Senin, 05 Januari 2015

Urgensi Pendidikan Spiritual



Urgensi Pendidikan Spiritual
Telaah Atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr


Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah
Seminar Proposal Tesis


Dosen Pengampu
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.









S A H L A N 
2114100000022 
sahlanSPsUINjkrt@yahoo.co.id
Konsentrasi Pendidikan Islam




SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014


Abstrak: Penelitian ini membuktikan kelemahan dan dampak negatif dari mode of thought modern yang positivistik-profan dengan meremehkan dimensi transendental-sacred yang spiritual sebagai suatu hal fundamental dalam kehidupan dan menjadi core value-nya. Pendidikan spiritual dapat berkontribusi positif terhadap konsep membangun sumber daya manusia modern, yaitu  sebagai guiding principles yang bersumber dari paradigma tawhd (unity of all creation).
            Tesis ini memperkuat pendapat Seyyed Hossein Nasr (1989), Muhammed Fadhel Jamali(1988), untuk mengatasi krisis modern harus didasarkan pada fondasi moral dan spiritual, juga Pendidikan moral dan spiritual dapat membantu manusia untuk menemukan jalan yang benar. Juga pendapat Andrew Wright (2000), John Cottingham (2005). Mengatakan bahwa dimensi spiritual merupakan hakikat keberadaan manusia. Komaruddin Hidayat(1998), manusia adalah makhluk spiritual  maka dengan spiritualitas  akan merasakan kebahagian.
Tesis ini juga membantah pendapat André Comte Sponville(2007), mengatakan, bahwa kita bisa saja memisahkan antara konsep spiritualitas dari agama dan Tuhan, Daniel A. Helminiak( 1996) menurutnya konsep agama tidak mereduksi hakikat kehidupan spiritual. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa spiritualitas kontras terhadap agama formal, dia  mengakui walaupun manusia tidak memeluk suatu agama, tetapi  mereka tetap memiliki spiritualitas yang tinggi. Sementara menurut David Car (2003) perkembangan spiritual seseorang dapat saja melalui agama atau tanpa agama.
Dalam penelitian ini, metodologi yang digunakan yaitu metodologi kualitatif analitis,  yang berusaha menjelaskan data secara deskriptif, dengan menggunakan pendekatan filosofis. dan sosio-historis. Pendektan filosofis merupakan salah satu cara untuk memahami serangkaian realita secara mendalam untuk mencapai kebenaran. Sementara pendekatan sosio-historis dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui latar sosial yang mempengaruhi pemikiran Nasr sebagai realita sejarah.

Keywords: Manusia, Pendidikan, dan Spiritualitas








BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Membahas hakekat manusia dengan memberikan kritik terhadap ideologi dunia modern yang sekarang sedang dihadapi manusia. Ideologi dunia modern telah menggeser posisi manusia dari pusat eksistensinya, sehingga manusia modern semakin terpinggirkan dari esensi kemanusiaannya dan kehidupan menjadi kehilangan horizon spiritual sehingga menimbulkan berbagai bencana dan krisis, sebagaimana konsep-konsep serta faktor-faktor yang dipergunakan untuk menganalisa krisis yang dihadapi manusia modern ini, pemecahan-pemecahan yang dicari, dan bahkan untuk melukiskan bencana yang akan menimpa umat manusia itu biasanya berdasarkan cara pandang yang holistik tentang kehidupan sesungguhnya. Keadaan tersebut telah membuat manusia lupa dengan hakikat dirinya yang sebenarnya dan horizon spiritual. Kemajuan masyarakat yang sudah berhasil dan begitu percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang serba canggih, akhirnya berkembang lepas dari kontrol agama karena menjadikan manusia sebagai pusat kemajuan, sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi bagi sebagian besar orang di Barat akhirnya menggantikan posisi agama, segala aspek agama seolah dapat terpenuhi dengan ilmu dan teknologi. Namun dalam kurun waktu yang panjang teknologi canggih ternyata menghianati kepercayaan manusia, kemajuan iptek justru identik dengan bencana, sehingga membuat masyarakat Barat mengalami apa yang disebut krisis epistimologis, mereka tidak lagi mengetahui makna dan tujuan hidup (meaning and purpose of life).[1]
Perubahan yang terlihat sekarang sebagai bentuk integrasi perkembangan komunikasi dan teknologi informasi yang semakin cepat mengharuskan dunia pendidikan mempersiapkan berbagai kebutuhan perangkat intelektual, serta mulai lunturnya nilai-nilai moral keagamaan.[2] Semua model pemikiran (mode of thought) yang merambah di zaman sekarang merupakan kelanjutan dari kreativitas cara berpikir manusia pada abad sebelumnya, adalah juga di ikuti, dikonsepsikan dan diciptakan oleh sejarah yang dihadapi generasi tertentu pada zamannya. Namun anehnya, generasi yang datang berikutnya tidak mampu keluar dari garis orbit lingkaran yang gerak berkreasi dalam menatap perubahan zaman yang dimotori oleh penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi.[3]
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan di bidang teknologi informasi, banyak mempengaruhi tatanan nilai yang selama ini dianggap mapan. Perubahan sosial budaya semakin hari semakin merongrong nilai-nilai ke-manusia-an yang fitri, dalam kegalauan sosial seperti itu rekonstruksi pengalaman keagamaan merupakan suatu keniscayaan. Kompleksitas kemajuan dunia modern  dan tekanan kepada segi kemanusiaan dari agama ini menjadi semakin relevan, bahkan mendesak, dalam menghadapi apa yang disebut globalisasi, yaitu zaman yang  menyaksikan proses semakin menyatunya peradaban seluruh umat manusia berkat kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi. Mengingat kenyataan global umat manusia dalam kaitanyan dengan persoalan keagamaan di zaman kontemporer yang didominasi oleh barat dengan segala paham yang berkembang sekarang.[4]
Tentu saja untuk merespons maenstrim global sebagai kelanjutan dari paradigma modern, Interaksi lintas budaya, seseorang kadang terjadi hambatan dikarenakan adanya perbedaan ekspektasi di era globalisasi, interaksi antar bangsa menjadi intensif, dan transparan. Seperti diketahui, budaya barat berpandangan praktis-pragmatis, sekularistik dan liberal maka penyebaran informasi-pun dilakukan secara bebas nilai, baik nilai agama maupun nilai budaya yang berfunngsi sebagai penyaring. Sehingga disamping menerima informasi dari kemajuan globalisasi dan teknologi juga berdampak pada kehidupan yang “permissive seperti free sex, tawuran dan pesta obat-obatan terlarang”, ini menunjukan bahwa nilai-nilai agama dan budaya lokal/kearifan lokal serta jati diri bangsa mulai memudar dan tercerabut dari akar budayanya.[5]
Dalam konteks ini, semakin mengglobal dan perubahan yang terjadi dalam segala aspek kehidupan manusia kini dan-disini, sedikit banyak akan mempengaruhi pandangan dunia (worldview) manusia dalam menyikapi persoalan kehidupan. Sementara menurut Ahmad Nurcholis, dampak paling krusial dari perkembangan modernitas adalah manusia melihat segala sesuatu hanya berdasar pada sudut pandang materialistik hedonis, sementara tentang spiritual terpinggirkan. Meskipun secara material manusia mengalami kemajuan yang spektakuler secara kuantitatif, namun secara kualitatif dan keseluruhan tujuan hidupnya, manusia mengalami krisis yang sangat menyedihkan, bahkan mendorong terjadinya degradasi kehidupan beragama atau moral seperti krisis nilai spiritual berupa alienasi yaitu kerenggangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia lain, dan hubungan manusia dengan alam sekitar, sekaligus sebagai bentuk dehumanisasi nilai-nilai ke-manusia-an manusia, ini semua sebagai dampak dari maenstrim globalisasi nilai budaya barat yang sekularistik, individualistik, hedonis, dan konsumeristis.[6]
Jawad, melihat mendasari penyebab ini terlihat gejala krisis spiritual.[7] Dunia modern, seperti Nasr melihatnya,  bahwa kita harus beralih ke sumber-sumber tradisi dalam rangka untuk mengevaluasi hal mendasari ini, tidak memiliki kejelasan, tujuan, dan prinsip.[8] kehilangan pengalaman spiritual batin yang memungkinkan hilangnya realisasi konkret dari tingkat yang lebih tinggi dari makhluk, manusia modern telah terbatas pada aspek parsial dan terbatas seperti realitas bahwa manusia telah kehilangan pandangan tentang Allah sebagai Realitas absolut.[9] Pandangan ini adalah  salah satu karakter utama peradaban Barat dalam mengafirmasikan relativitas realitas yang memberinya alasan kuat untuk menyandarkan tatanan nilainya pada dasar-dasar yang sekuler- material, dan positivistik. Menurut Al Attas, inilah sebabnya peradaban Barat “selalu berubah dan menjadi (becoming) sesuatu yang tidak pernah ada (being) kecuali bahwa adanya itu akan dan selalu menjadi sesuatu yang menjadi” (becoming).[10] 
Kenyataan tersebut mengantarkan manusia pada zaman dimana manusia menemukan dalam dirinya kekuatan yang dapat mengatasi persoalan hidupnya. Manusia dianggap makhluk yang bebas menentukan nilai, independen dari campur tangan Tuhan, alam. Bahkan Manusia membebaskan diri dari tatanan nilai-nilai Ilahiah (Theomorphisme), untuk selanjutnya membangun tatanan antropomorphisme –suatu tatanan nilai yang semata-mata berpusat pada manusia. Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri, yang mengakibatkannya terputus dari nilai spiritualnya. Manusia melihat segala sesuatu hanya dari tempat ia berada, tidak dari tempat yang seharusnya (pusat spiritualnya). Paradigma modernisme seperti itu, yang memandang satu-satunya realitas sejati adalah realitas emperik-indrawi semata.[11]
Sebagai salah satu tokoh aliran filsafat dengan pendekatan perenialisme dan sufismenya. Nasr, membahas hakekat manusia dengan memberikan kritik terhadap ideologi dunia modern yang sekarang sedang dihadapi manusia. Baginya, ideologi dunia modern telah menggeser nilai spiritual manusia. Dari penjelasannya ini, tampak pula bahwa Nasr, berusaha menegaskan bahwa manusia dengan segala karakteristiknya tidak dapat terlepas dari dimensi ketuhanan, untuk mendapatkan pengetahuan tentang hakikat diri manusia sebenarnya dapat dilakukan dengan menggali teks-teks keagamaan, tetapi manusia sekarang cenderung mengabaikannya sehingga ia tidak mengetahui arti kearifan spiritual dalam kehidupannya, fungsi kesalehan mausia tidak pernah bisa dipisahkan dari realitas dan dari mana manusia itu sesungguhnya berasal, inilah sebabnya mengapa ajaran-ajaran tradisional selalu menggambarkan kebahagiaan manusia di dalam kesadaran dan kehidupannya menurut alam pontifikalnya.[12]
Hal ini ditambah lagi dengan kecenderungan memformulasikan berbagai masalah dalam kehidupan manusia kepada perubahan-perubahan fisik yang biasanya tidak menyentuh aspek batin bahkan sering bertentangan. Dimensi metafisis dari ilmu pengetahuan menjadi hilang, karena yang dikembangkan hanyalah ilmu yang bersifat praktis dan dapat diukur dalam kerangka ilmiah yang diciptakan berdasarkan kebutuhan praktis manusia dengan mengabaikan aspek moralitas dan nilai transendental ke-Tuhan-an[13]
Ekses corak kemajuan seperti itu merembes ke dunia pendidikan, hal ini terjadi karena pendidikan merupakan suatu entitas yang selalu terkait dengan konstelasi sosial, politik, dan budaya pemikiran yang dominan, juga adalah sistem sosial yang merefleksikan dialektika sosio-kultural secara kelembagaan,[14] mengatakan salah satu persoalan pendidikan sampai saat ini belum terpecahkan secara tuntas adalah menyangkut persoalan karakter manusia sebagai sasaran dimana pendidikan dilaksanakan. Pendidikan sebagai aktivitas transformasi nilai-nilai fundamental, ini dapat dilihat secara historis dan filosofis. Dalam perspektif historis, pendidikan selalu mengikuti maju mundurnya perjalanan sejarah umat manusia, mulai dari bentuk tradisional hingga sampai modern. Sementara dalam pandangan filosofis, pendidikan merupakan tindakan performatif dalam upaya mencapai sesuatu yang bermanfaat bagi manusia baik sebagai individu atau sebagai kelompok sosial dalam berhubungan dengan sesama. Selain itu juga, pendidikan merupakan refleksi untuk mencapai hakikat hidup yang sesungguhnya.[15]
Fenomena lain yang terjadi pada saat itu adalah menyebarnya kemiskinan di kalangan rakyat, sementara para pejabat kerajaan hidup dalam kemewahan dan diperparah dengan hilangnya aturan-aturan dan perundang-undangan yang mengatur rakyat.[16] Hal itu berimplikasi terhadap dekadensi moral, dehumanisasi, despiritualisasi, dan runtuhnya nilai-nilai kehidupan.[17]
Perlunya pengertian secukupnya akan hakikat perubahan zaman sekarang ini dalam era global sebetulnya manusia mengalami zaman yang anomali, karena peradabannya berpusat pada paham materialisme, kajian hal-hal yang spiritual sebagai rekonstruksi keagamaan seperti diwakili oleh tasawuf yang mempunyai pandangan futiristik, masyarakat manusia dan pelestarian nilai-nilai kemanusiaan tidak mungkin tanpa meningkatkan spiritualitas, yaitu menghormati apa yang disebut nilai-nilai kemanusiaan.[18] Berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah makhluk tidak hanya memiliki aspek hewani, tetapi juga memiliki aspek keruhanian
Penguatan pendidikan spiritual sangat mendesak dalam mengatasi krisis yang menimpa  segala aspek kehidupan manusia modern“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”[19] Juga, nilai-nilai spiritual sangat urgen sebagai respons positif terhadap perkembangan arus globalisasi. Pendidikan merupakan usaha mentransformasi pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang menjadi landasan untuk lebih baik dari sebelumnya, pendidikan spiritual dimulai dari sejak manusia dalam rahim yaitu berupa perjanjian primordial dengan penciptanya.[20]
Pendidikan adalah pengenalan dan pengakuan mengenai tempat sesuatu sesuai dengan tatanan penciptaan yang ditanamkan secara progresif ke dalam diri manusia sehingga menggiring pada pengenalan dan pengakuan akan Tuhan dalam tatanan wujud sejati. Pendidikan sangat bergantung pada kepercayaan, keyakinan, dan pandangan hidup manusia masyarakat yang terlibat di dalamnya, hal ini didukung oleh fakta secara eksplisit atau implisit mengatakan bahwa setiap tindakan-tindakan yang berkaitan dengan pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan pandangan filsafat, agama, dan sains mengenai eksistensi dan hakikat manusia, baik jasmani maupun ruhani atau spiritual. Hakikat pendidikan adalah pembentukan manusia ke arah yang di cita-citakan. Dengan demikian pendidikan adalah proses pembentukan manusia ke arah yang di cita-citakan.  Proses membentuk manusia yang di cita-citakan  Islam merupakan pekerjaan besar dan mulia.[21]
            Apabila di cermati lebih kritis dan serius kerenggangan spiritual umat Islam, sebenarnya berawal dari kerapuhan metodologi dan intelektual dalam upaya memahami genre perkembangan zaman. Lebih jauh pendidikan dalam tradisi Islam klasik sangat menekankan nilai-nilai spiritual-ke-Tuhan-an.  Namun melihat kemajuan disegala bidang kehidupan manusia. Pendidikan harus dijadikan salah satu tema sentral dari agenda rekonstruksi pemikiran ke depan. Sebab, ia merupakan jantung untuk memompakan spirit pembaruan ke seluruh mode of thought secara dinamis-progresif. konsep tersebut mungkin fleksibel dan cukup kaya untuk mengakomodasi dan mengintegrasikan spiritualitas dalam kehidupan. Nasr dengan paham tradisionalnya cukup serius menawarkan untuk kembali kepada spiritualitas dan tradisionalisme Islam untuk melihat ulang paradigma pemikiran modern. Aktualisasi prima sikap keberagamaan sebagai upaya penyerahan diri kepada kehendak Tuhan. Dimensi spiritual dari paham tradisional dan penghayatan cara beragama merupakan sebuah perjalanan menemukan hakikat diri manusia sendiri.[22]
Hal inilah yang menimbulkan ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian lebih jauh dan mendalam berkenaan dengan pendapat Seyyed Hossein Nasr tentang pendidikan spiritual dalam konsep tradisionalisme Islam yang gagas oleh Nasr:
B.   Permasalahan
1.    Identifikasi masalah
Dari deskripsi latar belakang di atas, sangat jelas bahwa manusia modern mengalami malaise (kelesuan spiritual) dan split personality. Dalam meresponi hal tersebut manusia harus lebih menekankan dimensi spiritualitas yaitu bersikap apresif terhadap nilai-nilai luhur keagamaan dan tidak hanya praktik dalam bentuk formal keagamaan semata.[23] Muncul masalah yang dapat di identifikasi sebagai berikut:
a.    Bagaimana paradigma Barat terhadap krisis manusia modern?
b.    Bagaimana konsep tradisionalisme Islam, lebih khusus pendidikan spiritual dalam merespons krisis manusia modern?
c.    Bagaimana perkembangan pemikiran modern dengan mengesampingkan dimensi spiritualitas agama?
d.    Secara teori maupun praktek worldview manusia modern dalam merumuskan konsep mengalami masalah pada tataran ontologis dan epistemologis. memisahkan antara yang profan dan sakral, manusia dan Tuhan, dualisme dan dikotomi subjek dan objek menimbulkan problem yang cukup besar dalam memahami realitas kehidupan. Fakta ini menuntut adanya worldview yang bersifat holistik, yang berbasis pendidikan spiritual sebagai pilar  pembangunannya, namun juga harus mengintegrasikan spiritualitas agama dan kearifan moral dalam konsep tersebut sebagai basis praksis.
C.  Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pertanyaan di atas perlu disederhanakan dan dibatasi dalam beberapa pertanyaan yang lebih detail menjadi:
a) Bagaimanakah konsep tradisionalisme Islam ?
b) Bagaimanakah proses rekonstruksi spiritual terhadap krisis manusia  modern?
c) Bagaimanakah bentuk kontribusi dan aplikasi konsep pendidikan spiritual terhadap krisis modern?
Bagaimanakah Respons Pendidikan Spiritual Terhadap Krisis Manusia Modern?
Melihat dari masalah yang diidentifikasi dan batasan masalah diatas maka perumusan masalahnya adalah: Bagaimana konsep pendidika spiritual dalam tradisi Islam dan urgensinya terhadap krisis manusia modern?
D.  Penelitian Terdahulu yang Relevan
Kajian-kajian tentang spiritualitas dan pendidikan atau pendidikan spiritual telah dilakukan oleh para pemikir dan praktisi pendidikan. Di antaranya karya yang mengkaji isu-isu pendidikan spiritual dengan beragam pendektan. juga mengeksplorasi isu-isu kultural, agama, gender dan sosial yang disajikan dalam bentuk penelitian dan terma pedagogis.[24]
Globalisasi telah muncul sebagai semboyan baru sekarang dan sementara itu telah jelas membawa manfaat yang luar biasa di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi informasi serta pertukaran budaya internasional, semua ini dianggap dimensi global. Jelas, jika umat manusia adalah untuk bertahan hidup dalam masyarakat global yang  super-materialistik gaya hidup harus menghasilkan paradigma yang lebih holistik di mana spiritualitas memainkan peran penting untuk mencapai kebaikan sejati.[25] Menurut Mohammed Fadhel Jamali, Manusia modern menghadapi dilema spiritual yang sudah mulai mengerut dan kering. Tapi pendidikan yang efektif harus didasarkan pada fondasi moral dan spiritual, lebih lanjut jamali, mengatakan bahwa semua aspek kehidupan di negara-negara maju dan berkembang harus peduli dengan dasar nilai-nilai agama yaitu spiritual, bahkan dia percaya bahwa pendidikan moral dan  pendidikan spiritual dua hal yang tidak bisa terpisahkan.[26]
Dalam konteks tersebut, I Ketut Sumarta, seorang yang telah lama bergelut dalam dunia pendidikan, dalam bukunya yang berjudul Pendidikan yang Memekarkan Rasa, sebagaimana di kutip oleh Djudjun Djaenudin Supriadi mengatakan bahwa: “Pendidikan nasional kita cenderung hanya menonjolkan pembentukan kecerdasan berpikir dan menepikan penempatan kecerdasan rasa, kecerdasan budi, bahkan kecerdasan batin. Dari sini, lahirlah manusia-manusia yang berotak pintar, manusia berprestasi secara kuantitatif akademik, namun tiada berkecerdasan budi sekaligus sangat berkegantungan, tidak merdeka mandiri”.[27] Dalam penelitiannya, Sister Mary Janet, Tentang korelasi antara nilai-nilai spiritual dengan pendidikan karakter di sekolah umum dan sekolah Kristen di Amerika, Janet menyimpulkan bahwa sekolah yang efektif dan baik tidak dapat dibangun tanpa memadukan moralitas dan spiritualitas. Dan begitu juga nilai-nilai spiritualitas mampu membangkitkan karakter positif yang sesuai dengan kultur demokrasi.[28]
Secara apik Danah Zohar, melihat Krisis spiritual (spiritual crisis) yang merupakan krisis mendasar pada masyarakat modern. Dalam konteks ini, keberadaan spiritualitas menjadi penting bagi kehidupan manusia untuk mulai dilihat kembali sebagai bagian integral kehidupannya. Kebutuhan ini, ternyata, telah banyak dirasakan bahkan sudah mulai dicari solusinya. Agama-agama formal memang kian mendapat tantangan baru, terutama dari hipotesis konsep Spiritual Quotient (SQ) yang diajukan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall.[29]
Daniel Goleman menyebutkan bahwa tahun-tahun terakhir milenium ini memperkenalkan zaman kemurungan (age of melancholy), seperti halnya abad XXI menjadi abad kecemasan (the age of anxienty). Wacana ini memperlihatkan apa yang tampaknya merupakan wabah depresi manusia modern, wabah yang meluas seiring dengan diterimanya gaya hidup modern di seluruh dunia. Tetapi dia tidak membahas secara khusus seperti apa pendidikan spiritual.[30]                                           
E.   Manfaat/Tujuan Penelitian
Adapun manfaat penelitian dapat dikelompokan menjadi dua yaitu secara teoritik dan praktik:
1.    Secara teoritis: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih riil terkait prinsip-prinsip dan metodologi untuk pengembangan penelitian pendidikan secara umum yang akan datang.
2.    Secara praktis: hasil penelitian dapat memberikan kontribusi nyata terhadap pemahaman yang lebih luas dan mendalam dalam mengungkap aspek pemikiran Nasr dibidang pendidikan spiritual. Serta bermanfaat dalam pengembangan khazanah ilmu pengetahuan, dan dapat diaktualkan dalam persoalan-persoalan pendidikan. Penelitian ini semata-mata hanya fokus mengakaji pemikiran Nasr.
F.   Signifikansi Penelitian
Kenyataan akan pentingnya pendidikan spiritual kini sudah merebak di sebagian kalangan masyarakat, sehingga informasi dan pembelajaran tentang hal ini mulai menjadi kebutuhan yang mendesak. Meskipun demikian, pengetahuan dan karya-karya ilmiah tentang pendidikan spiritual–khusunya ditinjau dari pendidikan Islam–masih sedikit. Salah satu penyebab mengapa pengetahuan tentang potensi spiritual ini menjadi sangat mahal; karena miskinnya contoh-contoh tentang praktik dari teori pendidikan spiritual itu sendiri. Para ahli masih kesulitan menemukan siapakah pelaku yang memiliki kecerdasan spiritual yang patut dijadikan teladan. Dengan mengkaji pemikiran dan konsep pendidikan spiritual yang di konsruk oleh pemikir tradisioalis yang pernah di miliki oleh Islam, adalah letak penting dari  kajian dan penelitian ini. Dengan demikian, penelitian ini ingin menggali dan menganalisis nilai-nilai khazanah pemikiran Tradisionalnya Seyyed Hossein Nasr dan kontribusinya bagi pengembangan tradisi keilmuan modern khususnya bagi pendidikan spiritual dan pendidikan umumnya.
G.  Metodologi Penelitian 
1.  Sifat dan Jenis Penelitian 
Ditinjau dari jenis datanya, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analitis,[31] sehingga memerlukan pendekatan deskriptif  analisis. Oleh sebab itu, kajian ini seutuhnya melakukan telaah kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan mengandalkan datanya dari buku, jurnal, arsip, dokumen, dan tulisan-tulisan lain. Dengan perkembangan dan kemajuan teknologi informasi, kini makna perpustakaan telah meluas ruang lingkupnya, yakni mencakup pula media elektronik seperti internet, film dokumenter. Penelitian ini akan memusatkan perhatiannya pada sumber-sumber data kepustakaan dalam maknanya yang luas itu.[32] Ditinjau dari sifatnya penelitian ini mengarah pada penelitian yang berupaya menggambarkan data secara deskriptif-analitis untuk memahami secara lebih detail pemikiran yang Nasr yang bercorak filsafat perenialis.
2.Sumber Data Penelitian 
Sesuai dengan jenis penelitiannya, teknik pengumpulan data dilakukan di perpustakaan. Tekniknya adalah dengan mengumpulkan data-data (baik primer maupun sekunder) berdasarkan tema-tema yang relevan. Tema-tema itu kemudian diklasifikasi berdasarkan nilai atau mutu relevansinya dengan topik penelitian ini, yaitu melalui data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah karya-karya Seyyed Hossein Nasr, yaitu:
1.         Knowledge and The Sacred, (1989)
2.         Man And Nature:The Spiritual Crisis of Modern Man, (1990)
3.        Traditional Islam in The Modern World (1987).
4.        Islam In The Modern World: Challenge By The West, Threatened By Fundamentalism, Keeping Faith With Tradition, (2010)
5.        The Need for a Sacred Science, (1993)
6.        The Garden Of Truth: The Vision and Promise If Sufism, Islam's Mystical Tradition, (2008).
7.        Islam and The Plight of Modern Man, (2001)
8.        Ideals and Realities of Islam, (2008)
9.        The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity, (2002)
10.    Islam: Religion, History, and Civilization, (2002)
11.    Islamic Spirituality Foundations, ed. (1987)
12.    Science and Civilization In Islam (2001)
13.    Muhammad: Man of God (1995)[33]
Dari sekian banyak karya tersebut penulis hanya akan batasi pada beberapa karya Nasr yang berkaitan langsung dengan penelitian ini, diantaranya ialah, Knowledge and The Sacred (1989), Islamic Spirituality Foundations,ed.(1987), Traditional Islam in The Modern World (1987)/ Islam In The Modern World: Challenge By The West, Threatened By Fundamentalism, Keeping Faith With Tradition (2010), dan Islam and The Plight of Modern Man (2001).   Juga untuk menulis biografi Nasr akan merujuk pada karyanya, In Search of the Sacred: A Conversation with Seyyed Hossein Nasr on His Life and Thought (2010).
G. Pendekatan Penelitian
            Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan pendekatan filsafat (philosophical approach). Diantara karakteristik pendekatan filosofis adalah penelitian dan pengkajian struktur ide-ide dasar serta pemikiran-pemikiran yang fundamental (fundamental ideas) yang dirumuskan oleh seorang pemikir, di samping itu conceptual analysis juga menjadi sebuah karakteristik penting dan suatu kemestian dalam penelitian dengan pendekatan filsafat.
H.  Sistematika Penelitian
Teknik penulisan ini disusun berdasarkan bab per bab. Untuk memudahkan pemetaan masalah yang dihadapi dalam mengkaji Islam dan krisis manusia modern, maka diawal penelitian ini diuraikan satu bab khusus, yakni bab pertama sebagai kerangka analisis dalam memahami bab-bab selanjutnya.
            Pada bab pertama akan diuraikan secara konseptual teoritik mengenai akar dan sejarah munculnya berbagai krisis yang dialami manusia modern atau yang disebut dengan bab pendahuluan yang memaparkan latar belakang perlunya penelitian ini. identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan perumusan masalah, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan dan manfaat penelitian, signikansi penelitian, metodologi penelitian yang meliputi sifat dan jenis penelitian serta sumber data , pendekatan peneliitian dan sistematika pembahasan penelitian.
            Bab kedua akan menguraikan perdebatan akademik tentang urgensi pendidikan spiritual terhadap krisis yang di alami manusia modern. Oleh karena itu, pada bab ini, teori yang akan dibahas meliputi, konsep pndidikan dalam upaya peningkatan spiritual, konsep pendidikan spiritual, dan urgensi pendidikan spiritual dalam mengatasi krisis manusia modern. Pada sub bab urgensi pendidikan spiritual, juga akan membahas komponen-komponen menuju spiritual khusus dalam pandangan pemikir Islam. Dari konsep-konsep tersebut akan dijadikan landasan mengenai spiritualitas dan pengembangannya dibidang pendidikan Islam dan umum.
            Bab ketiga menjelaskan tentang riwayat hidup, latar belakang pendidikan, pokok-pokok pemikiran Nasr tentang spiritualitas,
            Bab keempat menguraikan dialektika pendidikan spiritual dengan krisis manusia modern, manusia sebagai hamba menurut Nasr, dan hubungan manusia dengan Tuhan dalam pandangan Nasr.
            Bab keenam merupakan penutup yang berisi kesimpulan penelitian, saran dan implikasi hasil penelitian untuk pendidikan spiritual di Indonesia.


Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Intergratif dan Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). 
Al Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism, (Kuala  Lumpur: ISTAC, 1993).
-----------,The Concept Of Education In Islam (Kuala  Lumpur: ABIM, 1980),
Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LkiS, 2008).
Azra, Azyumardi, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, (Jakarta: Kompas, 2002).
Cottingham, John, The Spiritual Dimension: Religion, Philosophy, and Human Value, (New York: Cambridge University Press, 2005).
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008).
Hilmī, Ahmad Kamāl al-Dīn, Al-Salājiqah fī al-Tārikh wa al-Hadhārah, (Kuwait: Dār al-Buhūts al-‘Ilmīyah, 1395H).
Hidayat, Komaruddin, Tragedi Rja Midas: moralitas Agama dan Krisis Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1998)
Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Republik
Indonesia No 20 Tahun 2003 (Bandung: Fokus Media, 2006).
Katsīr, Ibnu, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Juz XII.(Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 1421H).
Moeleong, Lihat Lexi J., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 1997).
Nasr, Seyyed Hossein, Knowledge and The Sacred, (New York: State University of New York Press, 1989).
-----------, Man And Nature:The Spiritual Crisis of Modern Man, (London: Mandala Unwin, 1990).
------------, The Need for a Sacred Science, (New York:Curzon Press. Ltd, 1993).
------------, Islam and The Plight of Modern Man, (Chicago: International Group. 2001).  
----------, Traditional Islam in the Modern World , (New York, Great Britain, 1987)
Tilaar, H.A.R., Kebudayaan dan Pendidikan, (Magelang: Indonesia Tera, 2003).
Tim Lajnah pentashihan Mushaf Al Qur’an Badan Litbang dan Diklat, Tafsi>r Al-Qur’an Tematik:  Pendidikan, Pengembangan Karakter, dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2010).
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Ditbinperta DEPAG RI, 1998).
Zohar, Danah dan Ian Marshal, SQ: Spiritual Intelligence: The Ultimate Intelligence, (Great Britain: Bloomsbury, 2000).
-----------, Spiritual Capital , (California: Berrett-Koehler Publishers, 2004).
Jane Erricker, “Street spirituality: a narrative case study of a street community” dalam, Contemporary Spiritualities: Social and Religious Contexts, (New York: Continuum, 2001).
Ahmad Nurcholis, “Peran Tasawuf dalam Merekonstruksi Krisis Spiritualitas Manusia Modern”  Jurnal Sosio-Religia, Vol. 10, No.1, Februari (2012).
Haifaa Jawad “Seyyed Hossein Nasr and the Study of Religion in Contemporary Society”, The American Journal of Islamic Social Sciences. Vol. 24, No. 2.(2007).
                 Moh. Magfur,  Pengaruh Globalisasi Terhadap Pendidikan Islam, http://qomaruddin.com/wp-content/uploads/2013/11/4.-pengaruh-globalisasi-thd-pend. islam1.pdf
Wiwik Kusdaryani, “Paradigma pendidikan di era glogalisasi” Artikel Procceding seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” IKIP Veteran Semarang, Tahun, 2012.
Karan Singh, “ Sprituality in Global Society”  Jurnal  India International Centre Quarterly, Vol. 37, No. 2 (AUTUMN, 2010).
 James Moffett, “Censorship and Spiritual Education” Source English Education, Vol. 21, No. 2 (May, 1989).
Mohammed Fadhel Jamali, “Moral And Spiritual Education In The Developing” International Journal on World Peace, Vol. 5, No. 3 (JUL-SEP 1988).
Nur Said, “Kritik Tradisionalisme Islam Terhadap Krisis Dunia Modern (Studiatas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr)”, An-Nur, Vol. I, No. 2, Februari 2005.
[1] Djudjun Djaenudin Supriadi, “Program Pendidikan Karakter di
Lingkungan BPK PENABUR Jakarta” Tabloid PENABUR Jakarta No. 25
(Maret-April 2009), http://www.bpkpenabur.or.id/files/08_0.pdf, (di akses pada
tanggal 27 April 2011).






[1]Seyyed Hossein Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, (Chicago: International Group. 2001), hlm. 3-25   
[2]Wiwik Kusdaryani, “Paradigma pendidikan di era glogalisasi” Artikel Procceding seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” IKIP Veteran Semarang, Tahun, 2012.
[3]M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Intergratif dan Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).  hlm. 249-250
[4]Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008). hlm. XXII- XXIV
[5]Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, (Jakarta: Kompas, 2002). hlm. 189-200
[6]Ahmad Nurcholis, “Peran Tasawuf dalam Merekonstruksi Krisis Spiritualitas Manusia Modern”  Jurnal Sosio-Religia, Vol. 10, No.1, Februari (2012), hlm. 109-115.
[7]Haifaa Jawad “Seyyed Hossein Nasr and the Study of Religion in Contemporary Society”, The American Journal of Islamic Social Sciences. Vol. 24, No. 2.(2007). Menurut  Moh. Magfur,  bukan saja krisis spiritual tetapi juga aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dalam,  Pengaruh Globalisasi Terhadap Pendidikan Islam, http://qomaruddin.com/wp-content/uploads/2013/11/4.-pengaruh-globalisasi-thd-pend. islam1.pdf
[8]Seyyid Hossein Nasr, Islam and The Plight Of Modern Man, hlm. 71-75
[9]Seyyid Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science, (New York:Curzon Press. Ltd, 1993). hlm. 6
[10]Syed Muhammad Naquib A1Attas, Islam and Secularism, (Kuala  Lumpur: ISTAC, 1993), hlm. 139
[11]John Cottingham, The Spiritual Dimension: Religion, Philosophy, and Human Value, (New York: Cambridge University Press, 2005), hlm. 102-106. Juga bandingkan dengan, Jane Erricker, “Street spirituality: a narrative case study of a street community” yang mengatakan, bahwa komunitas manusia modern mengalami semacam kekeringan nilai-nilai transendental. Dalam, Contemporary Spiritualities: Social and Religious Contexts, (New York: Continuum, 2001), hlm. 224
[12]Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred, (New York: State University of New York Press, 1989),hlm. 144-150.
[13]Lihat, Nur Said, “Kritik Tradisionalisme Islam Terhadap Krisis Dunia Modern (Studiatas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr)”, An-Nur, Vol. I, No. 2, Februari 2005, hlm. 280-282
[14]Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LkiS, 2008). hlm. 247
[15]Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Ditbinperta DEPAG RI, 1998). hlm. 4-6. Juga dalam, H.A.R. Tilaar, Kebudayaan dan Pendidikan, (Magelang: Indonesia Tera, 2003), hlm. 119-120. Yang mengatakan tiga karakteristik tindakan pendidikan yaitu, tindakan performatif dan partisipasi dengan sesama, tindakan reflektif secara terencana dan terarah, dan tindakan sadar manusia untuk mencapai tujuan.
[16]Ahmad Kamāl al-Dīn Hilmī, Al-Salājiqah fī al-Tārikh wa al-Hadhārah, (Kuwait: Dār al-Buhūts al-‘Ilmīyah, 1395H), hlm. 195.
[17]Ibnu Katsīr, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, (Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 1421H), Juz XII, hlm. 105.
[18]Seyyid Hossein Nasr, Man And Nature:The Spiritual Crisis of Modern Man, (London: Mandala Unwin, 1990). hlm. 14.
[19]Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Republik
Indonesia No 20 Tahun 2003 (Bandung: Fokus Media, 2006). hlm. 3.
[20] Tim Lajnah pentashihan Mushaf Al Qur’an Badan Litbang dan Diklat, Tafsi>r Al-Qur’an Tematik:  Pendidikan, Pengembangan Karakter, dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2010). hlm. 1-2.
[21]Syed Muhammad Naquib A1-Attas, The Concept Of Education In Islam (Kuala  Lumpur: ABIM, 1980), hlm. 139
[22]Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World , (New York, Great Britain, 1987), hlm. 97
[23]Komaruddin Hidayat, Tragedi Rja Midas: moralitas Agama dan Krisis Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 225 
[24]Lihat Buku yang diedit Jane Erricker, Chaty Ota dan Clive Erricker, Yang mengkaji pendidikan spiritual dari berbagai pendekatan, yaitu pendekatan religius- teologis, psikologi, antropologi, dan pedagogis. Spiritual Education: Cultural, Religious and Social Differences,. (Brighton: Sussex Academic Press, 2001). Juga dalam buku ini secara baik mengeksplorasi isu-isu kultural, agama, gender dan sosial yang disajikan dalam bentuk penelitian dan terma pendidikan spiritual.
[25] Karan Singh, “ Sprituality in Global Society”  Jurnal  India International Centre Quarterly, Vol. 37, No. 2 (AUTUMN, 2010), hlm. 26-35. Lihat juga, James Moffett, yang mengatakan bahwa pendidikan spiritual merupakan penawar atas racun modern  “Censorship and Spiritual Education” Source English Education, Vol. 21, No. 2 (May, 1989), hlm. 70-87
[26]Mohammed Fadhel Jamali, “Moral And Spiritual Education In The Developing” International Journal on World Peace, Vol. 5, No. 3 (JUL-SEP 1988), hlm. 123-130
[27] Djudjun Djaenudin Supriadi, “Program Pendidikan Karakter di
Lingkungan BPK PENABUR Jakarta” Tabloid PENABUR Jakarta No. 25
(Maret-April 2009), http://www.bpkpenabur.or.id/files/08_0.pdf, (di akses pada
tanggal 27 April 2011).
[28] Sister Mary Janet dan Ralph G. Chamberin, “What We Are Doing About Spiritual Values and Character Education for Present Day Youth” (Proceeding Konvensi Tahunan Nasional Association of Secondary School Principals) dari: www.bul.sagepub.com, 252. (Diakses pada tanggal 17 Juni 2011) 
[29]Lihat Danah Zohar and Ian Marshal, SQ: Spiritual Intelligence: The Ultimate Intelligence, (Great Britain: Bloomsbury, 2000), hlm. 18. Juga dalam, Danah Zohan and Ian Marshal, Spiritual Capital , (California: Berrett-Koehler Publishers, 2004), hlm. 61
[30]Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ?, (London: Bloomsbury, 1995), hlm. 334
[31]Lihat Lexi J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 1997),hlm.3
[32]Lihat Abdul Quddus,Respons tradisionalisme Islam Terhadap Krisis Lingkungan: Telaah Atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr. (Disertasi Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), hlm. 44
[33]Semua buku-buku Seyyed Hossein Nasr, penulis  unduh dari Library Genesis Project Internet.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda