Sabtu, 01 Februari 2014

Makalah Konstruktivistik





Tugas               : Kelompok

Mata Kuliah    : Landasan Pendidikan
Dosen              : Prof. Dr. Patta Bundu, M.Ed
  


Makalah Konstruktivistik"










OLEH:
KELOMPOK  2



1.    ARDIANSYAH                     (13B13021)
2.    RIZKI AMALIA NUR         (13B13006)
3.    NURASNI SIDE                   (13B13008)
4.    HERLINA TANGNGA       (13B13012)
         
PROGRAM PASCA SARJANA PENDIDIKAN BIOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2013
 



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah           
Pendidikan merupakan kebutuhan semua orang, manusia sejak lahir sudah diwajibkan untuk menuntut ilmu  bahkan sampai keliang lahat. Hal ini sudah ditegaskan oleh Rasulullah SAW ratusan tahun yang lalu. Ini sebagai bukti bahwa pendidikan itu merupakan satu cara bagaimana suapaya manusia dapat hidup dengan baik, baik di dunia maupun kelak di kemudian hari. Begitu pentingnya pendidikan ini sehingga semua negara di dunia ini melakukan pendidikan sebagai wujud keperduliannya terhadap pentingnya  pengembangan  pendidikan untuk peningkatan  ilmu pengetahuan.
Dalam kegiatan pembelajaran tersebut sudah tentu mempunyai tujuan yang ingin dicapai, sehinggaproses pendidikan tersebut berajalan dan terarah sesuai dengan apa yang diharapkan oleh tujuan pendidikan tersebut seperti untuk mengembangkan kepribadian siswa yang berkaitan dengan pengembangan sikap,nilai, norma, dan moral yang menjadi anutan bagi setiap siswa. (Hasan, 1996: 98)
Jadi tujuan dalam kegiatan pembelajaran itu sangat penting  sehingga dalam proses pembelajaran jangan sampai tidak terkait antara tujuan pembelajaran dengan proses pembelajaran karena akan mengakibatkan proses pembelajaran akan ditentukan oleh buku. Dengan hal ini tujuan dari pengajaran tidak jelas, dan akan mengakibatkan kesulitan bagi guru untuk mengembangkan satu pendekatan dan program pendidikan yang bisa menunjang proses belajar-mengajar. (Sumantri, 2001: 259)
Pendidikan yang begitu penting untuk menjadikan manusia lebih baik, lebih beradab dan lebih sejahtera ini menjadi salah satu kebutuhan dasar bagai setiap orang. Di setiap negara pendidikan itu dilakukan dengan berbagai cara dan metode untuk mencapai tujuan yang ingin di capai oleh setiap negara, dalam mencapai tujuan setiap Negara yang sangat berpariasi/berbeda satu negara dan negara yang lain maka lahir berbagai pendekatan dan model pembelajaran. Di Indonesia pendidikan itu menjadi tanggung jawab oleh negara sehingga setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang sangat beragam tersebut adalah pengembagan pendekatan pembelajaran konstruktivisme, pedekatan pembelajran ini merupakan salah satu bagain dari model pembelajaran CTL (Constektual Teaching and Learning). Pada pendekatan konstruktivisme ini merubah paradigma lama yang mengatakan bahwa pendidikan itu adalah teacher centre (berpusat pada guru) menjadi student centre (berpusat pada murid), dengan perubahan paradigma ini tentuk berdampak sangat bersar bagai guru dan murid baik cara belajar maupun cara mengajar sehingga apa yang menjadi nafas pembelajaran kontektual tersebut akan dapat di laksanakan/tercapai.
Pada makalah ini akan kita bahas lebih mendalam tentang pendekatan pembelajaran konstruktivisme namun lebih dahulu penulis akan memberikan pengertian tentang apakah pengertian  mengajar dan pembelajaran, mengajar merupakan bagian dari proses pendidikan, sedangkan pembelajaran  adalah merupakan proses interakasi yang dilakukan oleh guru dan siswa, baik di dalam maupun di luar kelas. (Poedjadi, 2005:74)
Pendekatan yang lebih menonjolkan keaktifan dan kreatifitas siswa dalam menemukan dan melakukan sesuatu, akan memberikan pengetahuan dan pengalaman belajar yang luar biasa dan sangat berharga dan tentu akan memberikan kesan yang sangat berbeda dalam diri siswa tersebut.  Dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme ini akan membawa siswa larut dalam rasa keingintahuan disebabkan karena mereka sendiri yang akan menemukan dan  mencari  serta yang akan membangun pengetahuan mereka sendiri.  Belajar untuk tau dan belajar untuk berbuat akan membuat siswa menjalani belajar dengan lebih enak dan tentu mereka akan menambah pengetahuan dan keterampilannya yang sudah tertanam kedalam otaknya.
Pada proses belajar dan pembelajaran apapun model dan strateginya tiada lain tujuannya adalah untuk memanusiakan diri seseorang  yakni belajar untuk menjadi. Salah satu tujuan pembelajaran kontektual akan membicarakan bagaimana siswa menjadi seseorang yang akrab dengan lingkungan dimana, apa dan siapa dirinya (Sa’ud 2008;162)
Untuk meningkatakan hasil belajar yang maksimal maka pemerintah sebagai penaggung jawab pendidikan selalu berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan berbagai upaya dan trik sehingga tujuan pendidikan nasional akan dapat tercapai baik IMTAK dan IPTEK nya yang terintegrasi dalam kebudayaan dan kehidupan sehari-hari.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang penulis angkat dari makalah ini antara lain:
1.      Bagaimana pandangan para ahli tentang pendekatan konstruktivisme?
2.      Bagaimanakah implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran?
3.      Apa kelebihan dan kekurangan pendekatan konstruktivisme?
C.    Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pandangan para ahli tentang pendekatan konstruktivisme
2. Untuk mengetahui bentuk implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran.
3. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan pendekatan konstruktivisme.
D.    Manfaat
Sebagai bahan pertimbangan bagi guru untuk penerapan pendekatan pembelajaran dalam proses belajar mengajar.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Pendekatan Pembelajaran  Konstruktivisme
Teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana terjadi belajar atau bagaimana informasi diperoses di dalam pikiran siswa itu. Berdasarkan satu  teori belajar, diharapkan suatu pembelajaran dapat lebih meningkatkan perolehan nilai siswa sebagai hasil belajar. (Trianto 2007: 12)
Dengan teori belajar tentu yang akan diharapkan bagaimana supaya siswa dapat meningkatkan hasil belajar dan guru akan semakin mudah memberikan penjelasan kepada siswa tentang materi-materi pelajaran yang selama ini mungkin dirasakan sulit untuk di cerna oleh siswa.
Gagne’ seperti yang dikutip Mariana dalam Trianto (2009:25) menyatakan untuk terjadi proses belajar dalam diri siswa  diperlukan kondisi belajar, baik kondisi internal maupun kondisi eksternal. Kondisi internal merupakan  peningkatan memori siswa sebagai hasil belajar terdahulu. Memori siswa yang terdahulu merupakan komponen  kemampuan yang baru dan ditempatkannya bersama-sama.  Kondisi eksternal merupakan aspek atau benda yang dirancang atau ditata dalam suatu pembelajaran. Sebagai hasil  belajar, Gagne seperti yang dikutip Mariana dalam Trianto (2007: 12) mengatakan dalam lima kelompok yaitu:
1.      Intelektual skill.
2.      Cognitive Strategy.
3.      Verbal invormation,
4.      Motor skill
5.      Attitude.
Gagne lebih lanjut menekankan pentingnya kondisi internal dan kondisi eksternal  dalam suatu pembelajaran, agar siswa memperoleh  hasil belajar yang diharapkan.Dengan demikian, sebaiknya memperhatikan, atau menata pembelajaran yang memungkinkan mengaktifkan memori siswa yang sesuai agar informasi yang baru dapat dipahaminya. Kondisi ekstenal bertujuan anatara lain merangsang ingatan setiap siswa, penginformasian tujuan pembelajaran dengan baik, membimbing belajar materi  yang baru, memberikan kesempatan kepada siswa  menghubungkannya dengan informasi baru, baik yang didapat dari lingkungan maupun hasi belajar di sekolah sebelumnya.
Pendekatan  pembelajaran konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Konflik kognitif ini hanya dapat diatasi melalui pengetahuan yang dibangun sendiri oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakana (Salvin dalam Trianto, 2007:13) yaitu teori konstruktivisme yang menyatakan bahwa dalam proses belajar mengajar siswa harus menemukan sendiri dan mentranspormasikan  informasi kompleks, mengecek informasi baru  dengan aturan-aturan lama  dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai.  Bagi siswa untuk lebih memahami dan mengerti sesuatu materi pelajaran diupayakan agar siswa itu mencari solusi sendiri bila pelajaran tersebut masih membutuhkan pemecahan. 
Menurut Mc. Brien dan Brandt dalam (Siroj, 1997: 20), konstruktivisme adalah suatu pendekatan pengajaran berdasarkan kepada penyelidikan tentang bagaimana manusia belajar. Setiap individu  membina pengetahuan  dan bukan hanya menerima pengetahuan  dari orang lain. Pengetahuan dibina/didapat  secara aktif  oleh individu yang yang berpikir  berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang tersedia. Dalam proses ini, pelajar akan menyesuaikan pengetahuan yang diterima  dengan pengetahuan yang telah dimilikinya  untuk membina pengetahuan  baru dalam otaknya.
Konstruktivisme yang dikembangkan oleh Piaget dikenal pula sebagai konstruktivisme  kognitif (Personal konstruktivisme), dengan menitik beratkan bahwa pengetahuan dapat dibangun antara lain dengan membaca, menelusuri, dan melakukan eksperimen terhadap lingkungan. Di samping intraksi dengan lingkungan, kesiapan mental  dan perkembangan kognitif ikut berperan dalam mengkonstruksi dan merekonstruksi pengetahuan.  
Konflik kognitif tersebut terjadi saat interaksi antara konsepsi awal yang telah dimiliki siswa dengan fenomena baru yang dapat diintegrasikan begitu saja, sehingga diperlukan perubahan/modifikasi struktur kognitif untuk mencapai keseimbangan, peristiwa ini akan terjadi secara berkelanjutan, selama siswa menerima pengetahuan baru.
Perolehan pengetahuan siswa diawali dengan diadopsinya hal baru sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya, kemudian hal baru tersebut dibandingkan dengan konsepsi awal yang telah dimiliki sebelumnya. Jika hal baru tersebut tidak sesuai dengan konsepsi awal siswa, maka akan terjadi konflik kognitif yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan dalam struktur kognisinya. Pada kondisi ini diperlukan alternatif strategi lain untuk mengatasinya.
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran adalah suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental, membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur kognitif yang dimilikinya. Guru lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran. Penekanan tentang belajar dan mengajar lebih berfokus terhadap suksesnya siswa mengorganisasi pengalaman mereka.
B.      Paradigma Pendekatan Konstruktivisme
Dalam proses pembelajaran dituntut adanya proses perubahan dalam pembelajaran, di dalam proses pembelajarann tersebut harus ada pemberdayaan diri bagi siswa dan pengembangan potensi-potensi yang dimiliki siswa  dengan cara holistic melalui proses pembelajaran yang dilakukan oleh setiap guru. Dalam pembahasan pembelajaran, pengkajian yang mendalam tentang paradigma konstruktivisme  merupakan suatu tuntutan dan sekaligus tantangan baru di tengah terjadinya perubahan besar dalam memahami proses pendidikan dan pembelajaran. Pergeseran paradigma pembelajaran yang sebelumnya lebih menitik beratkan pada peran guru, fasilitaor, instruktur yang demikian besar, dalam perjalanannya semakin bergeser pada pemberdayaan peserta didik  atau siswa dalam mengambil inisiatif dan partisipatif di dalam proses pembelajaran. Pandangan yang menganggap bahwa pengetahuan  sebagai reprensentasi  (gambaran/ungkapan) kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat (objektivisme). Pemahaman yang menganggap bahwa pengetahuan merupakan kumpulan fakta. Namun akhir-akhir ini berkembang pesat pemikiran, terlebih dalam bidang sains yang mempertahankan bahwa pengetahuan tidak terlepas dari objek yang sedang belajar  (Suparno, 1997: 18) dalam Aunurrahman (2009:15)
Konstruktivisme merupakan respon terhadap berkembangnya harapan-harapan baru berkaitan dengan proses pembelajaran  yang menginginkan peran aktif  siswa dalam merekayasa dan memprakarsai kegiatan belajar sendiri. Hampir setiap kalangan yang terlibat dalam mengkaji masalah-masalah pembelajaran mengetahui bahwa konstruktivisme merupakan paradigam alternatif pembelajaran yang muncul sebagai akibat revolusi ilmiah yang terjadi beberapa tahun belakangan ini. Konstruktivisme merupakan satu filsafat pengetahuan  yang menekankan  pada pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Von Glasersfeld dalam Aunurrahman 2009:16)
Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Melalui proses belajar yang dilakukan, seseorang membentuk skema, katagori, konsep dan struktur pengetahuan untuk suatu pengetahuan tertentu. Oleh karena itu pengetahuan adalah hasil konstruksi pengalaman manusia sejauh yang dialaminya. Menurut Piaget (1971) dalaam Aunurrahman (2009) pembentukan ini tidak pernah mencapai titik akhir, akan tetapi terus-menerus berkembang setiap  kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru.
Dalam mencermati realitas kehidupan sehari-hari para konstruktivis mempercayai bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang berusahan mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja  dari otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (siswa). Siswalah yang akan mengartikan apa yang diajarkan oleh guru dan disesuaikan dengan pengalaman mereka (Lorsbach dan Tobin , 1992 dalam Aunurrahman 2009:16)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang terkait erat dengan pengalaman-pengalaman. Tanpa pengalaman seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Dalam konteks ini pengalaman tidak hanya diartikan sebagai pengalaman fisik seseorang sebagaimana kita pahami dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya pengalaman pernah pergi ke suatu tempat yang indah, pengalaman mengendarai sepeda motor, melihat pesawat, dan lain sebagainya. Pengalaman dalam hal ini mencakup pengalaman kognitif dan mental. Pengetahuan dibentuk oleh struktur penerimaan konsep seseorang sewaktu ia berinteraksi dengan lingkungan.
C.   Implementasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, dimana siswa membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari, ini merupakan proses menyesuaikan konsep-konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka. Dalam hal ini siswa membentuk pengetahuan mereka sendiri dan guru membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu.
Dalam pelaksanaan teori belajar konstruktivisme ada beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran yaitu sebagai berikut :
1)     Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya dengan bahasa sendiri.
2)     Memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir tentang pengalamannya sehingga lebih kreatif dan imajinatif.
3)     Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.
4)     Menggali pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.
5)     Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka.
6)     Menciptakan lingkungan yang kondusif.
Dari berbagai pandangan di atas, bahwa pembelajaran yang mengacu pada pandangan konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka dengan kata lain siswa lebih berpengalaman untuk mengonstruksikan sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
Dari hasil eksperimennya, Piaget mengemukakan teori perkembangan mental anak yang menyatakan terdapat empat tahap perkembangan mental anak (Dahar, 1989: 152) yaitu :
1.      Tahap Sensori motor (0-2 tahun)
2.      Tahap praoperasi (2-7 tahun )
3.      Tahap operasi kongkrit (7-11 tahun)
4.      Tahap operasi formal (11-tahun keatas)
Pengikut aliran konstruktivisme personal yang lain adalah Bruner, bahwa cara terbaik bagi seseorang  untuk memulai belajar konsep dan prinsip adalah dengan mengkonstruksi sendiri konsep dan prinsip  yang dipelajari itu. Kemudian inti dari belajar adalah dengan cara memakai cara-cara bagaimana orang lain memilih, mempertahankan, dan mentraspormasikan  masalah secara aktif dalam kegiatan dan perilaku sehari-hari (Dahar, 1989: 112).
Berdasrkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran konstruktivisme, proses pembangunan pengetahuan  dilakukan secara aktif oleh siswa itu sendiri, sesuai dengan landasan struktur kognitif yang telah dimilikinya, jadi belajar adalah proses untuk menemukan sesuatu  dan bukan suatu proses  untuk menemukan fakta. Dalam hal ini pelajar  harus membentuk pengetahuan sendiri dan guru hanya sebagai mediator dan fasilitator dalam proses pembentukan pengetahuan itu.
Salah satu landasan teori pendidikan modern termasuk CTL adalah teori pembelajaran konstruktivisme.  Pendekatan ini  pada dasarnya  menekankan pentingnya  siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar lebih diwarnai student centred daripada teacher centred. Sebagian besar pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung lebih ditekankan pada kegiatan siswa sehigga lebih berbasis pada siswa aktif atau aktivitas siswa lebih diutamakan. Iquiry based learning dan problem based learning yang disebut sebagai strategi  CTL (University of Washington, 2001) dalam Trianto (2007:106) diwarnai dengan student centred dan aktivitas siswa.
Problem based Learning tersebut juga sejalan dengan pengajaran  Top Down  yang lebih dibebankan kepada pendekatan konstruktivis. Di dalam pengajaran top down ini, siswa mulai dengan suatu tugas yang kompleks  dan autentuik  yang akhirnya diharapkan tugas ini  dapat dilakukan siswa.
Ide-ide konstruktivis  modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky yang telah digunakan untuk menunjang metode pembelajaran yang menekankan pada pembelajaran Kooperatif, pembelajaran berbasis kegiatan, dan penemuan.  Salah satu prinsip utama  yang diturunkan dari teorinya adalah  penekanan pada hakekat sosial dari pembelajaran. Ia mengatakan bahawa siswa belajar dari interaksi dengan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu (Slavin, 2000) dalam Trianto (2007:107).
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun  oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya di perluas  melalui konsteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil  dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna  melalui  pengalaman nyata.
Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, untuk menemukan sesuatu yang dapat digunakan bagi kegiatan dalam kehidupannya, serta bergelut dengan ide-ide dan pendapat orang lain untuk menemukan konteksnya. Kemampuan guru untuk mentrasfer pengetahuan yang dimilikinya sangat terbatas,  hal ini akan sangat mungkin guru akan mentrasfer  apa yang dimilikinya, kepada siswa akan tidak mudah diterima dan diserap langsung oleh siswa, sehingga siswa itu sediri yang harus berupaya untuk mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivisme adalah siswa itu sendiri harus menemukan dan mentrasformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar  ini berarti pembelajaran betul-betul harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri  pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar  dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan bukan guru.
D.      Keuntungan dan Kelemahan Pendekatan Konstruktivisme
Dalam penggunaan pendekatan konstruktivisme terdapat keuntungan yaitu:
1.      Dapat memberikan kemudahan kepada siswa dalam mempelajari konsep.
2.      Melatih siswa berfikir kritis dan kreatif.
Adapun kelemahan pembelajaran konstruktivisme adalah :
1.     Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ilmuan sehingga menyebabkan miskonsepsi.
2.     Konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda.
3.     Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana dan prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.
Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain dan informasi itu manjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar ini pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan.
Teori konstruktivisme lahir dari idea Piaget dan Vygotsky. Konstruktivisme adalah suatu faham bahwa siswa membina sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berasaskan pengetahuan dan pengalaman sedia ada. Dalam Proses ini, siswa akan menyesuaikan pengetahuan yang diterima dengan pengetahuan yang sudah ada untuk membina pengetahuan baru. Mengikut Bruner (1999), pembelajaran secara konstruktivisme berlaku di mana siswa membina pengetahuan dengan menguji ide dan pendekatan berasaskan pengetahuan dan pengalaman yang sudah ada, mengimplikasikannya pada satu situasi baru dan mengintegerasikan pengetahuan baru yang diperoleh dengan binaan intelektual yang sudah ada dalam dirinya. Manakala mengikut Mc Brien dan Brandt (1997), konstruktivisme adalah satu pendekatan pembelajaran berasaskan kepada penelitian tentang bagaimana manusia belajar. Kebanyakan peneliti berpendapat setiap individu membina pengetahuan dan bukannya hanya menerima pengetahuan dari orang lain.
Ide dari teori ini, siswa aktif membangun pengetahuannya sendiri. Pikiran siswa dianggap sebagai mediator yang menerima masukan dari dunia luar dan menentukan apa yang akan dipelajari.Menurut Soedjadi, pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran adalah pendekatan dimana siswa secara individual menemukan dan mengubah suatu informasi yang kompleks, memeriksa dengan aturan yang ada dan memeriksa kembali jika perlu. Selain itu, Bell (1993) mengemukakan paham konstruktivisme memandang siswa datang ke tempat belajar sudah membawa persiapan mental dan kognitifnya. Artinya, siswa yang datang ke bilik belajar sudah memiliki konsep awal dari bahan yang akan disiswai, karena mereka mempunyai potensi untuk pembelajaran mandiri terlebih dahulu dari sumber yang ada atau dari pengalaman dalam seputar kehidupannya. Dalam hal, ini guru bertindak sebagai penghubung dan mediator.
Brooks dan Books (1993) pula menyatakan konstruktivisme berlaku apabila siswa membina makna tentang dunia dengan mensintesis pengalaman baru pada apa yang mereka telah faham sebelum ini. Mereka akan membentuk peraturan melalui cerminan tentang  tindak balas mereka dengan objek dan idea. Apabila mereka bertemu dengan objek, ide atau perkaitan yang tak bermakna pada mereka, maka mereka akan menginterpretasikan apa yang mereka lihat supaya sesuai dengan peraturan yang telah dibentuk atau disesuaikan dengan peraturan agar dapat menerangkan informasi baru. Dalam teori konstruktivisme, penekanan diberikan pada siswa lebih aktif dari pada guru. Ini dikarenakan  siswa  yang berhubuungan langsung dengan bahan dan peristiwa   dan memperoleh pemahaman tentang bahan dan peristiwa tersebut. Justru, siswa membina sendiri konsep dan membuat penyelesaian kepada masalah.
Dengan  demikian, dapatlah dirumuskan secara keseluruhan pengertian atau maksud pembelajaran secara konstruktivisme adalah pembelajaran yang berpusatkan pada siswa. Guru berperanan sebagai penghubung yang membantu siswa membina pengetahuan dan menyelesaikan masalah. Guru berperanan sebagai pembuat  bentuk bahan pembelajaran yang menyediakan peluang kepada siswa untuk membina pengetahuan baru. Guru akan mengenal pengetahuan yang ada pada siswa dan merancang kaedah pembelajarannya dengan sifat asas pengetahuan tersebut. Pengetahuan yang dimiliki  siswa adalah hasil daripada aktiviti yang dilakukan oleh siswa tersebut dan bukannya pembelajaran yang diterima secara pasif.
Antara kelebihan pembelajaran secara konstruktivisme yang boleh dikaitkan dengan pembelajaran koperatif adalah menelusuri proses berfikir. Dalam proses membina pengetahuan baru, siswa akan berpikir untuk menyelesaikan masalah, menjana ide dan membuat keputusan yang bijak dalam menghadapi bebagai kemungkinan dan cabaran. Antara aktivitas yang boleh dimanfaatkan dari pembelajaran kooperatif ialah melalui aktivitas membuat penelitian dan penyiasatan seperti mengenal pasti masalah, mengumpul informasi, memproses data, membuat analisis dan membuat kesimpulan.
Dalam membentuk kepahaman siswa, pembelajaran secara pembelajaran kooperatif juga boleh digunakan untuk siswa paham tentang sesuatu konsep dan ide yang lebih jelas, apabila mereka terlibat secara langsung dalam pembinaan pengetahuan baru
Metode pembelajaran konstruktivisme meliputi empat tahapan yaitu :
a.      Tahapan pertama adalah apersepsi, pada tahap ini dilakukan kegiatan menghubungkan konsepsi awal, mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan dari materi sebelumnya yang merupakan konsep prasyarat. Misalnya: mengapa baling-baling dapat berputar?
b.      Tahap kedua adalah eksplorasi, pada tahap ini siswa mengungkapkan dugaan sementara terhadap konsep yang mau dipalajari. Kemudian siswa menggali menyelidiki dan menemukan sendiri konsep sebagai jawaban dari dugaan sementara yang dikemukakan pada tahap sebelumnya, melalui manipulasi benda langsung.
c.      Tahap ketiga, diskusi dan penjelasan konsep, pada tahap ini siswa mengkomunikasikan hasil penyelidikan dan tamuannya, pada tahap ini pula guru menjadi fasilitator dalam menampung dan membantu siswa membuat kesepakatan kelas, yaitu setuju atau tidak dengan pendapat kelompok lain serta memotifasi siswa mengungkapkan alasan dari kesepakatan tersebut melalui kegiatan tanya jawab.
d.     Tahap keempat, pengembangan dan aplikasi, pada tahap ini guru memberikan penekanan terhadap konsep-konsep esensial, kamudian siswa membuat kesimpulan melalui bimbingan guru dan menerapkan pemahaman konseptual yang telah diperoleh melalui pembelajaran saat itu melalui pengerjaan tugas..
Dari uraian diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa terdapat beberapa prinsip dasar pembelajaran konstruktivisme, yaitu :
1.      Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif.
2.      Tekanan proses pembelajaran terletak pada siswa
3.      Mengajar adalah membatu siswa belajar.
4.      Penekanan pada proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil belajar.
5.      Kurikulum lebih menekankan pada partisipasi siswa.
6.      Guru adalah fasilitator.

HASIL DISKUSI
1.      Salah satu kelemahan pendekatan konstruktivistik adalah tidak semua sekolah memilki sarana dan prasarana yang dapat mengembangkan kreativitas dan keaktifan siswa. Mengapa kurikulum 2013 begitu cepat diterapkan, sementara belum ada survey secara menyeluruh di setiap sekolah?
Jawaban: Inilah salah satu kekurangan kurikulum 2013, tdk adanya penelitian secara menyeluruh di setiap sekolah yang ada di Indonesia, sementara setiap sekolah harus menerapkan kurikulum yang sama.
2.      Bagaimana cara seorang siswa mengkonstruksi pengetahuan yang diperoleh dari guru?
Jawaban: Bila guru mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransfer itu akan diinterpretasikan dan dimkonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.
3.      Apa yang dilakukan guru terkait dengan fungsinya hanya sebagai fasilitator untuk meningkatkan keaktifan siswa?
Jawaban: Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak boleh mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauannya.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar