FILSAFAT ILMU
DALAM PERSPEKTIF QUR’AN
BY : ARDIANSYAH
Pendahuluan
Di
dalam Al Qur’an terdapat kata-kata tentang ilmu dalam
berbagai bentuk (‘ilma, ‘ilmi, ‘ilmu, ‘ilman, ‘ilmihi, ‘ilmuha, ‘ilmuhum)
terulang sebanyak 99 kali, (Ali Audah, 1997: 278-279). Delapan bentuk ilmu tersebut
di atas dalam terjemah Al Qur’an Departemen Agama RI, cetakan Madinah
Munawwarah (1990), diartikan dengan: pengetahuan, ilmu, ilmu pengetahuan,
kepintaran dan keyakinan. Sedangkan kata ‘ilmu itu sendiri
berasal dari bahasa Arab ‘alima = mengetahui, mengerti. Maknanya,
seseorang dianggap mengerti karena sudah mengertahui obyek atau fakta lewat
pendengaran, penglihatan dan hatinya.
Kata ilmu dalam pengertian teknis operasional
ialah kesadaran tentang realitas. Pengertian ini didapat dari makna-makna
ayat yang ada di dalam Al Qur’an. Orang yang memiliki kesadaran tentang
realitas lewat pendengaran, penglihatan dan hati akan berfikir rasional dalam
menggapai kebenaran (QS. 17 : 36).
"Pengetahuan (‘ilm) boleh merupakan suatu persepsi terhadap esensi
segala sesuatu, mahiyat "suatu bentuk persepsi yang bersahaja yang
tidak disertai oleh hukum atau boleh merupakan oppersepsi; yaitu hukum bahwa
sesuatu hal adalah hal itu" (Ibn Khaldun, 2000: 669).
"Ilmu itu harus dinilai dengan konkrit. Hanya kekuatan
intelektual yang menguasai yang konkritlah yang kana memberi kemungkinan
kecerdasan manusia itu melampaui yang konkrit" (Muhammad Iqbal, 1966,
129).
Menyimak dari pandangan Ibn Khaldun dan Iqbal tentang
ilmu, dapat ditarik satu garis lurus bahwa ilmu atau realitas kebenaran akan
hadir secara utuh dalam persepsi individu, walaupun dalam pemahaman bisa
berbeda atas suatu realitas atau obyek. Kehadiran secara utuh dari suatu obyek
terhadap subyek adalah suatu realitas yang tak bisa dielakkan. Inilah yang oleh
Iqbal dikatakan bahwa ilmu itu harus dinilai dengan konkrit, yakni ilmu harus
bisa terukur kebenarannya.
Sumber
Ilmu
Jika ilmu diistilahkan sebagai kesadaran tentang
realitas, maka realitas yang paling utama ketika manusia itu lahir adalah
alam semesta (mikro kosmos dan makro kosmos). Di alam inilah manusia mulai
mendengar, melihat dan merasakan obyek-obyek yang dialaminya berupa suara,
bentuk dan perasaan. Alam ini merupakan satu titik kesadaran awal untuk
mengenal realitas terutama diri sendiri. Setelah manusia mengalami kedewasaan
dan sempurna akalnya, maka ia mulai berpikir tentang metarealitas, yakni
suatu kekuatan supernatural yang ikut bermain dan sibuk mengurus proses-proses
penciptaan dari tiada menjadi ada, dari ada menjadi tiada. Atau dari mati
menjadi hidup, kemudian dari hidup menjadi mati (QS.2: 28).
Kehadiran alam fisika sebagai realitas menjadi jembatan
untuk melihat sesuatu yang bersifat metafisika yakni Yang Ada di balik fisik
dan ciptaan-ciptaan itu. Keragaman alam semesta yang tak terhingga oleh manusia
merupakan kenyataan-kenyataan yang tak bisa ditolak begitu saja tanpa
argumentasi yang logis, yang berangkat dari kesadaran tentang realitas yang
diperoleh dari pendengaran, penglihatan dan hati.
Dengan demikian manusia akan menyadari dengan sendirinya
tentang kehariran alam semesta sebagai realitas fisika dan kehadiran Allah SWT
sebagai realitas metafisika. Alam fisika sebagai realitas terbuka, sedangkan
alam metafisika sebagai realitas tertutup. Alam semesta yakni mikro kosmos dan
makro kosmos hadir sebagai realitas untuk mengukuhkan eksistensi Tuhan sebagai
pemilik mutlak yang tak pernah punah, sedangkan alam semesta itu sendiri bisa
punah sebagai suatu yang nisbi alias tidak kekal.
Alam semesta adalah sumber ilmu yang kedua yang merupakan
ciptaan Allah SWT karena sebelum adanya alam semesta, Allah lebih dahulu ada
yang tidak berpermulaan dan tak berakhir. Sedangkan alam memiliki permulaan dan
masa akhir. Oleh karena itu ilmu dari Allah yang bersifat langsung bersifat
absolut, sedangkan ilmu lewat alam semesta bersifat relatif.
"Menurut Al Qur’an, mempelajari kitab alam akan
mengungkapkan rahasia-rahasianya kepada manusia dan
menampakkan koherensi
(keterpaduan), konsistensi dan aturan di dalamnya. Ini akan memungkinkan
manusia untuk menggunakan ilmunya sebagai perantara untuk menggali
kekayaan-kekayaan dan sumber-sumber yang tersembunyi di dalam alam dan mencapai
kesejahteraan material lewat penemuan-penemuan ilmiahnya (Ghulsyani, 1990:54).
Al Qur’an sebagai kitab "tertutup" yang
merupakan kondifikasi wahyu yang menurut teori-teori keilmuan yang tak
terhingga penafsirannya sampai hari Qiyamat. Sedangkan alam semesta sebagai
kitab "terbuka" yang tak terhingga pula untuk dieksperimen sampai
hari Qiyamat. Dua sumber mata air (pengetahuan, ilmu dan teknologi), yang abadi
dan tak pernah kering dalam konteks kehidupan keduniaan. Al Qur’an sebagai
"kitab tertutup" dan alam semesta sebagai "kitab terbuka"
saling memperkuat kedudukannya masing-masing. Artinya, Al Qur’an memuat
informasi-informasi tentang material dan struktur alam semesta, sedangkan
rahasia-rahasia alam semesta bisa kita cari informasinya lewat Al Qur’an dan
alam semesta itu sendiri, karena Al Qur’an merupakan wahyu Allah dan alam
adalah ciptaan Allah. Dengan demikian, realitas kebenaran bisa ditemukan di
dalam Al Qur’an sekaligus juga bisa ditemukan pada alam semesta karena berasal
dari satu sumber yakni Allah SWT Maha Kreatif alias Pencipta.
Selain alam semesta dan Al Qur’an, masih ada satu sumber
lagi yakni Hadits yang berupa petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW, berdasarkan
pemberitahuan atau aplikasi dari petunjuk wahyu kepada Nabi
SAW terutama pengetahuan dan ilmu tentang tata cara beribadah mahdhah
yang kita lakukan selama ini seperti; shalat, zakat, puasa, dan haji, lebih
banyak kita mendapat model atau contoh langsung dari Rasulullah SAW, yang
secara esensial tidak bisa diubah atau ditukar dengan cara-cara yang lain.
Di dalam kitab As-Sunnah Mashdaran li Al-Ma’rifah wa
Al-Hadharah, dijelaskan bahwa "Sunnah merupakan sumber kedua setelah
Al Qur’an bagi fikih dan hukum Islam. Sunnah juga merupakan sumber bagi da’wah
dan bimbingan bagi seorang muslim, ia juga merupakan sumber ilmu pengetahuan religius
(keagamaan), humaniora (kemanusiaan), dan sosial yang dibutuhkan umat
manusia untuk meluruskan jalan mereka, membetulkan kesalahan mereka ataupun
melengkapi pengetahuan eksperimental mereka" (Yusuf Al Qardhawy,
1997:101).
Rasionalitas Dan Spiritualitas Dalam
Ilmu
Berangkat dari kesadaran tentang realitas atas tangkapan
indra dan hati, yang kemudian diproses oleh akal untuk menentukan sikap mana
yang benar dan mana yang salah terhadap suatu obyek atau relitas. Cara seperti
ini bisa disebut sebagai proses rasionalitas dalam ilmu. Sedangkan proses
rasionalitas itu mampu mengantarkan seseorang untuk memahami metarsional sehingga
muncul suatu kesadaran baru tentang realitas metafisika, yakni apa yang terjadi
di balik obyek rasional yang bersifat fisik itu. Kesadaran ini yang disebut
sebagai transendensi, di dalam firman Allah
(QS. 3: 191), artinya:
(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.
Bagi orang-orang yang beriman, proses rasionalitas dan
spriritualitas dalam ilmu bagaikan keeping mata uang, antara satu sisi dengan
sisi yang lain merupakan satu kesatuan yang bermakna. Bila kesadarannya
menyentuh realitas alam semesta maka biasanya sekaligus kesadarannya menyentuh
alam spiritual dan begitupun sebaliknya.
Hal ini berbeda dengan kalangan yang hanya punya sisi pandangan material
alias sekuler. Mereka hanya melihat dan menyadari keutuhan alam semesta dengan
paradigma materialistik sebagai suatu proses kebetulan yang memang sudah ada cetak
birunya pada alam itu sendiri. Manusia lahir dan kemudian mati adalah
siklus alami dalam mata rantai putaran alam semesta. Atas dasar paradigma
tersebut, memunculkan kesadaran tentang realitas alam sebagai obyek yang harus
dieksploitasi dalam rangka mencapai tujuan-tujuan hedonistis yang sesaat. Alam
menjadi laboratorium sebagai tempat uji coba keilmuan atheistic, di mana
kesadaran tentang Tuhan atau spiritualitas tidak tampak bahkan sengaja tidak
dihadirkan
dalam wacana pengembangan ilmu. Orientasi seperti ini yang oleh Allah
dikatakan dalam Al Qur’an, bukan untuk menambah kesyukuran
dan ketakwaan, melainkan fenomena alam
semesta yang diciptakan-Nya itu menambah sempurnanya kekufuran mereka (QS
17: 94-100)
Filsafat Adalah Energi Dan Ilmu Itu Cahaya
Filsafat adalah pemikiran, sedangkan ilmu adalah
‘kebenaran’. Gampangnya, filsafat ilmu adalah pemikiran tentang kebenaran.
Apakah benar itu benar? Kalau itu benar maka berapa kadar kebenarannya.? Apakah
ukuran-ukuran kebenaran itu? Di mana otoritas kebenaran itu? Dan apakah
kebenaran itu abadi?
Tujuan filsafat dan ilmu yakni sama-sama mencari
kebenaran. Hanya saja filsafat tidak berhenti pada satu garis kebenaran, tetapi
ingin terus mencari kebenaran kedua, ketiga dan seterusnya sampai habis
energinya. Sedangkan ilmu kadang sudah merasa cukup puas dengan satu kebenaran
dan bila ilmu itu disuntik dengan filsafat alias pemikiran maka ia kan bergerak
maju untuk mencari kebenaran yang lain lagi.
Filsafat itu ibarat energi dan ilmu itu umpama mesin listrik. Jika energi
dipasok ke turbin mesin, maka mesin akan bekerja menghasilkan setrum
yang dipakai untuk menyalakan lampu yang memancarkan cahaya.
Filsafat
dan ilmu bahu-membahu mengusung kebenaran, namun kebenaran filsafat dan
kebenaran ilmu masih tetap saja bersifat relatif sebagai proses yang tidak
pernah selesai. Maksudnya, bahwa kebenaran yang didapatkan oleh filsafat
dan ilmu tak pernah selesai dan terus
berproses dan menjadi, yang dalam hukum dialektika (Thesis,
Antithesis, Sinthesis) dan seterusnya sebagai tanda bahwa manusia,
pemikirannya dan ciptaannya bersifat relatif. Sedangkan
kebenaran itu sendiri identik dengan Pencipta kebenaran. Oleh karena
itu, yang Maha Benar hanyalah Allah SWT (QS 34: 48)
Dalm filsafat illuminasi, "Tuhan kosmos ini
adalah Sumber Cahaya, yang dari-Nya wujud diri yang beradiasi memancarkan suatu
cahaya yang menyingkap semua wujud, dan ketika tiada lagi dunia privasi,
non-wujud, dan kegelapan bersanding dengan dosa. Menurut epistimologi illuminasi, pengetahuan
diperoleh ketika tidak ada rintangan antara keduanya. Dan hanya dengan begitu,
subyek mengetahui dapat menangkap esensi obyek" (Ziai, 1998: 13)
Penutup
Dalam
konteks inilah, menurut hemat kami filsafat ilmu itu kiranya perlu dipelajari
atau diajarkan di semua fakultas dan program studi khususnya di lengkungan
UIKA, umumnya, di perguruan-perguruan tinggi, pada semester akhir untuk program
S1 (sarjana). Karena filsafat ilmu bisa menjadi modal dasar untuk seorang
calon sarjana, bagaimana cara ia mengaktualisasikan pemikirannya dalam
menghadapi persoalan-persoalan keilmuan dan kehidupan dari tatanan teoritis
sampai pada tataran aplikatif. Wallahua’lam bishshawab.
Daftar Pustaka
Abdul Azhim, Ali, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif Islam, Penerj.
Khalilullah A.M.H, Rosda, Bandung: 1984
Audah, Ali, Konkordasi Qur’an, Litera antar Nusa, Mizan, Bogor,
Bandung: 1997
Beerling dkk., Pengantar Filsafat Ilmu, alih bahasa Soedjono
Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta: 1986.
Departemen Agama RI., Al Qur’an
dan Terjemahnya, Khadim Al-Haramain Asy-Syarifain, Madinah Munawarah: 1411
H.
Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains
Menurut Al Qur’an, penerj. Agus Efendi, Mizan, Bandung: 1990.
Ha’iri Yazdi, Mehdi, Ilmu
Hudhuri, penerj. Ahsin Mohamad, Mizan, Bandung: 1994.
Iqbal, Muhammad, Membangun
Kembali Pemikiran Agama dalam Islam, terj. Ali Audah dkk, Tintamas,
Jakarta: 1986.
Khaldun, Ibn, Mudaddimah,
Penerj. Ahmadie Thaha, Pustaka Firdaus, Jakarta: 2000.
Kartanegara, Mulyadhi, Pengantar Epistemologi Islam, Mizan, Bandung:
2003.
Marasabessy, Yusra, (Kontributor), Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi,
Mizan, Bandung: 1987.
Qardhawy, Yusuf, As-Sunnah Sumber
IPTEK dan Peradaban, penerj. Setiawan Budi Utomo, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta: 1998.
Syarif, M.M., (Editor), Para Filosof Muslim, Mizan, Bandung: 1989.
Soemargono, Soedjono, Filsafat Pengetahuan, Nur Cahaya, Yogyakarta:
1983.
Ziai, Hossain, Suhrawardi &
Filsafat Illuminasi, Penerj. Afif Muhammad dan Munir, Zaman Wacana Ilmu, Bandung:
1990.
0 komentar:
Posting Komentar