.
Bab keenam merupakan penutup
yang berisi kesimpulan penelitian, saran dan implikasi hasil penelitian untuk
pendidikan spiritual di Indonesia.
Daftar Pustaka
Abdullah, M.
Amin, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Intergratif dan
Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
Al Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993).
-----------,The Concept Of Education In
Islam (Kuala Lumpur: ABIM, 1980),
Arif, Mahmud,
Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LkiS, 2008).
Azra, Azyumardi,
Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, (Jakarta:
Kompas, 2002).
Cottingham, John, The Spiritual Dimension: Religion,
Philosophy, and Human Value, (New York:
Cambridge University Press, 2005).
Madjid, Nurcholish,
Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008).
Hilmī, Ahmad Kamāl al-Dīn, Al-Salājiqah fī al-Tārikh wa al-Hadhārah, (Kuwait: Dār al-Buhūts al-‘Ilmīyah, 1395H).
Hidayat, Komaruddin, Tragedi Rja Midas:
moralitas Agama dan Krisis Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1998)
Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Republik
Indonesia No 20 Tahun 2003 (Bandung:
Fokus Media, 2006).
Katsīr, Ibnu, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Juz XII.(Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 1421H).
Moeleong, Lihat Lexi J., Metodologi
Penelitian Kualitatif, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 1997).
Nasr, Seyyed Hossein, Knowledge
and The Sacred, (New York:
State University of New York Press, 1989).
-----------,
Man And Nature:The Spiritual Crisis of Modern Man, (London:
Mandala Unwin, 1990).
------------,
The Need for a Sacred Science, (New
York:Curzon Press.
Ltd, 1993).
------------, Islam
and The Plight of Modern Man, (Chicago: International Group. 2001).
----------, Traditional Islam in the
Modern World ,
(New York, Great Britain, 1987)
Tilaar, H.A.R., Kebudayaan dan
Pendidikan, (Magelang: Indonesia Tera, 2003).
Tim Lajnah pentashihan Mushaf Al Qur’an Badan
Litbang dan Diklat, Tafsi>r Al-Qur’an Tematik: Pendidikan, Pengembangan Karakter, dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2010).
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia, (Jakarta: Ditbinperta DEPAG RI, 1998).
Zohar, Danah dan Ian Marshal, SQ: Spiritual Intelligence: The Ultimate
Intelligence, (Great Britain: Bloomsbury, 2000).
-----------, Spiritual Capital , (California: Berrett-Koehler Publishers, 2004).
Jane Erricker,
“Street spirituality: a narrative case study of a street community” dalam, Contemporary Spiritualities: Social and Religious Contexts, (New
York: Continuum, 2001).
Ahmad Nurcholis, “Peran Tasawuf dalam Merekonstruksi Krisis
Spiritualitas Manusia Modern” Jurnal
Sosio-Religia, Vol. 10, No.1, Februari (2012).
Haifaa Jawad
“Seyyed Hossein Nasr and the Study of Religion in Contemporary Society”, The
American Journal of Islamic Social Sciences. Vol. 24, No. 2.(2007).
Moh. Magfur,
Pengaruh Globalisasi Terhadap Pendidikan Islam, http://qomaruddin.com/wp-content/uploads/2013/11/4.-pengaruh-globalisasi-thd-pend.
islam1.pdf
Wiwik
Kusdaryani, “Paradigma pendidikan di era glogalisasi” Artikel Procceding
seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” IKIP
Veteran Semarang, Tahun, 2012.
Karan Singh, “ Sprituality in Global Society” Jurnal
India International Centre Quarterly, Vol. 37, No. 2 (AUTUMN,
2010).
James
Moffett, “Censorship and Spiritual Education” Source English Education,
Vol. 21, No. 2 (May, 1989).
Mohammed Fadhel Jamali, “Moral And Spiritual
Education In The Developing” International Journal on World Peace, Vol.
5, No. 3 (JUL-SEP 1988).
Nur Said, “Kritik Tradisionalisme Islam Terhadap Krisis Dunia
Modern (Studiatas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr)”, An-Nur, Vol. I, No. 2, Februari 2005.
[1]
Djudjun Djaenudin Supriadi, “Program
Pendidikan Karakter di
Lingkungan
BPK PENABUR Jakarta” Tabloid PENABUR Jakarta No. 25
(Maret-April
2009), http://www.bpkpenabur.or.id/files/08_0.pdf, (di akses pada
tanggal 27 April 2011).
[1]Seyyed
Hossein Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, (Chicago:
International Group. 2001), hlm. 3-25
[2]Wiwik
Kusdaryani, “Paradigma pendidikan di era glogalisasi” Artikel Procceding
seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” IKIP
Veteran Semarang, Tahun, 2012.
[3]M.
Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Intergratif
dan Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). hlm. 249-250
[4]Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008). hlm.
XXII- XXIV
[5]Azyumardi
Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, (Jakarta:
Kompas, 2002). hlm. 189-200
[6]Ahmad Nurcholis, “Peran Tasawuf dalam Merekonstruksi Krisis
Spiritualitas Manusia Modern” Jurnal
Sosio-Religia, Vol. 10, No.1, Februari (2012), hlm. 109-115.
[7]Haifaa Jawad
“Seyyed Hossein Nasr and the Study of Religion in Contemporary Society”, The
American Journal of Islamic Social Sciences. Vol. 24, No. 2.(2007). Menurut
Moh. Magfur, bukan saja krisis spiritual tetapi juga aspek
sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dalam,
Pengaruh Globalisasi Terhadap Pendidikan Islam, http://qomaruddin.com/wp-content/uploads/2013/11/4.-pengaruh-globalisasi-thd-pend.
islam1.pdf
[8]Seyyid Hossein Nasr, Islam and The Plight Of Modern Man, hlm.
71-75
[11]John Cottingham, The
Spiritual Dimension: Religion,
Philosophy, and Human Value, (New York:
Cambridge University Press, 2005), hlm. 102-106. Juga bandingkan dengan, Jane Erricker, “Street
spirituality: a narrative case study of a street community” yang mengatakan, bahwa
komunitas manusia modern mengalami semacam kekeringan nilai-nilai transendental.
Dalam, Contemporary Spiritualities: Social and Religious Contexts, (New
York: Continuum, 2001), hlm. 224
[12]Seyyed Hossein Nasr, Knowledge
and The Sacred, (New York:
State University of New York Press, 1989),hlm. 144-150.
[13]Lihat, Nur Said, “Kritik Tradisionalisme Islam Terhadap Krisis
Dunia Modern (Studiatas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr)”, An-Nur, Vol. I, No. 2, Februari 2005, hlm. 280-282
[14]Mahmud
Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LkiS, 2008).
hlm. 247
[15]Zuhairini,
dkk, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Ditbinperta DEPAG
RI, 1998). hlm. 4-6. Juga dalam, H.A.R. Tilaar, Kebudayaan dan Pendidikan, (Magelang:
Indonesia Tera, 2003), hlm. 119-120. Yang mengatakan tiga karakteristik
tindakan pendidikan yaitu, tindakan performatif dan partisipasi dengan sesama,
tindakan reflektif secara terencana dan terarah, dan tindakan sadar manusia
untuk mencapai tujuan.
[16]Ahmad Kamāl al-Dīn Hilmī, Al-Salājiqah fī al-Tārikh wa al-Hadhārah, (Kuwait: Dār al-Buhūts al-‘Ilmīyah, 1395H),
hlm. 195.
[17]Ibnu Katsīr, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, (Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 1421H), Juz XII, hlm. 105.
[18]Seyyid Hossein Nasr, Man And Nature:The Spiritual
Crisis of Modern Man, (London: Mandala Unwin, 1990). hlm. 14.
Indonesia No 20 Tahun 2003 (Bandung:
Fokus Media, 2006). hlm. 3.
[20] Tim Lajnah pentashihan Mushaf
Al Qur’an Badan Litbang dan Diklat, Tafsi>r Al-Qur’an Tematik: Pendidikan, Pengembangan Karakter, dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2010).
hlm. 1-2.
[21]Syed Muhammad Naquib A1-Attas, The Concept Of Education In Islam (Kuala Lumpur: ABIM,
1980), hlm. 139
[22]Seyyed
Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World , (New
York, Great Britain, 1987), hlm. 97
[23]Komaruddin Hidayat, Tragedi
Rja Midas: moralitas Agama dan Krisis Modernisme, (Jakarta: Paramadina,
1998), hlm. 225
[24]Lihat Buku yang diedit Jane
Erricker, Chaty Ota dan Clive Erricker, Yang mengkaji pendidikan
spiritual dari berbagai pendekatan, yaitu pendekatan religius- teologis,
psikologi, antropologi, dan pedagogis. Spiritual Education: Cultural,
Religious and Social Differences,. (Brighton: Sussex Academic Press, 2001).
Juga dalam buku ini secara baik mengeksplorasi isu-isu kultural, agama, gender
dan sosial yang disajikan dalam bentuk penelitian dan terma pendidikan
spiritual.
[25] Karan Singh, “ Sprituality
in Global Society” Jurnal India International Centre Quarterly,
Vol. 37, No. 2 (AUTUMN, 2010), hlm. 26-35. Lihat juga, James Moffett, yang
mengatakan bahwa pendidikan spiritual merupakan penawar atas racun modern “Censorship and Spiritual Education” Source
English Education, Vol. 21, No. 2 (May, 1989), hlm. 70-87
[26]Mohammed Fadhel Jamali,
“Moral And Spiritual Education In The Developing” International Journal on
World Peace, Vol. 5, No. 3 (JUL-SEP 1988), hlm. 123-130
[27]
Djudjun Djaenudin Supriadi, “Program
Pendidikan Karakter di
Lingkungan
BPK PENABUR Jakarta” Tabloid PENABUR Jakarta No. 25
(Maret-April
2009), http://www.bpkpenabur.or.id/files/08_0.pdf, (di akses pada
tanggal 27 April 2011).
[28] Sister Mary Janet dan Ralph G.
Chamberin, “What We Are Doing About Spiritual Values and Character Education
for Present Day Youth” (Proceeding Konvensi Tahunan Nasional Association of
Secondary School Principals) dari: www.bul.sagepub.com, 252. (Diakses pada
tanggal 17 Juni 2011)
[29]Lihat Danah Zohar and Ian Marshal, SQ: Spiritual Intelligence: The
Ultimate Intelligence, (Great Britain: Bloomsbury, 2000), hlm. 18. Juga dalam,
Danah Zohan and Ian Marshal, Spiritual Capital , (California: Berrett-Koehler Publishers, 2004), hlm. 61
[30]Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ?,
(London: Bloomsbury, 1995), hlm. 334
[31]Lihat Lexi J. Moeleong, Metodologi
Penelitian Kualitatif, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 1997),hlm.3
[32]Lihat Abdul
Quddus,Respons tradisionalisme Islam Terhadap Krisis Lingkungan: Telaah Atas
Pemikiran Seyyed Hossein Nasr. (Disertasi Doktor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2012), hlm. 44
[33]Semua buku-buku Seyyed Hossein
Nasr, penulis unduh dari Library Genesis
Project Internet.