Selasa, 04 September 2012

Keunikan Tuha Ro Lanti (Prosesi Pelantikan Raja Bima )

Prosesi pelantikan Raja dan Sultan Bima memang unik. Ada yang dilaksanakan di luar Istana dan ada juga di dalam lingkungan Istana. Prosesi di luar Istana sangat unik. Putera Mahkota atau Jena Teke diantarkan ke sebuah tempat yang disebut AMBA NA’E ( Pasar Besar ) dengan berpakaian ala rakyat jelata tanpa mengenakan Baju dan hanya memakai Sarung. Di tengah Amba Na’e itu ada seongggok tanah seperti busut jantan yang besar  yang dikenal dengan nama Dana Ma Babuju (seonggok tanah bulat yang tinggi). Rakyat dari berbagai pelosok datang ke Amba Na’e itu untuk menyaksikan prosesi yang teramat unik dari pelantikan calon pemimpin Bima masa depan.

Di depan onggokan tanah itu Putera Mahkota duduk berhadapan dengan Para Anggota Majelis Adat (Sara Dana Mbojo). Kemudian Datang Ncuhi Dara (Kepala Suku) dan duduk di atas onggokan tanah itu lalu disusul oleh calon Raja. Kemudian calon raja duduk dalam pangkuan Ncuhi Dara. Secara bergiliran Anggota Majelis Adat, Para Ncuhi, Jeneli dan Tureli, bahkan sampai Gelarang melontarkan kata-kata kasar dan caci maki kepada calon Raja/Sultan jika tidak melaksanakan pemerintahan berdasarkan Islam, Adat dan keinginan seluruh rakyat. Mereka mengeluarkan berbagai senjata dan keris terhunus sebagai bentuk kritikan dan ancaman terhadap calon raja/sultan Dengan tenang, dibawah pangkuan Ncuhi Dara Putera Mahkota  tekun mengikuti prosesi itu.
Kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh para pejabat hadat itu antara lain : “Apabila Raja bertindak lalim, maka senjata-senjata ini (Parang, Tombak, Kapak) yang akan merobek tubuh Tuan Raja.” Kalimat dan kata-kata itu dilontarkan secara bergantian oleh para pejabat dan Ncuhi.
Setelah mendengar semua cacian dan ancaman itu, Putera Mahkota bangkit dengan disaksikan seluruh Majelis Adat dan Rakyat. Dia berpidato dan sekaligus memberikan maklumat kepada seluruh rakyat dengan ucapan “ Katohompa Wekiku Sura Dou Morina Labo Dana “(Tidak perduli untuk diriku, asalkan untuk rakyat dan kehidupan  negeri). Mendengar ucapan dan sumpah setia calon Raja itu, para Majelis Hadat, Ncuhi, Jeneli, Tureli dan Gelarang memberi hormat dan disambut gegap gembita dan tepuk tangan seluruh rakyat yang hadir. Calon Raja meninggalkan tempat upacara dan diarak menuju ke Istana.
Menurut H. Abdullah Tayib, BA dalam bukunya Sejarah Bima Dana Mbojo, Upacara pelantikan di luar Istana itu merupakan tata cara pelantikan Raja Bima yang asli. Kemudian berkembang sesuai kemajuan dan diadakanlah di dalam Istana seperti penyematan Atribut Raja/Sultan. Pemberian payung kerajaan yang terbuat dari Daun Lontar berwarna kuning serta pelaksanaan pesta syukuran dan lainnya. Hal itu berkembang seiring dengan perubahan zaman. Namun satu hal yang pasti bahwa prosesi pelantikan Raja/Sultan Bima adalah sesuatu yang unik. Awalnya Raja/Sultan tidak diperlakukan sebagai seorang yang  disembah dan dipuja seperti Raja pada umumnya. Disamping itu, Kerajaan/Kesultanan Bima tidak memiliki Singgasana atau kursi kebesaran. Di Bima hanya dikenal dengan DIPI UMPU KESULTANAN ( Tikar Kesultanan ) dimana Raja/Sultan duduk bersila bersama pejabat kerajaan dan rakyat yang menghadap. Hal itu juga diperkuat dengan adanya pagar keliling halaman Istana Bima yang hanya setinggi leher orang Dewasa. Hal itu dihajatkan agar rakyat mengetahui secara terbuka apa-apa saja yang dilakukan pemimpinnya di dalam Istana.(Sumber : http://alanmalingi.wordpress.com/)

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar