A.
Munculya
Ajaran Animisme dan Dinamisme Pada Masyarakat
Desa Simpasai Kecamatan Lambu
Kabupaten Bima
Eksitensis munculnya ajaran animisme dan
dinamisme adalah kurangnya pengetahuan atau kesadaran yang dimiliki oleh
masyarakat Desa Simpasai dalam hal keyakinan dan keperyaan tentang agama Islam.
Walaupun pada hakekatnya, agama Islam adalah agama yang pertama kali ada dalam
kehidupan manusia. Nabi Adam adalah manusia pertama yang menganut agama Islam.
Tetapi kepercayaan animisme dan dinamisme tidak lain adalah bentuk
penyelewengan ajaran Allah. Namun bagaimanapun juga, penyebaran agama Islam di
nusantara memang tidak bisa dipungkiri bahwa akan adanya kontradiksi antara
ajaran yang agung dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. (R. Rudi, 1994:
24).
Begitu pula dengan masyarakat Desa
Simpasai dari zaman (naka) sampai zaman modern sekarang. Sebelum mereka
mengenal agama Islam sampai mereka memeluk agama Islam secara sempurna mereka
masih percaya pada hal-hal yang gaib ( mistik ). Memang pada dasarnya “ orang
Bima (dou mbojo) asli adalah orang pegunugan (dou doro) atau
disebut juga orang awam, sedangkan orang pesisir adalah pendatang ”.
Pada hal tersebut juga menyatakan bahwa orang Bima ( dou mbojo ) percaya
kepada ncuhi yang berasal dari makamba-makimbi (mistik). Kemudian
percaya dengan adanya ”marafu” yang merupakan simbolis ketuhanan yang
bisa datang melalui batu, pohon, gunung serta kuburan kramat. Sehingga munculah
kepercayaan yang disebut animisme dan dinamisme.
Hal ini juga di kemukakan oleh bapak H.
Murtalib dan H. Firdaus yang menyatakan bahwa:
Munculnya ajaran animisme dan dinamisme
berawal dari ajaran turun temurun dari nenek moyang terdahulu. Menurut
masayarakat Desa Simpasai bahwa ajaran
animisme dan dinamisme adalah kepercayaan yang harus di ikuti oleh setiap
masyarakat. Bagi masyarakat Desa Simpasai menghargai arwah leluhur adalah suatu
kewajiban dan penghormatan bagi setiap orang yang mempercayainya. Menurut
keyakinan mereka, alam beserta isinya diciptakan oleh yang maha kuasa,yang
disebut marafu atau Tuhan.(15 Agustus 2011).
berdasarkan peryataan diatas bahwa yang melatar
belakangi munculnya ajaran animisme dan dinamisme adalah ajaran turun temurun dari nenek moyang
terdahulu yang harus di laksanakan oleh masyarakat Bima pada umumnya dan
khusussnya masyarakat Desa Simpasai.
C. Keberadaa Ajaran Animisme Dan Dinamisme
Serta Bentuk Dan Jenis Yang Masih Berkembang Pada Masyarakat Desa Simpasai
Keberadaan ajaran animisme dan
dinamisme tidak terlepas dari sejarah bangsa Indonesia. Sebagaimana telah di
ketahui bersama bahwa agama hindu dan budha telah hadir lebih awal dalam peradaban
nusantara. Masyarakat telah mengenal kedua agama budha dan hindu dari pada
agama Islam. Namun, sebelumnya ada periode khusus yang berada dengan agama
hindu-budha. Masa itu adalah masa pra-sejarah. Zaman ini disebut sebagai zaman
yang belum mengenal tulisan. Pada saat itu,
masyarakat sekitar hanya menggunakan bahasa insyarat sebagai alat
komunikasi. Di zaman itulah, masyarakat belum mengenal agama. Mereka belum
mengerti tentang baik dan buruk. Mereka juga belum mengerti tentang aturan
hidup karena tidak ada kitab suci dan undang-undang yang menuntun kehidupan
mereka. Tidak ada yang istimewa pada zaman ini kecuali kepercayaan primitif
mereka tentang animisme dan dinamisme. (M. Hilir Ismail 2006: 2-3).
Peryataan diatas senada dengan
pendapat H.Murtalib H. Firdaus yang menyatakan bahwa:
Keberadaan ajaran animisme dan dinamisme pada masyarakat Desa
Simpasai sekarang masih dilaksakan oleh sebagian besar
masyarakat Desa Simpasai, karna pada dasarnya keberadaan ajaran animisme dan
dinamisme dari zaman naka sampai jaman modern sekarang sudah ada dalam
kehidupan masayarakat Bima pada umumnya dan pada khususnya masyarakat Desa
Simpasai, disamping itu pula keberadaan ajaran animisme dan dinamisme sudah
menjadi sesuatu yang melekat dan bahkan sudah melebar luar dalam kehidupan masyarakat Desa Simpasai. (16 Agustus 2011).
Adapun bentuk dan jenis animisme dan dinamisme yang masih berkembang
pada masyarakat Desa Simpsai adalah sebagai berikut dinamisme adalah:
1.
Bentuk animisme dan sebagi berikut :
-
Pisang : Kalo
-
Beras Kuning : Bongi Monca
-
Nasi Warna : Oha Warna
-
Daun Sirih : Nahi
-
Rokok : Rongko
-
Ayam Kampung :
Janga Rasa
-
Pinang : U’a
-
Ayam Bakar : Janga Puru
-
Kue Campuran : pangaha Soji
Berdasarkan uraian diatas bahwa
terdapat beberapa bentuk yang animisme
dan dinamisme yang dipergunakan oleh masyarakat Desa Simpasai dalam melakukan
aktifitasnya di dalam menghormati para leluhur atau “ marafu” yang disebut ( Sesajen).
Pernyataan di atas senada dengan
pendapat HJ. Sa’adiah yang menyatakan bahwa untuk melakukan setiap kali
melakukan suatu permohon terhadap marafu
harus menbawa beberapa makanan yang disukai oleh nenek moyang terdahulu, semua
itu dilakukan agar permintaan mereka dikabulkan. Apabila diantara persaratan
itu tidak dibawa maka permintaannya tidak dikabulkan oleh marafu. (17
Agustus 1011 ).
2.
Ciri-ciri animisme dan dinamisme adalah sebagai
berikut :
-
Kuburan Kramat : Rade karama
-
Batu Besar : Wadu na’e
-
Pohon Asam : Fu’u mange
-
Telaga Nuri : Talaga Nuri
Berdasarkan peryataan diatas bahwa keberadaaan
ajaran animisme dan dinamisme pada masyarakat Desa Simpasai masih dilaksakan
oleh sebagian masyarakat, namun meskipun mereka melakukan pemujaannya mereka
tetap melaksakan ibadah 5 kali sehari semalam.
a)
Keberadaan
animisme
Animisme adalah kepercayaan terhadap
mahluk halus dan roh, keyakinan ini banyak dianut oleh bangsa-bangsa yang belum
bersentuhan dengan agama wahyu. Paham animisme mempercayai bahwa benda yang ada
di bumi ini (seperti laut, gunung, hutan, gua, atau tempat-tempat tertentu),
mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar jiwa tersebut tindak menganggu
manusia, atau bahkan membantu mereka dalam kehidupan ini.
Kepercayaan animisme didapati dari
pengaruh bangsa lain yang menjalin interaksi dengan mereka. Ada yang
menyataklan bahwa kepercayaan ini berasal dari ajaran Taotisme yang lahir di
kawasan Tiogkok. Ada juga yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia sudah mengenal
istilah Dewa, roh jahat dan roh baik, dan kesaktian atau kekuatan luar biasa.
Misalnya, mereka sudah percaya pada kekuatan matahari dan buklan atau disebut
dengan kepercayaan pada Adityachandra.
Tidak hanya itu, masyarakat awal
Indonesia juga sudah mengenal tentang
bagaiamana cara menghormati orang yang sudah mati. Kepercayaan bahwa manusia
yang hidup masih menjalin komukasi dengan para leluhur mereka yang sudah mati.
Untuk itulah, mereka melakukan ritual-ritual tertentu dalam enghormati arwah
para leluhur dan menjauhkan didi dari roh jahat. Matahari dianggap sebagai
dewa, bulan diyakini sebagai dewi, langit dianggap sebagai kerajaan, bumi beserta
isisnya disebut sebagai pekindung atau pengawal manusia.
Jika ditelusuri lebih dalam lagi
kepercayaan semacam ini tidak hanya berkebang diberbagai Negara saja, akan
tetapi di Indonesia khususnya di Kabupaten Bima bertempat di Desa Simpasai
Kecamatan Lambu. Keberadaan animisme dikalangan masyarakat Simpasai masih ada,
kkarna masyarakat masih percaya terhadap kekuatan-kekuatan yag berbau mistik,
dan mereka menganggap bahwa kekuatan yang ada di dunia ini memiliki roh dan
jiwa, dan jiwa tersebut di anggap oleh msyarakat adalah arwah nenek moyang dan
keluarngannya yuang telah tiada. Di samping itu pula mereka mengaggap bahwa
kekuatan arwah tersebut dapat memberikan kesejahteraan terhadap orang yang
mempercayainnya, kalau diantara mereka ada tidak percaya terhadap arwah
leluhur, maka akan berakibat pada dirinya dan kekuarganya dan bahkan terhadap
anak cucunya kelak.
Mempercayai dengan adanya arwah
leluhur adalah kebiasaan masyarakat
Simpasai dari zaman Naka sampai zaman modern sekarang masih dilaksakan oleh
sebagian masyarakat Simpasai kaarna menurut mereka m,enghargai arwah leluhur
suatu kewajiban yuang harus dilaksanakan, sebab pada saat itu mereka sangat
menjunjung tinggi nilai “maja labo dahu”
dalam bahasa Indonesianya adalah “malu dan takut”. Maksud “malu dan takut ini
adalah mereka harus bias bembawa dirinya dengan lingkungan sekitarnya dan bias
membedakan antara hak miliknya dan hak orang lain serta saling menghargai
antara satu dengan yang lainnya. Simbol
ini kemudian diwariskan oleh masyarakat
kepada generasi penerus agar apa yang menjadi tradisi dan kebiasaan maasyarakat
dulu harus di ikuti pula oleh masyarakat sekarang baik kebudayaan maupun
kepercayaan kalau semua itu sudah dilakukan oleh masyarakat maka,
kesejahteraan, dan kedamaian akan selalu, menyertai mereka.
Kepercayaan masyarakat terhadap arwah
nenek moyang sudah mendara daging dalam kehidupan mereka dan kaloborasi antara
agama wahyu dengan kebiasaan masyarakat setara, meskipun mereka sudah memeluk
agama Islam secara sempurna, namun masih banyak dari sekian dari mereka yang
masih banyak yang mempercayai terhadap arwah nenek moyang, mereka menganggap
bahwa arwah leluhur bias dating kapan saja dalam bentuk apa saja. Keberadaan
animisme adalah kepercayaan hasil dari turun temurun yang sampai sekarang sulit
untuk dipisahkan dari masyarakat pribumi sekalipun mereka sudah memeluk agama
Islam.
Dari peryataan di atas menyatan bahwa keberadaan kederadaan animisme
pasa masyarakat Simpasai masih ada, karna mereka masih percaya terhadap roh dan
jwa. Mereka menganggap bahwa roh dan jiwa tersebut adalah arwah nenek moyang,
bagi mereka nenek moyang sosok yang harus di semah dan di puji keberadaannya,
karna bagi yang menjalankannya akan diberikan sesuatu terkait apa yang di minta.
b)
Bentuk
Dan Wujud Animisme
1.
Bentuk Animisme adalah mereka masih percaya
terhadap arwah atau roh, bagi mereka roh itu
bukan hanya menempati mahluk hidup tetapi juga benda-benda mati,
sehingga roh itu terdapat daklam batu-batuan, pohon-pohon besar, tombak, kepala
manusia yang di bumi. Dengan adanya kepercayaan terhadap mahluk dan roh maka
timbullah pemujaan pada roh-roh nenek moyang, yang dipuja biasanya membalas
kebaikan dan ada juga yang dipuja gar roh itu tidak mengaggu, terhindar dari
kemarahan roh/hantu biasanya diadakan penguburan hewan/manusia hidup-hidup atau
diambil kepalanya dan dilempar ke dalam gunung manakala sebuah gunung meletus
mereka beranggapan bahwa jika ada bencana alam
berarti roh-roh alam sedang marah. Selain itu, mereka menyakini bahwa
orang yang telah meninggal dianggap sebagai yang maha tinggi, menentukan nasib
dan mengontrol perbuatan manusia.
Lalu
pemujaan orang semacam ini lalau berkembang menjadi pengembahan roh-roh. Roh
orang meninggal dianggap dan dipercayai mereka sebagai mahluk kuat yang
menentukan, segala kehendak serta kemauan yang harus dilayani. Dan mereka juga
beraggapan bahwa roh tersebut juga dapat merasuk kedalam benda-benda tertentu.
Roh yang masuk ke dalam benda tersebut
akan mengebabkan kesaktian. Maka dari itu masyarakat mengembah kepada roh-roh
tersebut supaya selamat dari bahaya.
2.
Wujud animisme
Adapun wujud dari animisme adalah sebagai berikut :
a.
“Toho ra dore” artinya
“tunduk dan patut” dimana toho r adore ini adalah wujud kepercayaan masyarakat
Simpasai terdahap arwah leluhur dan sebagai wujud persyaratan agar apa yang
menjadi keinginaan mereka bias tercapai dan dijadikan pula sebagai wujud dari
rasa syukur terhadap apa yang mereka peroleh sampai sekarang masih masih
silaksanakan oleh sebagian masyarakat Simpasai, yang menurut pengamat peneliti
bahwa “toho ra dore” ini dilakukan
oleh masyarakat pada saat tertentu, misalnya pada malam senin dan jum’at,
menurut mereka malam jum’at dan malam
senin adalah waktu yang tepat untuk melakukan aktifitasnya dalam menghargai
arwah leluhur selain itu arwah biasa datang menghampiri masayarakat.
Di samping itu pula ”toho r
adore” bagi masyarakat Simpasai adalah
suatu kewajiban yang akan selalu dilaksanakan dan percayai oleh orang
yang mempercayainya, sebab kalau masyarakat tidak melaksanakannya maka celaka
bagi orang tersebut karna arwah nenek akan mengamuk dan marah, selain itu agar
apa yang mmenjadi keinginan bisa tercapai, dan diberikan kemudahan dalam
menghadapi persoalan hidup.
b.
“ doho ra dana” diartikan pula sebagai “duduk bersama-sama”
doho ra dana ini adalah wujud keppercayaan masyarakat terhadap arwah leluhur,
masyaraakat pada saat tertentu mereka mempunyai tujuan serta keiginan disaat
mereka melakukan “doho ra dana” ini,
dimana ketika mereka mengalami gagal panen atau terkena musibah, maka jalan
yang paling utama yang dilakukan oleh mereka adalam melakukan “toho r a dore” ini, bagi mereka “toho ra dore” ini adalah wujud
permintaan maaf mereka terhadap arwah nenek moyang, supaya kegagalan panen yang
mereka alami diakibatkan karna kemarau pajang, itu semua bisa berawal dari
kemurkaan nenek moyang bisa berakhir. Dan musibah yang dialami pula oleh orang
kampung yang mengalami sakit-sakitan dalam satu keluarga bisa sembuh dan normal
kembali.
Maka
dari itu masayarakat Simpasai melakukan “toho
ra dore” ini pada saat tertentu, agar apa yang menjadi tujuaan mereka bisa
terpenuhi dan tercapai serta arwah tidak marah, selain itu juga mereka
melakukan “toho r adore “ karna
bentuk rasa perduli masyarakat terhadap nilai “maja labo dahu” simbol inilah
yang kemudian dijadikan tolak ukur masyaratat dalam menjalankan kepercayaannya
terhadap arwah leluhur.
c)
Bentuk
Ritual Animisme
Benntuk ritual animisme pada mayarakat Simpasai adalah mereaka masih
mempertahankan beberapa macam upacara atau ritual yang masih mmurni berkaitan
dengan animisme atau telah mengalami perbauran dengan Islam. Salah satu
contohnya adalah upacara kelahiran dan kematian dengann ritual-ritual berbeda.
Tapi yang paling menonjol pada
masyarakat Simpasai adalah pada saat “wanita hamil” dalam bahasa Bimanya “na’e loko”, dalam kalagan masyarakat
Simpasai, keberadaan wanita hamil teryata akan menimbulkan datang nya roh jahat
yang akan menganggu ibu hamil ini, oleh karena itu masyarakat Simpasai
mempunyai cara tersediri untuk mengusir para roh-roh jahat itu dengan
mengunakan kalung yang terbuat dari ayat-ayat suci serta sudah dibacakannya
matra-matra, maka dengan kalung ini roh jahat itu tidak menganggu ibu hamil
tadi.
Selain itu ketika kehamilan perempuan ini mencapai 7 bulan maka di adalakanlah
upacara yang sering disebut oleh mereka adalah “kiri loko” yang artinya “memperbaiki bentuk perut” cara yang
mereka lakukan terhadap iu hamil ini adalah, memakaikan kain putih tampa ada
alasnya di tubuh ibu hamil tadi, disiapkannya bunga tujuh rupa di dalam ember
dan disiramlah ibu hamil tersebut. mereka melakukan ritual “kiri loko”ini agar mereka bisa tau anak pempuan atau laki-laki
yang akan keluar nanti selain itu agar mendidik si bayi supaya kelak dia tidak
akan menjadi anak yang bandel dan terhidar dari perbuatan tercela serta tunduk dan patuh terhadap orang
tua keluarga dan sahabatnya dan agar bentuk fisiknya sempurna, dan setelah bayi
itu lahir maka ari-ari harus di kuburkan di dalam lingkungan rumahnya, supaya bayi itu tidak
rewel, bandel dan selalu sabar serta patuh terhadap ibu/bapaknya.
Tentang ritual kematian, kematian dalam adat masyarakat Simpasai sampai
sekarang masih dilaksanakan seperti, apabila ada kematian dalam sebuah
keluarga, maka semua kain-kain yang menyelimuti mayat tadi disimpan pada suatu
tempat. Kain-kain ini disebut pula “kani
ra lombo” adalah sisa baju yang dipakai oleh almarhum/almarhuma, biasanya
disimpan di atas tempat tidur untuk selama empat ppulu hari. Setelah selsai
upacara penguburan selsai dilaksanakan, mulai malam pertama sampai malam ketiga
diadakan “tahali” atau (tahlil).
Bentuk dari ritual orang yang melahirkan tadi bermaksud agar anak itu
kelak dia remaja sampai dia dewasa selalu patuh dan tunduk terhadap orang tua
dan orang lain serta dia tidak berbuat maksiat dan selalu mengikuti tradisi
dengan ajaran yang sudah ditetapakan sejak dia lahir. Dan tentang kematian agar
awah si mayit tersebut tenang, serta
mendapatkan tempat yang mulia disisi sang khaliq. Dan apabila sisa bajunya
tidak disimpan di atas tempat tidur, maka arwah si mayit itu akan datang
menghantui semua keluarganya.
0 komentar:
Posting Komentar