Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M,
ketika Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang menjalankan
Pemerintahan berdasarkan Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan
sebagai Hari Jadi Bima yang diperingati setiap tahun. Bukti-bukti sejarah
kepurbakalaan yang ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a, Wadu Nocu,
Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun Padende Kecamatan Donggo menunjukkan bahwa
daerah ini sudah lama dihuni manusia. Dalam sejarah kebudayaan penduduk
Indonesia terbagi atas bangsa Melayu Purba dan bangsa Melayu baru. Demikian
pula halnya dengan penduduk yang mendiami Daerah Kabupaten Bima, mereka yang
menyebut dirinya Dou Mbojo, Dou Donggo yang mendiami kawasan pesisir pantai.
Disamping penduduk asli, juga terdapat penduduk pendatang yang berasal dari
Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
Kerajaan Bima
Kerajaan Bima dahulu
terpecah–pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh
Ncuhi. Ada lima Ncuhi yang menguasai lima wilayah, yaitu:
- Ncuhi Dara, memegang
kekuasaan wilayah Bima Tengah
- Ncuhi Parewa, memegang
kekuasaan wilayah Bima Selatan
- Ncuhi Padolo, memegang
kekuasaan wilayah Bima Barat
- Ncuhi Banggapupa,
memegang kekuasaan wilayah Bima Utara
- Ncuhi Dorowani, memegang
kekuasaan wilayah Bima Timur
Kelima Ncuhi ini hidup
berdampingan secara damai, saling hormat menghormati dan selalu mengadakan
musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama. Dari
kelima Ncuhi tersebut yang bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah
Ncuhi Dara. Pada masa-masa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh seorang
utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercaya secara turun
temurun oleh masyarakat Bima, cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu
Dewata yang mempunyai 5 orang putra, yaitu:
- Darmawangsa
- Sang Bima
- Sang Arjuna
- Sang Kula
- Sang Dewa
Salah seorang dari lima
bersaudara ini yakni Sang Bima berlayar ke arah timur dan mendarat di sebuah
pulau kecil di sebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda. Sang Bima
inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu kerajaan, yakni Kerajaan Bima
dan Sang Bima sebagai raja pertama bergelar Sangaji. Sejak saat itulah Bima
menjadi sebuah kerajaan yang berdasarkan Hadat dan saat itu pulalah Hadat
Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Hadat ini
berlaku terus menerus dan mengalami perubahan pada masa pemerintahan raja Ma
Wa’a Bilmana. Setelah menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan berdasarkan
Hadat, Sang Bima meninggalkan Kerajaan Bima menuju timur, tahta kerajaan
selanjutnya diserahkan kepada Ncuhi Dara hingga putra Sang Bima yang bernama
Indra Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali ke Bima pada abad XIV/XV.
museum mbojo sebagai salah satu bukti adanya kerjaan di Bima |
-->
Suatu daerah
pasti mempunyai asal usul tersendiri, budaya, dan sejarah masing-masing. begitu
juga pun dengan Daerah Bima yang dulu pernah merupakan sebuah kerajaan yang
swapraja selama lima atau enam abad sebelum lahirnya Republik Indonesia.
Sejarah kerajaan Bima hanya diketahui secara dangkal, disebabkan terutama
karena pemerintah Belanda boleh dikatakan tidak menaruh minat terhadap Bima, asal
keamanan dan ketertiban tidak terganggu. Namun dari Dua sumber lain dapat ikut
menjelaskan perkembangan sejarah Bima. Pertama, ilmu arkeologi yang
selama ini hanya mengungkapkan segelintir peninggalan yang terpisah-pisah.
Namun ilmu arkeologi itulah yang barangkali akan berhasil menentukan
patokan-patokan kronologi terpenting dari masa prasejarah sampai masa Islam.
Kedua, sejumlah dokumen dalam bahasa Melayu yang ditulis di Bima antara abad
ke-17 sampai dengan abad 20. Bahasa Bima merupakan bahasa setempat yang dipakai
sehari-hari di Kabupaten Bima dan Dompu (nggahi Mbojo). Bahasa tersebut jarang,
dan sejak masa yang relatif muda, digunakan secara tertulis. Beberapa teks lama
yang masih tersimpan dalam bahasa tersebut, tertulis dalam bahasa Arab atau Latin.
Tiga jenis aksara asli Bima pernah dikemukakan oleh pengamat-pengamat asing
pada abad ke-19, tetapi kita tidak mempunyai contoh satu pun yang membuktikan
bahwa aksara tersebut pernah dipakai. Oleh karena itu bahasa Bima rupanya tidak
pernah menjadi bahasa tertulis yang umum di daerah tersebut. Pada jaman dahulu,
bahasa lain pernah digunakan.
Sumber : http://id.wikipedia.org
0 komentar:
Posting Komentar