Kesehatan Gratis |
Duka berawal saat menjelang kelahiran
anak ke-3 nya itu, 3 hari yang lalu. Sang ibu ketika itu sudah merasakan
kontraksi yang cukup kuat pada kandungannya hingga ia berkesimpulan
bahwa ia akan melahirkan saat itu juga. Tergesa dan harap-harap cemas
keduannya bergegas ke Rumah Sakit Umum setempat untuk minta bantuan
tenaga kesehatan yang ada. Namun setelah di periksa tekanan darahnya,
sang ibu diminta untuk dirujuk saja ke Rumah Sakit Umum Daerah yang ada
di kota lain karena tensi darah yang terlampau tinggi untuk ukuran ibu
yang akan melahirkan. Sang ayah meminta paramedis untuk memberikan
pertolongan pertama untuk istrinya, karena ia berkeyakinan anaknya akan
lahir tidak lama lagi. Bila dipaksakan saat itu juga untuk membawa
istrinya menempuh jarak jauh ia takut akan terjadi sesuatu pada
istrinya. Namun, paramedis di Rumah Sakit setempat tidak ingin mengambil
resiko dengan kondisi sang ibu dikarenakan fasilitas kesehatan yang ada
tidak memadai hingga dikuatirkan jiwa sang ibu tidak tertolong.
Setelah berusaha membujuk tenaga medis
untuk merawat sang ibu dengan mengurus surat keterangan
ketidakmampuannya membayar biaya persalinan sang ibu di rumah sakit itu,
Dengan berat hati sang ayah terpaksa membawa sang ibu pulang ke rumah.
Faktor biaya adalah kendala utama yang tengah dihadapinya. Sang anak
lahir tidak lama kemudian dengan berat 1.6 kg dengan bantuan bidan yang
dipanggil ke rumahnya. Ukuran yang cukup kecil untuk ukuran seorang
bayi yang baru lahir. Setelah melahirkan, Paramedis sempat mengambil
sampel darah dan urin sang ibu untuk memeriksa penyakit apa yang tengah
diderita sang ibu. Berbekal hasil tes laboratorium itu, paramedis
menyarankan sang ayah untuk menebus obat yang diresepkan ke apotek di
luar rumah sakit. Ketika sang ayah bertanya “apakah obat-obatan ini
tidak ada di apotek yang ada di rumah sakit ini, dok??” paramedis hanya
menjawab bahwa stok obat yang diminta masih kosong sehingga harus di
beli ke apotek di luar rumah sakit dengan biaya yang cukup mahal.
Dalam sehari sang ibu harus menjalani
pemeriksaan darah 2 kali sehari. Setiap kali darah itu di tes ke
laboratorium sang ayah harus merogoh kantungnya 90rb rupiah. Bila
dihitung-hitung maka sang ayah harus mengeluarkan biaya nyaris 200rb
sehari untuk tes darah saja belum termasuk obat yang harus ditebus ke
apotek. Lalu bagaimana dengan kondisi sang anak?? sang anak dimasukkan
ke inkubator untuk mendapatkan penanganan yang intensif karena
kondisinya yang cukup rentan. Kemungkinan akibat sang ibu yang mengalami
darah tinggi sehingga sang anak lahir dengan kondisi yang tidak
menggembirakan bagi sang ayah. Namun sang ayah tetap mensyukuri
kehadiran buah hati ketiganya itu.
Selama kurun waktu 3 hari itu, sang ibu
terus saja dianjurkan untuk mengkonsumsi obat-obatan untuk penyakitnya
tersebut. Padahal sang ibu tengah memulai tahap menyusui untuk bayinya.
Obat-obatan yang dikonsumsinya membuat air susunya berkurang dan
terkontaminasi oleh kandungan obat yang dikonsumsinya. Tak ada arahan
kepada sang ibu untuk mengatasi kelebihan tensi darahnya secara alami
tanpa melalui obat-obatan mengingat sang ibu masih menyusui. Tenaga
medis itu sibuk mengurusi penyakit sang ibu sedangkan anaknya tidak
mendapat perawatan yang cukup. Tiap hari sang ibu menjalani tes darah
sementara sang ibu sudah cukup lemah kondisinya. ditambah lagi
keharusnnya untuk menyusui anaknya, belum lagi begitu banyak pantangan
yang diberikan kepada sang ibu yang dikhawatirkan menambah tinggi tensi
darahnya sehingga nutrisi yang dimakan sang ibu tidak mencukupi nutrisi
yang dibutuhkan sang bayi. Hari ketiga, menjelang kepergiannya, sang
anak mengalami kejang-kejang dan keluar darah dari mulutnya. Dengan
panik sang ayah memanggil kembali tenaga kesehatan yang membantu
persalinan sang ibu. Namun, takdir berkata lain. Nyawa sang bayi tak
tertolong karena kondisi dan nutrisi yang tidak mencukupi untuk
pertumbuhannya.
“Saya sudah mencoba meminta kebijakan
untuk dimudahkan dalam pembiayaan persalinan anak saya, namun tenaga
medis tidak bisa berbuat banyak. Saya ga tau harus mengadukan hal ini
kemana..apakah hanya karena saya tidak mampu membayar sehingga pelayanan
yang kami terima tidak layak dan terkesan dibiarkan begitu saja oleh
tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit. Lebih baik kami membayar biaya
kesehatan daripada digratiskan tapi pelayanan yang kami terima tidak
sesuai dengan jargon yang selama ini digembar-gemborkan tentang layanan
kesehatan gratis. Kami memang orang miskin tapi kami juga punya hak yang
sama dengan orang-orang mampu. Kalo seperti ini kondisinya, kami orang
miskin tidak boleh sakit. Sakit hanya untuk orang-orang yang mampu membayar layanan kesehatan yang katanya gratis itu“.ujarnya pilu.
0 komentar:
Posting Komentar