Kamis, 27 Februari 2014

Peranan Perempuan dalam PORPOL dan DPRD Kab. Bima NTB


 PEREMPUAN DAN POLITIK “Studi tentang Partisipasi Politik Perempuan di DPRD  Kabupaten Bima“
Oleh : Ardiansyah, M.Pd.

 A.     Latar Belakang
1
 
Pasca wafatnya rasulullah, kepemimpinan islam mengalami bentuk yang sangat beragam, mulai dari bentuk republik dengan menggunakan sistem demokrasi, sistem monarki, sistem monarki Absolut, sistem monarki konstitusional, hingga kembali pada sistem demokrasi. Beragamnya bentuk pemerintahan islam tersebut, merujukan tidak adanya satu konsep utuh yang diberikan oleh pemikiran islam tentang bentuk; Negara islam. Hanya saja sebagai mereka ada yang mengambil dari prisip-prisip dasar dari sebuah Negara Islam yaitu Negara yang berlandasan nilai-nila tauhid yang mengadung pesan persaudaraan, persamaan dan kebebasan. Dalam menbangun nilai persaman dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan melihat manusia sama sebagai ciptaan Allah tampa membeda-bedakan, apalagi mendiskriminasikan yang satu dengan yang lainnya berdasarkan suku, rasa tau jenis kelamin. Karena yang membedakan manusia pada hakekatnya adalah nilai taqwahnya. Karena itu dalam Negara islam, diskriminasikan terhadap perempuan dalam ranah publik merupakan pengimpanan atas nilai-nilai tauhid yang menjadi landasan beragama bagi umat islam.[1]
Indonesia merupakan Negara pertama di kawasan Asia Pasifik yang membentuk kementrian khusus untuk meningkatkan peran perempuan. Berbagai kegiatan perempuan yang muncul sejak pemerintahan Orde  baru baik organisasi profesi maupu ikatan kerja suami, PKK, Kowani, dll. Hal tersebut menunjukkan adanya pertumbuhan partisipasi politik perempuan yang semakin besar dan telah banyak membantu melaksankan program-program pemerintah. Berbagai jabatan politis telah dicapai seperti menjadi menteri, anggota parlemen, ketua partai, bupati, camat, lurah dll. Tetapi jika dilihat dari jumlah maupun pengaruhnya dalam perumusan kebijaksanaan nasional sangatlah kecil.
Keterlibatan perempuan dalam urusan politik pada masa kini sangat berbeda dengan kondisi perempuan dimasa lalu. Perbedaan itu bisa karena kondisi sosio-kultur maupun perkembangan zaman. Berbagai permasalahan yang seringkali korbannya adalah para wanita seperti penyiksaan terhadap TKW di luar negeri, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menunjukkan lemahnya perlindungan hukum terhadap mereka. Semua permasalahan dan ketidakadilan yang menimpa kaum hawa inilah yang nampaknya membuat kaum pejuang feminis menjadi geram. Mereka menginginkan adanya sebuah perlindungan secara legal yang terformulasikan berupa aturan dalam suatu undang-undang.[2]
Reformasi politik di indonesia sebenarnya memberikan harapan bagi kaum perempuan yang selama 32 tahun terpasung hak politiknya. Gerakan-gerakan perempuan yang sebelumnya tidak mempunyai energi, muncul dengan berbagai usaha pemberdayaan  hak-hak perempuan, khusunya hak politik, dalam rangka mengentaskan perempuan dari kubangan politik destruktif. Namun, era reformasi ini tidak bisa menghilangkan apatisme dan ketidak berdayaan perempuan yang selama puluhan tahun dijebloskan oleh sistim politik hegeonik dan repsesif. Kodisi perang perempuan menjadi sangat buruk bila melihat realitas politik di tingkat massa, di mana perempuan tidak lebih sebagai objek politik. Mereka tidak saja menjadi objek politik, tetapi juga apatis terhadap perkembangan nasib kaumnya. Politik didefinisikan dalam arti laki-laki, yakni sebuah dunia dengan sistem zero sum game.[3]
Dalam sistem politik kita yang berlaku selama ini, kebijakan yang berlaku menempatkan perempuan hanya sebagai second persen. Akibatnya nasib perempuan tidak pernah mengalami perubahan yang segnifikan. Meski sudah lama kita ketahui, cacatan Badan Pusat Stastistik (BPS) pada tahun 1995 menyatakan bahwa partisipasi perempuan dalam lembaga tinggi dan tertinggi negara sebesar 7,55% di MPR; 12,60% di DPR; 14,29% di mahkamah agung; 6,67% di DPA; dan tak ada satu perempuan pan yang ada di Badan Pemeriksa Keuangan.[4]
Dalam buku Dilema perempuan di penghujung tahun 1990 John Naisbitt dan Patricia Aburdene mengemukakan tesis bahwa 1990 adalah dasawarsa perempuan dalam kepemimpinan. Selama 20 tahun terakhir, diseluruh dunia berjuta-juta perempuan mengambil peran-peran penting yang sebelumnya di kuasai oleh laki-laki. Mereka tidak memasuki sektor pekerjaan sosial, tetapi sektor bisnis, manajemen, dan politik. Tahun1990 tecatat perempuan menguasai sekitar 39,3% dari 14,2 juta pekerjaan eskutif,administrasi, dan manajemen. Data ini merupakan fenomena yang terjadi di negara amerika serikat.[5]
Kebijakan politik memang sangat berarti bagi upaya pemberdayaan perempuan karena melalui keputusan politik ini segala aktifitas kehidupan dapat ditentukan. Adanya one gate policy atau kebijakan satu pintu yang digagas Mentri Pemberdayaan Perempuan untuk mengkoordini kegiatan yang sensitif jender patut didukung oleh seluruh jajaran eksekutif dalam membuat kebijakan. Kalau sensivitas jender dapat diresapi oleh seluruh pengambilan kebijakan, maka dengan sendirinya program kegiatan yang direalisasikan juga akan menghargai sensitivitas jender.[6]
Di indonesia keterlibatan perempuan dalam lever manajemen partai masih sangat rendah dan sistem ini masih belum dapat dilaksanaka secara nasional representasi politik perempuan dalam pemilihan umum sangat menggembirakan, yakni mencapai 52% , namun sayangnya jumlah tersebut tidak diwakili secara representatif dalam parlemen yang hanya 7,9% .
Di beberapan negara dalam proses pemilihan kandiat untuk anggotan parlemen masing-masing partai politik memberikan kuota kepada kandidat perempuan. Seperti di negara Agrentina yang memberikan kuota 30%, Brasil 20%, India 33%, (Ani Soetjipto: 2000). Pmerintah indonesia melalui kantor Mentri Negara Pemberdayaan Perempuan telah menyusulkan kuota 30% sebagai langkah sementara peningkatan perempuan dalam pengambilan kebijakan karena selama sistem politik masih sangat patriorkis seperti sekarang ini, langkah tersebut sangat stategis.[7]
Keterlibatan perempuan dibidang politik pada masa reformasi kini mengalami perluasan peran menjadi anggota parlemen. Keterlibatan perempuan dalam pemilu legislatif menunjukan adanya kemajuan bagi proses demokrasi yang berbudaya partisipatoris dan tentu saja hal ini membuat kaum perempuan lebih kaya akan pemenuhan haknya. Dengan adanya keterlibatan perempuan di Parlemen diharapkan berbagai aspirasi yang berkaitan tentang masalah-masalah perempuan bisa “terinstitusionalisasikan” melalui berbagai produk politik yang dibuat. 
Keterlibatan perempuan dalam politik formal di Indonesia mulai memperoleh ruang sejak dikeluarkannya undang-undang pemilu No. 12/2003, yang menyebutkan pentingnya aksi afirmasi bagi partisipasi politik perempuan dengan menetapkan jumlah 30% dari seluruh calon partai politik pada parlemen di tingkat nasional maupun lokal. Aksi afirmasi seringkali didefinisikan sebagai upaya strategis untuk mempromosikan kesamaan dan kesempatan bagi kelompok tertentu dalam masyarakat seperti perempuan atau kelompok minoritas yang kurang terwakili dalam proses pengambilan keputusan. Pentingnya keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat sendiri, bukannya tanpa alasan yang mendasar, melihat bahwa pemenuhan keterwakilan perempuan pada pemilu 2004 tergolong rendah, hanya mencapai 11.3%. Angka ini mengalami kenaikan 2% jika dibandingkan dengan pencapaian pada pemilu 1999 sebesar 9% di tingkat nasional
Pemerintah mengeluarkan kebijakan terbaru tentang pemilu yang memperkuat keterlibatan perempuan dalam politik formal yaitu UU Pemilu Nomor 10/2008. Pada Pasal 8 ayat (1) butir (d) menyatakan bahwa partai politik dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.
Keterlibatan perempuan dalam Pemilu dengan kuota 30% dianggap suatu kemenangan bagi para pengusung gender yang menyerukan Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Lebih jauh, Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 10/2008 juga menyebutkan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media cetak harian dan media elektronik nasional. Sementara di Pasal 2 ayat 3 UU Parpol disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol harus menyertakan 30% keterwakilan perempuan. partisipasi politik perempuan yang menjabat sebagai anggota dewan di kabupaten bima masih tergolong rendah, padahal UU sudah mensyaratkan agar ada pemenuhan kuota 30% bagi perempuan di lembaga legislatif. Peran dan kedudukan perempuan sebagai anggota dewan yang ideal, sehingga dalam pemilu-pemilu mendatang mampu memenuhi 30 % kuota di lembaga legislatif seperti yang dinyatakan dalam pasal 65 (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. keterwakilan perempuan di lembaga legislatif kabupaten bima nusa tenggara barat berdasarkan Pemilu 2004 dan 2009 yang tidak banyak meloloskan kaum perempuan di parlemen  hanya terdapat 7,41% atau hanya 28 orang dari 378 orang anggota DPRD di provinsi dan kabupaten/kota di Nusa Tenggara Barat. Pada Pemilu 2004, perempuan Nusa Tenggara Barat  yang terpilih menjadi wakil rakyat baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota sebanyak 15 orang dari total 370 orang.Hal ini menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan pemilu 2009 dibandingkan 2004 belum mencapai kuota 30 % seperti tercantum dalam Undang-Undang Pemilihan Umum No. 12 stahun 2003 dan UU Pemilihan Umum Nomor 10 tahun 2008.
B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana partisipasi politik  perempuan di DPRD Kabupaten Bima.?
2.      Bagaimana implikasi partisipasi politik perempuan di DPRD Kabupaten Bima.?
C.     Hipotesis
Berdasarkan penjabaran di atas bahwa di temukan hipotesis penelitian sebagai jawaban sementara terhadap masalah yang di anjurkan yaitu; partisipasi politik  perempuan di DPRD semakin meningkat dari ketahun ketahun, namun  pada tahun 2004 sampai 2009 ada peningkatannya walaupun pada tahun 2009 agar menurun dari tahun 2004 tetapi tidak menutup  kemungkinan partisipasi perempuan di dunia pilotik semakin meningkat kesadaran untuk berkiprah dalam actor pengambilan kebijakan dalam publik.
D.    Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut
1.   Untuk mengetahui bagaimana partisipasi politik perempuan di DPRD Kabupaten BIma.
2.   Untuk mengetahui bagaimana implikasi partisipasi politik perempuan di DPRD Kabupaten Bima.
Adapun manfaat dan kegunaan penelitian adalah:
1.   Manfaat secara teoritis
        Dengan adanya penelitian tersebut dapat membantu masyarakat untuk mengetahui bagaimana keterlibatan perempuan terhadap percalonan pemilihan legislatif dalam  perumusan kebijakan dan Impolementasi Kebijaka dalam konteks kebijakan publik.
2.   Manfaat secara praktis:
a.    Untuk menambah dan memperdalam keterampilan peneliti dalam pengambilan kebijakan.
b.   Penelitian ini sangat bermanfaat bagi penulis selain yang dapat mengetahui sejauh mana pengetahuan mengenai implementasi kebijakan publik sehingga dalam penerapan dan pengimplementasian kebijakan di daerah dapat berjalan dengan baik sesuai tujuan NKRI tercinta ini.
E.     Tinjauan Pustaka
Beberapa literatur yang di temukan sekitar pembahasan ini adalah:
1.   Dalam buku menju kemandirian politik perempuan 2008 siti musdah mulia dalam pengalaman coordinator program voter education (pendidikan pemilih) bagi perempuan di tingkat grass root. Program tersbut dilakukan menyongsong pemilu tahun 1999. Ada empat hal yang disimpulkan dari program voter education (pendidikan pemilih) bagi perempuan yaitu: 1. Telah terjadi proses depolitisasi yang sengaja dan sistemik terhadap perempuan, akibatnya, meskipun Indonesia telah merdeka lebih dari setengah abad, namun perempuan pada umumnya masih buta politik. Mereka umumnya memandang politik sebagai dunia maskulin, kotor dan kejam. 2. Umumnya perempuan belum mengerti makna demokrasi dan pentingnya institusi pemilu sebagai sarana untuk membangun masa depan Indonesia yang demokratis. 3. Umumnya perempuan belum memahami hak asasi mereka, termasuk hak asasi dalam bidang politik dan potensi-potensi yang terkandung dibalik hak tersebut. 4. Pendidikan politik bagi perempuan belum diselenggarakan secara sunggu-sunggu dan terencana. Karen itu, tidak heran banyak perempuan tidak tertarik, bahkan bersikap apatis terhadap dunia politik.
Fakta dari lapangan bahwa struktur politik Negara selama ini menegasikan hak poltik perempuan sedemikian rupa, baik secara individual maupun kolektif. Artinya perempuan mengalami proses depolitisasi yang luar biasa. Pngalaman riil dalam pendidikan pemilih bagi perempuan bahwa masalah perempuan dan politik di Indonesia terhimpu sedikitnya dalam tiga isu. Pertama, keterwakilan perempuan sangat rendah di ruang publik. Kedua, komitmen partai politik belum sensitif gender sehingga kurang memberikan akses memadai bagi kepentingan perempuan. Ketiga, masih kuatnya kendala struktural, nilai-nilai budaya dan interpretasi ajara agama yang bias gender dan nilai-nilai patriarki.
2.   Menurut ir. Tari siwi utami melakukn perubahan dalam segi politik kemasyarakatan. 1. Dalam persoalan politik ada beberapa hal yang harus dilakukan diantaranya adalah dengan memperkuat partisipasi peran perempuan dalam dunia politik. 2. Persoalan aspek kultural. Pada aspek ini banyak sekali stereotyping yang bersifat socially constructed dan pemahaman yang misleading tentang perempuan. Kaum perempuan diidentikan sebagai kelompok yang lemah lembut imana perannya adalah pada wilaya domestik semata, yakni dapur, sumur dan kasur.
            Mengapa perempuan selalu terbelakang dari kancah politik.namun secara umumnya faktor-fakror itu dapat diklafikasikan menjadi: . Pertama, terbatasnya keterlibatan perempuan dalam prose pengambalan kebijakan publik yang ditetapkan oleh lembaga-lambaga legislatif, eksekutif, yudikatif, termasuk TNI dan POLRI. Kedua, masih terdapat kelemahan hubungan kemitraan antara lembaga-lembaga yang memiliki visi pembedayaan perempuan. Ada kesan bahwa pemerintah dalam membuat kebijakan politik belum menepatkan kesetaraan gender secara tepat. Sementara LSM, khususnya yang bergerak dalam aktivitas advokasi perempuan jalan dengan sendirinya. Sebagai dampaknya, banyak kebijakan dan program pembangunan yang ditujukan kepada perempuan sering tidak pecan jender, yaitu belum mempertimbangkan perbedaan pengalaman, aspirasi, dan kepentingan antara perempuan dan laki-lak. Kebijakan publik sering diformulasikan dengan mengasumsikan peran perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga sehingga mengurangi hak-hak perempuan yang akhirnya mengukuhkan bentik-bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan jender di segala bidan pembangunan.
3. Dalam buku berdedah tetapi setara 2010 saparinah sadli, buku ini membahas kajian-kajian perempuan dalam membelah kaum perempuan dengan berbagai bidang termasuk dalam perlindung HAM perempuan di dalam keluarga seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kemiskinan, kesehatan bagi perempuan yang hamil, melahirkan, kesehatan bayi, anak belita dan yang lebih penting pendidikan perempuan. Isu perempuan,gender, dan feminism dalam era 1980-an belum di agap penting. Di Indonesia, sampai saat ini isu perempuan masih dipandang sebagai “produk impor” dari barat. Walaupun pada awal kemunculan pada era 1980-an, perempuan masih dipandang sinis oleh kaum laki-laki.
     Esensi gerakan feminismen adalah perjaungan agar perempuan dan laki-laki tidak didiskriminasi disemua bidang kehidupan. Kita memang berbeda tetapi bukan untuk dibedahkan.
3.      Milik Dra.Hj. SITI KOMARIAH M.Si. tahun 2011 dengan judul Studi tentang Kedudukan, Peran, dan Partisipasi Politik Perempuan di Lembaga Legislatif Jawa Barat. Penelitian ini merupakan penelitian tahap ke III yang bertujuan memberi gambaran dan mengidentifikasi kedudukan, peran, serta partisipasi politik perempuan yang menjabat sebagai anggota dewan di DPRD I Propinsi Jawa Barat.Masalah penelitian ini adalah untuk melihat partisipasi perempuan dalam politik yang masih
tergolong rendah, padahal UU sudah mensyaratkan agar ada pemenuhan quota 30% bagi perempuan di lembaga legislatif. Penelitian ini pada khususnya memberikan masukan atau rekomendasi terhadap Undang-undang Pemilu dan Undang-undang Parpol yang akan disusun oleh DPR di masa mendatang. Berdasarkan hasil penelitian terkait dengan peran, kedudukan, dan partisipasi politik perempuan di lembaga legislatif Jawa Barat  antara lain merekomendasikan bahwa: Pertama, tidak tercapainya keterwakilan 30% perempuan di DPRD Jawa Barat disebabkan oleh faktor yuridis dan teknis.Dilihat dari aspek yuridis, keterwakilan perempuan hanya diatur sebatas pada pencalonan saja sehingga tidak menjamin pencapaian 30% keterwakilan perempuan di DPRD Jawa Barat. Ke depan Undang-undang tentang Pemilihan Umum yang mengatur ketentuan affirmative haruslah secara gradual dirumuskan dalam bahasa hukum yang cukup tegas. Apabila dalam UU. No 10 tahun 2008 tentang Pemilu diatur sebatas pada pencalonan, maka pada UU terkait pada masa yang akan datang harus dirumuskan sampai pada pengaturan yang menjamin keterwakilan perempuan 30%. Kedua, persyaratan terkait dengan pengaturan keterwakilan 30% perempuan baik pada rekrutmen perempuan bakal calon maupun pada kepengurusan yang harus memenuhi 30% keterwakilan perempuan ini hendaknya dirumuskan secara tegas dengan mengatur pula tentang sanksi pada partai politik yang tidak mengindahkan peraturan tersebut.Jangan sampai partai politik yang tidak mencapai kuota 30%, sanksinya ”banci” yakni hanya diumumkan di media massa, sehingga partai biasa-biasa saja tidak diloloskan untuk partai
peserta pemilu. Ketiga, p
eran KPU belum maksimal dalam memberikan sanksi kepada partai politik yang tidak mencapai kuota 30%. Seharusnya KPU memiliki kewenangan mengembalikan daftar nama jika tidak memenuhi ketentuan 30% dan penempatan selang seling (zipper system). Keempat, secara teknis di lapangan menunjukkan bahwa partai-partai baru dalam melakukan rekrutmen bakal calon legislatif masih tidak mengindahkan ketentuan UU yang berlaku. Rekrutmen menurut UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu, juga menurut UU No. 2 tahun 2008 tentang partai politik harus dilakukan secara terbuka dan demokratis, namun
praktek di lapangan menunjukkan berbagai penyimpangan dari yang diatur oleh Undang-undang. Untuk itu, khususnya pada UU partai politik haruslah diatur adanya pengawasan dari Pusat dan/atau dari struktur kepengurusan partai di atasnya secara hierarkis terkait dengan pelaksanaan rekrutmen bakal calon legislatif.
F.     Kerangka Teori
1.      Teori gender
Gender merupakan bangunan sosial dan kultural yang pada akhirnya membedahkan antara karakteristik maskulin dan feminin. Maskulin dan feminin bersifat relatif, tergantung pada konteks sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Konsep gender muncul karena para ilmuwan sosial melihat bahwan subordinasi perempuan merupakan hal yang umum dan berjalan bertahun-tahun dengan keuntungan di pihak laki-laki sehingga nyaris menjadi sebuah ideologi.[8]
Ideologi gender merupakan ideologi yang mengkotak-kotakkan peran dan posisi ideal perempuan di dalam rumah tangga dan masyarakat. Peran ideal inilah yang akhirnya menjadi sesuatu yang baku dan stereotip.
Ideologi gender seringkali memojokkan perempuan kedalam sifat feminim, yaitu karakteristik kepantasan yang diaggap sesuai dengan keperempuanannya dampaknya ialah segala sesuatu yang sejalan dengan ideologi gender mendatangkan perasan aman bagi sebagian terbesar laki-laki dan sebagian kecil perempuan. Karakteristik kepantasan yang berlaku di dalam masyarakat, dan semakin baku ini, berkaitan erat dengan suatu kebudayaan setiap daerah karena gender yang berlaku dalam suatu masyarakat ditentukan oleh pandangan masyarakat yang bersangkutan.
Gender dapat berlangsung di dalam masyarakat karena didukung oleh sistem kepercayan gender. sistem kepercayaan gender ini didasarkan pada sejumlah kepercayaan dan pendapat tentang laki-laki yang maskulin, dan perempuan yang feminin. Sistem ini mencakup sikap terhadap peran dan prilaku yang baku dan sesuai bagi laki-laki dan perempuan. Pola baku inilah yang akhirnya membentuk suatu stereotip,  suatu perkotak-kotakan peran laki-laki dan perempuan. Menurut Deaux dan Kite menyatakan bahwa sistem kepercayaan tentang bagaimana “sebernanya” laki-laki dan perempuan, serta bagaimana “seharusnya” laki-laki dan perempuan bersikap.
Selanjutnya deaux dan kite menunjukan bahwa setiap masyarakat memiliki citra yang jelas tentang bagaimana “seharusnya”laki-laki dan perempuan, suatu penelitian yang dilakukan oleh Williams dan Best (yang dikutip oleh deaux dan kite) di 30 negara menunjukan adanya kesamaan pandangan tentang atribut laki-laki dan perempuan. Penelitian ini membuktikan bahwa meskipun gender tidak brsifat umum (universal), tetapi generalisasi atas pandangan kultural tetap ada. Pada umumnya laki-laki dipandang lebih kuat dan aktif, mempunyai keinginan yang besar untuk mencapai sesuatu, memiliki dominasi, otonomi, dan agresi. Sebaliknya, perempuan dipandang sebagai makluk yang lemahdan pasif. Mereka bersifat mengalah dan afiliatifserta lebih memperhtikan lingkungan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa sistem kepercayaan masyarakat tentang gender lebih merupakan asumsi yang kebenaranya dapat diterima sebagian saja karna kepercayaan orang dalam suatu masyarakat tidak selalu dapat menunjukkan kenyataan yang akurat dan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, ada kemungkinan mengandung kesalahan interprestasi dan/atau pandangan yang bias (biased perception). Adalah benar bahwa beberapa aspek stereotip gender dan sistem kepercayaan masyarakat berdasarkan pada kenyataan yang dialami atau yang sesungguhnya terjadi didalam masyarakat. Namun, tidak semua aspek yang diberi label maskulin untuk laki-laki, dan label feminin untuk perempuan dapat diterima dan berlaku untuk masyarakat di Indonesia khususnya di Yogyakarta, dan terlebih lagi dilingkungan PNS.[9]
Pada era globalisasi, dunia kerja tidak lagi membutuhkan kekuatan fisik(otot), tetapi lebih pada kebutuhan kemampuan berpikir (otak). Dengan semakin terbukanya kesepaanya bagi kemampuan berpikir perempuan cenderung setara dengan kemampuan berpikir laki-laki. Kenyataan dengan demikian menujukan bahwa pelabelan feminindan masku;in menjadi kurng penting artinya. Walau demikin, gender masih berlaku pada perkerjaan produktif yang berupah, terutama dalam promosi karier. Di dalam promosi karier, terutama pada jabatan-jabatan struktural yang memiliki didaerah operasional, seringkali laki-lakilah yang ditugaskan. Pada perkerjaan kerumah tanggaan, berlakunya ideologi gender juga mengalami perubahan dengan semakin sulit mencari peran pengganti ibu sehingga mendorong laki-laki mulai membantu perkerjaan domestik.
Pelabelan ini hanya dapat berlaku pada kelas priayi konversional (priayi dalam pengertian adik-adik dan kerabat raja) dan bukan pada masyarakat kebanyakan, termasuk kelompok PNS. Pada kelas priayi konversional, perempuan dituntur untuk dapat menunjukan sikap, perilaku, dan peran seperti yang dituntur oleh kepercayaan gender yaitu sifat-sifat feminine. Pada kelompok PNS, perempuan berkerja pada sektor publik memperoleh upah, dan dapat menjadi pemimpin walaupun pada mengenbangkan sifat androgini. Pada sifat ini, seseorang dituntut memiliki dua sifat sekaligus yaitu sifat-sifat feminine dan maskulin.[10]   
2.      Teori peran
Secara sosiologis peran sulit dibedakan secara tegas dengan status. Keduanya merupakan kesatuan. Peran dan status hanya dapat dipisahkan secara teoritis, teapi sangat sulit dibedakan dalam kenyataan.   
Soedjitto menjelaskan bahwa peran berfungsi untuk menjalankan hak dan kewjiban, tetapi status lebih merupakan himpuan dari hak dan kewajiban tersebut. Dalam studi ini peran lebih mengarah pada peran gender. Perbedaan peran gender biasanya dipelajari melalui sosialisasi. Sosialisasi yang berlangsung baik didalam keluarga, sekolah maupun media massa, menjadi sangat penting dalam mempengaruhi dan menentukan status anak perempuan dan laki-laki secara berbeda.  Dari sini munculah apa yang diebut sebagai stereotip, yakni suatu pembedaan status dan peran ang diharapkan dari dua jenis kelamin. Misalnya bahwa laki-laki dianggap mempunyai intelektualitas dan emosi yang lebih tinggi, serta menginginkan kerja yang penuh arti dengan harapan- harapan yang lebih besar dari pada perempuan. Stereotip semacam ini telah dikembangkan melalui penelitian yang sistimatis di lapangan. Stereotip inilah yang menentukan status, dan pelaksanaan status menentukan peran.
Berdasarkan penelitian tersebut terlihat bahwa laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik psikologis yang berbeda. Karna mereka diharapkan menjadi merbeda, gerak keduanya menjadi sangat terbatas. Mislnya, pandangan-pandangan stereotip bahwa peran pemimpin mengandung unsure-unsur dominasi kompetisi, agresi, rasio, ambisi dan lain sebagainya selama pandangan stereotip terhadap perempuan adalah non kompotitif, non agregesif, emesional, dan tidak ambisius, maka selama itu pula akses perempuan untuk dapat menjadi pemimpin sangat kecil.
Walaupun peran tersebut normatif. Namun secara historis dapat berubah sehingga harapan terhadap perempuan dan peranan perempuan pada hari ini aka berbeda dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu. Yang mula-mula tidak dipertanyakan di dalam kehidupan, kemudian menjadi bahan perdebatan.[11] Menurut manning (1996) suatu masalah yang berkaitan dengan teori peran akan meandang perbedaan seksual, dan setuasi perempuan versus laki-laki secara abstrak.   
3.      Teori Sosialisasi
Teori sosialisasi di dalam kamus sosialogi, sosialisasi diartikan sebagai suatu proses sosial yang dilakukan, sehingga individu dapat diintergrasikan kedalam kelompok sosial dengan mempelajari kebudayaan kelompok dan peranannya didalam kelompok tersebut. Oleh karena itu, sosialisasi merupakan suatu proses sepanjang hidup (along life process). Suatu fase yang sangat penting terjadi ketikaa masa kanak-kanak. Pada fase itu nilai-nilai, sikap, keahlian, dan peranan diinternalisasikan pada anak sehingga membentuk kepribadian anak tersebut. Proses ini sangat esensial dalam membentuk dirinya untuk memgembangkan suatu konsepsi tentang dirinya sebagai “suatu person” melalui prilaku dan sikap orang lain. Melalui pelajaran tersebut ia dapat memainkan berbagai macam peran sosial yang akhirnya akan mengembangtumbuhkan kepribadian sosial.[12] Proses sosialisasi dapat berlangsung di dalam maupun di luar rumah. Melalui proses ini seseorang di harapkan dapat mengetahui bagaimana seharusnya ia bersikap dan tingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan di dalam lingkungan sosial budayanya. Di dalam rumah, lembaga yang mempunyai hak dan bertangguh jawab dalam proses sosialisasi adalah keluarga.
Posisi dan status sosial ekonomi keluarga yang satu tentu berbedah dengan yang lain. Inilah yang menimbulkan adanya kelas-kelas sosial di dalam masyarakat. Secara lebih khusus, Schneider (1994) membedahkan sosialisasi antara keluarga-keluarga dari kelas-kelas sosial yang berlainan.
Sedangkan menurut Berger dan Luckmann (1966) menunjukan bahwa di dalam sosialisasi primer tidak ada masalah identifikasi karena orang-orang yang berpengaruh tidk dapat dipilih, dan anak harus menerimah sebagaimana adanya. Maka dari itu, sesuatu yang diinternalisasikan melalui sosialisasi primer akan sangat kuat tertanam di dalam kesadaran anak. Ia akan selalu teringat apa yang perna di ajakan oleh orang terdekatnya tentang dunia kenyataan yang harus di hadapai. Adapun isi yang diinternalisasikan  dalam sosialisasikan primer antara masyarakat satu dengan masyarakat lain tidak selalu sama. Tetapi ada suatu hal yang sama yaitu bahasa, dengan bahasa maka motivasi dan interpretasi didefinisikan secara kelembagaan.
Dalam hal studi gender, menunjukan bahwa para fiminis telah menemukan bahwa studi sosialisasi secara ekstrem bermanfat untuk memahami bagaimana seseorang tumbuh sebagai person.[13]
Meskipun temuan lewat studi tentang sosialisasi peranan seks sangat terbatas, tetapi hal ini merupakan konsep yang bernilai dalam memahami, dengan cara bagaimana harapan-harapan kultural (cultural expectation) tentang gender ditransmisikan pada individu di dalam suatu masyarakat, oleh karena pada sosialisasi dapat dengan mudah diobservasi dalam pengalaman individu maupun kelompok, maka studi sosilisasi sangat bermanfaat dalam mengkaitkan hubungan antara individu denga masyarakat di mana mereka hidup.
Dengan sosialisasi, pemahaman tentang normal kepantasan berdasarkan perbedaan seks yang dianut oleh keluarga dan warga mayarakat lain secara pelan tapi pasti, tertanam kuat di dalam kesadaran anak. Jika hal ini terjadi di dalam masyarakat yang patrilineal, maka pemahaman normal yang lebih mementingkan laki-laki akan tertamam kuat, baik pada anak laki-laki maupun anak perempuan. Dampaknya adalah bahwa dunia kerja akan mengikuti norma kepantasa yang berlaku di dalam mayarakat.[14]
4.      Teori perubahan sosial dan partisipasi
Pada dasarnya perubahan sosial adalah sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Dari pengertian yang terjdi dalam perubhan struktur adalah perubahan jumlah penduduk, perubahan status sosial, perubahan lapisan sosial. Sedangkan perubahan dalam fungsi sosial antara lain ayah di rumah dan ibu berkerja. Di inilah terjadi fungsi ayah dan ibu.
Beberapa definisi perubahan sosial yaitu; Menurut Gillin perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah di terimah, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi atau penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
Menurut Mac Iver perubahan sosial adalah sebagai perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan keseimbangan dalam hubungan social.
Menurut Selo Soemardjan perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Termasuk dalam nilai-nilai, sikap, dan pola prilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Ada dua teori utama mengenai perubahan sosial yaitu
1.      Teori siklus menjelaskan bahwa perubahan sosial bersifat siklus artinya berputar melingkar. Menurut teori ini perubahan sosial merupakan suatu yang tidak bisa direncanakan atau diarahkan kesuatu titik tertentu tetapi berputar-putar menurut pola melingkar. Pandangan teori ini perubahan sosial sebagai suatu hal yang berulang-ulang apa yang terjadi sekarang akan memiliki kasamaan atau kemiripan dengan apa yang terjadi dimasa dulu. Di dalam pola perubahan ini tidak ada proses perubahan masyarakat secara bertahap sehingga batas-batas antara pola kehidupan primitif, tradisional, dan modern tidak jelas. Perubahan siklus merupakan perubahan yang menyerupai spiral.
Pandangan teori siklus sebenarnya telah dianut oleh bangsa Yunani, romawi, dan cina kuno jauh sebelum ilmu social modern lahir. Mereka membayangkan perjalanan hidup manusia pada dasrnya terperangkap dalam lingkara sejarah yang tidak menentuh.
Menurut seorang filsif sosial jerman, Oswald Spengler berpandanga bahwa setiap peradaban besar menjalani proses penahapan kelahiran, pertumbuhan, dan keturunan. Perubahan sosial akan kembali pada tahap kelahiran. Kita dapat melihat kebenaran dati teori siklus dari kenyataan social sekarang. Misalnya dari prilaku model pakaian, gaya hidup kepemimpinan politik. sebagai contoh dalam perubahan model pakaian terbaru kadang-kadang merupakan tiruan atu mengulang model pakaian jaman dulu. Dalam bidang politik bersifat siklus sering kita mlihat upacara-upacara social ymg dilakukan pemimpin suku di zaman kuno di lakukn kembali oleh pemimpin politik masyarakat modern. Misalnya melakukan upacara yang bersifat memujah dan memeliharan tradisi turun-menurun.
2.      Teori perkembangan atau linier menurut teori ini perubahan sosial akan menujuh kesuatu titik tujauan tertentuh, penganut teori ini percaya bahwa perubahan sosial bisa direncanakan atau diarahkan kesuatu tujun tertentu. Masyarakat berkembang dari tradisional menuju masyarakat kompleks modern. Pandangan teori ini dikembangkan oleh para ahkin sosial sejak abad ke-18 bersamaan dengan munculnya zaman pencerahan di eropa yang berkeinginan masyarakat lebih maju. Teori linier dapat dibagi menjadi 2 yairu; teori evalusi dan teori revalusi. Teori evalusi melihat perubahan secara lambat. Sedangkan teori revolusi melihat perubahan secara sangat drastis. Merunut teori revolusi bahwa masyarakat berkembang dari primitif, tradisional dan bersahaja menuju masyarakat modern.[15] Sedangkan pada Teori Partisipasi adalah Pelaksanaan suatu kegiatan tidak terlepas dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang akan dicapai harus ada dukungan serta keikutsertaan dari setiap anggotanya baik secara mental,maupun secara emosional. Keterlibatan atau keikutsertaan seseorang dalam suatu kegiatan merupakan partisipasi seseorang yang patut dihargai, serta diharapkan ada manfaat serta tujuan atas keikutsertaan tersebut. Partisipasi ditandai dengan keterlibatan seseorang dalam suatu kelompok baik moril maupun materi, serta adanya rasa tanggung jawab.
 Pengertian Partisipasi Dilihat dari segi etimologi, kata partisipasi berasal dari bahasa Belanda”Participare”. Dalam bahasa Inggris kata partisipasi adalah ”participations”berasal dari bahasa latin yaitu ”participatio”. Perkataan participare terdiri dar idua suku kata, yaitu part dan cipare. Kata part artinya bagian dan kata cipare artinya ambil. Jika dua suku kata tersebut disatukan berarti ambil bagian, turut serta. Dalam hal ini turut serta atau bagian, misalnya siswa yang memiliki hobi atau kesenangan bermain sepakbola di sekolah. Melalui berbagi aktivitas gerak yangmemiliki tujuan kearah yang lebih baik. yaitu dengan ditandainya ada perubahandalam hal kognitif, afektif, dan psikomotor siswa.
Menurut Moelyarto Tjokrowinoto Partisipasi adalah penyetaraan mental dan emosi dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk mengembangkan daya pikir dan perasaan mereka bagi tercapainya tujuan-tujuan, bersama bertanggung jawab terhadap tujuan tersebut.
 Menurut Kafler yang dikutif oleh Mulyono mengenai partisipasi adalah keikutsertaan seseorang dalam suatu kegiatan yang mencurahkan baik secara fisik maupun mental dan emosional. partisipasi fisik merupakan partisipasi yang langsung ikut serta dalam kegiatan tersebut, sedangkan partisipasi secara mental dan emosional merupakan partisipasi dengan memberikan saran, pemikiran, gagasan, dan aspek mental lainnya yang menunjang tujuan yang diharapkan. Sebenarnya partisipasi adalah suatu gejala demokratis dimana orang dilibatkan dan diikutsertakan dalam perencanaan serta pelaksanaan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai tingkat kematangan dan tingkat kewajiban. Partisipasi itu menjadi lebih baik dalam bidang-bidang fisik maupun bidang mental serta penentuan kebijaksanaan.
Dari pengertian partisipasi di atas dapat diambil suatu kegiatan tertentu. Bukan saja hanya ikut serta tetapi keterlibatan emosional, mental serta fisik anggota dalam memberikan saran ide, kritik, serta inisiatif terhadap kegiatan-kegitan yang dilaksanakan. Serta mendukung pencapaian tujuan serta bertanggungjawab atas keterlibatannya. Prinsip partisipasi adalah masyarakat berperan secara aktifdalam proses atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai dari tahapsosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materil.  
Menurut Verhangen menyatakan bahwa,“partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian: kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat”. Theodorson dalam Mardikanto mengemukakan bahwa “dalam pengertian sehari-hari, partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individu atau warga masyarakat) dalam suatu kegiatan tertentu”. Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud di sini bukanlah bersifat pasif tetapi secara aktif ditujukan oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, partisipasi akan lebih tepat diartikan sebagi keikutsertaan seseorang di dalam suatu kelompok sosial untuk mengambil bagian dalam kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya sendiri.  Menurut konsep proses pendidikan, partisipasi merupakan bentuk tanggapan atau responsesatas rangsangan-rangsangan yang diberikan yang dalam hal ini, tanggapanmerupakan fungsi dari manfaat (rewards) yang dapat diharapkan.
Adapu Tahap-Tahap Partisipasi adalah
a.       Tahap partisipasi dalam pengambilan keputusan Pada umumnya, setiap program pembangunan masyarakat (termasuk pemanfaatan sumber daya lokal dan alokasi anggarannya) selalu ditetapkan sendiri oleh pemerintah pusat, yang dalam hal ini lebih mencerminkan sifat kebutuhan kelompok-kelompok elit yang berkuasa dan kurang mencerminkan keinginan dan kebutuhan masyarakat banyak. Karena itu, partisipasi dalam pembangunan perlu ditumbuhkan melalui dibukanya forum yang memungkinkan masyarakat banyak berpartisipasi langsung di dalam proses pengambilan keputusan tentang program-program pembangunan di wilayah setempat atau di tingkat local.
b.       Tahap partisipasi dalam perencanaan, Partisipasi dalam tahap perencanaan merupakan tahapan yang paling tinggi tingkatannya diukur dari derajat keterlibatannya. Dalam tahap perencanaan, diajak turut membuat keputusan yang mencakup merumusan tujuan, maksud dan target.[16]
5.      Teori patriarchy dan segmentasi pasar kerja
Billing dan Alvesson menggunakan konsep patriarchy (partiarkat) untuk menggambarkan bentuk organisasi yang khusus, yakni rumah tangga, di mana ayah memiliki dominasi terhadap seluruh anggota keluarga lain dalam hubungannya dengan keluarga besar (extended family), serta mengontrol semua produksi ekonomi rumah tangga.
            Dengan demikian, patriorkat merupakan pencerminan suatu hokum sang ayah, dan hokum tersebut berlaku terdapat individu lain yang berada di dalam suatu keluarga inti (nuclear family). Hal ini tidak terbatas pada pencerminan hokum di dalam keluarga saja tetapi mencakup seluruh otoritas laki-laki sebagai ekspresi dari ayah secara simbolik. Konsep patriarkat ii juga mencakup dominasi pada tingkat sosial di mana biasanya laki-laki memegang posisi kekuasaan politik, sosial, ekonomi, dan kehidupan kerja, sementara perempuan tidak mempunyai akses untuk posisi tersebut. Meski demikian, bukan berarti bahwa perempuan sama sekali tidak mempunyai kekuasaan (power less) atau kehilangan sumber-sumber pengaruh dan hak-haknya secara keseluruhan. Jika ada perempun yang dapat mempunyai kekuasaan, ia tetap berada di bawah kontrol laki-laki, dan jumlahnya pun hanya sedikit.
            Menurut mileet laki-laki dan perempuan dilukiskan sebagai makhluk yang berada di dalam hubungan domonasi-subordinasi. Patriarchy didefinisikan sebagai struktur dari subordinasi dan dominasi. Pada dasarnya dijelasan mengenai patriarchy di atas mencakup hierarki hubungan sosial dan intitusi di mana laki-laki mempunyai kemampuan untuk mendominasi perempuan. Walaupun begitu, sejumlah penganut teori patriarchy tidak menggunakan model yang universal, melainkan bahwa setiap masyarakat memiliki bentuk dn tipe yang berbeda-beda.[17]
            Patriarkat telah dibangun lama sebelum masa kapitalisme, dan dipindahkan begitu saja dalam masyarakat industry melalui sistem kontrol pada produksi dan ekonomi. Dengan demikian, pmbatasan secara seksual dalam pembagian kerja dapat diberlakukan pula pada sistem upah.[18]dalam hal ini, Hartmann menunjukan bahwa dalam sistem patriarchy, laki-laki mengontro kerja perempuan, baik di dala m rumah maupn di luar rumah. Di dalam rumah, pekerjaan perempuan berlangsung rutin dan melelahkan, dan pekerjaan jenis ini dianggap bukan sebagai suatu pekerjaan sehingga perempuan tergantung pada suami. Di lauar rumah, dapat dilihat antara lain bahwa laki-laki menyisihkan perempuan dari pekerjaan yang berupah tinggi.[19] Sedangkan teori segmentasi pasar kerja merupakan penyempurnaan dari teori neoklasik. Pada prinsipnya, teori ini mengungkapkan bahwa di pasar tenaga kerja terdapat beberapa lapisan atau segmentasi yang sedemikian rupa sebagai akibat dari adanya sejumlah halangan yang bersifat kompetetif atas dasar kualitas human capital yang dimiliki oleh pesaing. Salah satu yang paling dikenal dari teori segmentasi pasar kerja adalah the dual labour market theory dari pendapat doeringer dan piore dan hein. Mereka membedakan dua jenis pasar kerja. Pertama, pekerja keamanan, dan peluang untuk promosi ke jenjang yang lebih tinggi. Kedua,pekerja sektor sekunder yang memmilki upah lebih rendah, jaminan keamanan yang kurang, dan peluang untuk promosi yang sangat terbatas. Berdasarkan pendapat doeringer dan piore dan hein di atas, PNS perempuan yang menjadi focus studi ini termasuk di dalam jenis pekerjaan sektor primer.
Adanya dua pasar kerja secara relative terpisah satu sama lain antara tenaga kerja laki-laki dan perempuan, memiliki konsekuensi yang penting terhadap rendahnya upah, jaminan social, dan peluang promosi bagi tenaga kerja perempuan. Hal ini menyebabkan pilihan kesempatan kerja bagi tenaga kerja perempuan jadi terbatas. Akibatnya, upah tenaga kerja cenderung lebih rendah untuk pekerjaan-pekerjaan perempuan karena mereka harus bersaing keras dengan tenaga kerja laki-laki, sekaligus dengan sesame tenaga kerja perempuan. Tenaga kerja perempuan kurang dapat bersaing dengan tenaga kerja laki-laki untuk pekerjaan yang lebih banyak dan lebih baik. Hal inilah yang membantu mempertahankan upah tenaga kerja yang relative lebih tinggi bagi jenis pekerja yang bercirikan pekerjaan laki-laki.[20]
6.      Teori akulturasi kekuasaan politik 
Alkuturasi adalah percampuran antara dua kebudayaan yang mengatur menjadi satu kebudayaan. Indonesia dengan begitu banyak bahasa,  suku,  agama, ras, dan berbagai kemajemukan Akulturasi budaya pada dasarnya merupakan sebuah  proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok  tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan yang berbeda. Kebudayaan yang langsung pada masyarakat yang memiliki kekuasaan serta masyarakat yang dikuasai. Kekuasaan ini meliputi kekuasaan politik atau ekonomi. Untuk memahami pengertian akulturasi dalam konteks budaya pertama-tama kita perlu memahami definisi budaya dan kebudayaan terlebih dahulu.
Menurut Sachari kebudayaan adalah suatu totalitas dari proses dan hasil segala aktivitas suatu bangsa dalam bidang estetis, moral, dan ideasional yang terjadi melalui proses integrasi, baik integrasi historis maupun pengaruh jangka panjangnya. Para ahli ilmu sosial mengartikan konsep kebudayaan itu dalam arti yang amat luas yakni meliputi seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya dan hasil dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya (Koentjaraningrat).  
Menurut Bronislaw Malinowski kebudayaan memiliki 4 unsur pokok yaitu:
a.       sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
b.      organisasi ekonomi
c.       alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)
d.      organisasi kekuatan (politik)
Menurut Koentjaraningrat  kebudayaan memiliki paling sedikit tiga wujud, yaitu:
a.       Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya yang berfungsi mengatur, mengendalikan dan memberi arah pada kelakuan, dan perbuatan manusia dalam masyarakat yang disebut dengan adat kelakuan.
b.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat yang sering disebut sistem sosial.
c.       Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Masih banyak akulturasi kekuasaan politik budaya Indonesia dengan budaya Hindu-Budha dan Budaya Islam yang mempengaruhi berbagai aspek yang lain di dalam seni tari dan musik, seni ukir, seni lukis dan seni wayang dapat kita lihat saat ini bahwa kebudayaan.
Hasil Akulturasi. Islam serta unsur-unsur budayanya di Nusantara merupakan hasil akulturasi antara budaya Islam dengan Hindu-Buddha yang lebih dulu ada di Nusantara. Beberapa contoh antara lain Seni Bangunan Seni sastra. Prasasti- prasasti awal menunjukkan pengaruh Hindu-Budha di Indonesia, seperti yang ditemukan di Kalimantan Timur, Sriwijaya, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Prasasti itu ditulis dalam bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa.[21]
G.    Metodologi Penelitian  
1.      Jenis penelitian
Dalam upaya memperoleh data dan informasi yang diperlukan, maka cara-cara yang digunakan untuk menghimpun data mengenai keadaan masyarakat,interaksi dan keterlibatan politik prempuan terhadap pencalonan pada pemilu legislatif di kecamatan Lambu Kabupaten Bima.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dan kuantitatif dengan teknik analisis deskriptif yang bertujuan memberikan gambaran secara sistimatis fakta tentang objek yang diteliti. Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan kualitatif berupa lingkungan atau tingkah laku mereka “perempuan” yang terobsesi di dalam penelitian ini. Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu yang secara fundamental tergantung pada pengamatan manusia dalam pengawasanya itu sendiri dan berhubungan dengan orang-orang yang bergelut dilingkungan tersebut.[22]
Dengan demikian penelitian kualitatif adalah upaya untuk mengetahui sesuatu hal dengan cara mengungkapkan atau menganalisis hal-hal yang ada di lapangan secara fundamental dan tergantung pada pengamatan yang rasional.
2.      Variabel dan indikator penelitian
Adapun variabel-variabel yang akan diteliti yang berkaitan dengan keterlibatan perempuan terhadap pencalonan pada pemilu legislatif di kecamatan lambu kabupaten bima yaitu:
1.    Peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.
2.    Tingkat pendidikan dan status perempuan dalam organisasi sosial
3.    Hubungan aktifis perempuan dengan tokoh masyarakat dan pemerintah
Desain penelitian ini dimaksudkan untuk menjadi penuntun mulai dari persiapan sampai pada pelaksaan penelitian. Langkah awal dari penelitian ini dimulai dari mengidentifikasi dan merumuskan masalah. Setelah itu dilakukan kerangka konseptual yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti berdasarkan kajian teori. Berdasarkan uraian teori yang diperoleh dari berbagai buku inilah maka dilanjutkan pada tahap mengidentifikasi variabel dan membuat desain penelitian, mengoperasionalkan variabel, menentukann populasi, menentukan jumlah sampel yang akan diteliti serta menetapkan teknik-teknik pengumpulan data.
Setelah tahap-tahap tersebut selesai maka dilanjutkan dengan menyusun daftar pertanyaan yang akan menjadi pedoman dalam wawancara di lapangan. Disamping itu juga dilakukan pengurusan izin yang akan digunakan sebagai pengantar untuk memperoleh kemudahan penelitian. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data. Data yang diperoleh kemudian diolah dalam bentuk tabel dan dianalisis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan penelitian yang kesemuanya disusun dalam bentuk skripsi.
3.      Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah keseluruhan dari unit yang ciri-cirinya akan diduga dalam usaha untuk memperoleh informasi dan menarik kesimpulan. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa populasi adalah himpunan semua obyek yang akan diteliti. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah beberapa orang “perempuan” yang ikut berpartisipasi didalam pencalonan pemilihan umum legislatif di beberapa desa di kecamatan lambu kabupaten bima.
4.      Teknik pengumpulan dan Analisis data
a.       Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan cara sebagai berikut:
1)      Teknik observasi
Teknik ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lapangan yang merupakan lokasi penelitian. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran umum tentang lokasi penelitian dan kondisi demografisnya serta beberapa hal lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
2)      Teknik wawancara
Teknik ini dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab langsung dengan menggunakan pedoman wawancara untuk wawancara bebas atau wawancara dengan menggunakan kuesioner (alat perekam) untuk wawancara berstruktur.
3)      Teknik dokumentasi
Teknik ini sangat penting untuk melengkapi data dalam rangka menganalisis masalah penelitian. Dalam penelitian ini peneliti berusaha mengumpulkan data dari beberapa desa yang ada di kecamatan lambu kabupaten bima dan data lain yang diperlukan dalam penulisan ini.
b.      Analisis data
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dan karena penelitian ini merupakan penelitian deskriptif maka teknik yang digunakan dalam menganalisa data adalah teknik analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Teknik anlisis deskriptif kuantitatif digunakan dengan memasukan dalam tabel persentase, sedangkan teknik analisis deskriptif kualitatif adalah uraian dari tabel-tabel persentase.
H.    Susunan kerangka Bab
Untuk lebih mengetahui serta memahami skripsi ini maka perlu adanya sistimatika penulisan yang sesuai dengan peraturan yang ada, yaitu sebagai berikut:
Bab I, merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang alasan memilih judul dengan mengemukakan latar belakakng masalah, rumusan masalah,  tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, dan susunan kerangka bab.
Bab II, merupakan bab yang membahas tentang kondisi geografis kabupaten bima yang memuat tentang penjelasan yang mengenai komposisi penduduk dan kondisi kecamatan lambu.
Bab III, merupakan bab yang menguraikan tentang kondisi pemilu legislatif di kecamatan lambu kabupaten bima dan sejarah keterlibatan, peran serta partisipasi perempuan terhadap pembentukan daerah kabupaten bima yang meliputi gambaran mengenai sejarah berdirinya kabupaten bima dan perjuangan politik di bima.
Bab IV, merupakan bab yang menguraikan dan membahas tentang hasil penelitian serta pembahasan hasil-hasil penelitian di lapangan.
Bab V, adalah merupakan bab akhir yang menyimpulkan seluruh hasil penelitian dalam penulisan skripsi ini dan memberikan saran-saran supaya untuk penulisan yang berkenaan dengan judul ini dan kiranya akan dapat disempurnakan oleh penulis selanjutnya.

 I.       Daftar Pustaka
Agger, ben, 2012, teori sosial kritis, kritik, penerapan dan implikasinya. Yogyakarta:  kreasi wacana perum sudarjo bumi indah.
http://sacafirmansyah.wordpress.com/2009/06/05/partisipasi-masyarakat.
Mulia, siti musdah, 2008, menuju kemandirian politik perempuan. Yogyakarta: kibas press.
Mosse, Cleves Julia, 2007, Gender dan pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa Wwomen’s centre dengan  Pustaka pelajar.
Partini, 2013, Bias gender dalam birokrasi. edisi kedua. Yogyakarta: Tiara Wicana.
Rakhmat, jamaluddin, 1998, Cacatan kang jalal visi median, politik, dan pendidikan. Bandung: PT remaja rosdakarya.
Sadli. Saparinah, 2010, Berbeda tetapi setara “pemikiran tentang kajian perempuan”. Jakarta: Kompas.
Sugyono, 2008, Metode penelitian kualitatif kuantitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Utami, Tari siwi, 2001, perempuan dan politik di parlemen. Yogyakarta:  Gama Media.
Wasim, Alef Theria, 2012, filsafat perempuan dalam islam. Yogyakarta: Rausyanfikr Institute.



[1]  Siti musdah mulia, menuju kemandirian politik perempuan, kibas press, Yogyakarta, 2008, hal. 4
[2] Ibid., hal. 83
[3] Tari siwi utami, ‘’pengantar K.H. abdurrahman wahid’’, perempuan politik di parlemen, Gama Media, Yogyakarta, 2001, hal. Vi.
[4]  Ibid, hal. 73
[5]  Ibid. Hal. 67
[6]  Ibid. Hal. 79
[7]  Ibid. Hal.8.
[8] Partini. Bias gender dalam birokrasi edisi kedua. Tiara Wicana,yogkarta. Hal. 17
[9]  Partini, bias gender. hal. 18
[10]  Partini, bias gender. hal. 19
[11] partini, bias gender. hal. 21
[12]  Menurut Theodorson, 1969:, bias gender. hal. 21
[13] Menurut  Anderson, 1985:,bias gender. hal. 22
[14] Partini, bias gender. Hal. 22
[17] Partini. Bias gender dalam birokrasi edisi kedua. Tiara Wicana. Hal. 14
[18]  Menurut Hartmann, 1979: seperti dikutip oleh Walby, 1996:, bias gender. hal. 15
[19] Partini, bias gender. Hal.16
[20] Partini, bias gender. hal. 19
[22] Sugyono, 2008 metode penelitian kualitatif kuantitatif dan R & D. bandung Alfabeta, hal. 22

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar