Masyarakat Bima
yang sekarang kita kenal merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan
budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air.
oleh : Ardiansyah, S.Pd
oleh : Ardiansyah, S.Pd
Akan tetapi
pembentukan masyarakat Bima yang lebih dominan adalah berasal dari imigrasi
yang dilakukan oleh etnis di sekitar Bima. Karena beragamnya etnis dan budaya
yang masuk di Bima, maka tak heran agama pun cukup beragam meskipun 90% lebih
masyarakat Bima sekarang beragama Islam. Untuk itu, dalam pembahasan berikut
akan kita lihat bagaimana keragaman masyarakat Bima tersebut, baik dilihat dari
imigrasi secara etnis/budaya maupun secara agama/kepercayaan.
Variasi
Masyarakat Bima Berdasarkan Etnis/Budaya Orang Donggo Orang Donggo dikenal
sebagai penduduk asli yang telah menghuni tanah Bima sejak lama. Mereka
sebagian besar menempati wilayah pegunungan. Karena letaknya yang secara
geografis di atas ketinggian rata-rata tanah Bima, Dou Donggo (sebutan bagi
Orang Donggo dalam bahasa Bima), kehidupan mereka sangat jauh berbeda dengan
kehidupan yang dijalani masyarakat Bima saat ini. Masyarakat Donggo mendiami
sebagian besar wilayah Kecamatan Donggo sekarang, yang dikenal dengan nama Dou
Donggo Di, sebagian lagi mendiami Kecamatan Wawo Tengah (Wawo pegunungan)
seperti Teta, Tarlawi, Kuta, Sambori dan Kalodu Dou Donggo Ele. Pada awalnya,
sebenarnya penduduk asli ini tidak semuanya mendiami wilayah pegunungan.
Salah satu
alasan mengapa mereka umumnya mendiami wilayah pegunungan adalah karena
terdesak oleh pendatang-pendatang baru yang menyebarkan budaya dan agama yang
baru pula, seperti agama Islam, Kristen dan bahkan Hindu/Budha. Hal ini
dilakukan mengingat masih kuatnya kepercayaan dan pengabdian mereka pada adat
dan budaya asli yang mereka anut jauh-jauh hari sebelum para pendatang tersebut
datang.
Kepercayaan
asli nenek moyang mereka adalah kepercayaan terhadap Marafu (animisme).
Kepercayaan terhadap Marafu inilah yang telah mempengaruhi segala pola
kehidupan masyarakat, sehingga sangat sukar untuk ditinggalkan meskipun pada
akhirnya seiring dengan makin gencarnya para penyiar agama Islam dan masuknya
para misionaris Kristen menyebabkan mereka menerima agama-agama yang mereka
anggap baru tersebut.
Sebagaimana
umumnya mata pencaharian masyarakat yang masih tergolong tradisional, mata
pencaharian Dou Donggo pun terpaku pada berladang dan bertani. Sebelum mengenal
cara bercocok tanam, mereka biasanya melakukan perladangan berpindah-pindah,
dan karena itu tempat tinggal mereka pun selalu berpindah-pindah pula
(nomaden). Berhadapan dengan kian gencarnya arus modernisasi, seiring itu pula
pemahaman masyarakat akan kenyataan hidup berubah, terutama dalam hal
pendidikan dan teknologi.
Saat ini, telah
sekian banyak para sarjana asli Donggo, yang umumnya menimba ilmu di luar
daerah seperti Ujung Pandang, Mataram atau bahkan ke kota-kota di pulau Jawa
seperti Bandung, Yogyakarta, Jakarta dan lain-lain. Demikian juga halnya dengan
teknologi, yang akhirnya merubah pola hidup mereka seperti halnya dalam
penggarapan sawah, kendaraan sampai alat-alat elektronik rumah tangga, karena
hampir semua daerahnya telah dialiri listrik. Bahkan tak jarang mereka menjadi
para penyiar agama seperti Da’i, karena telah begitu banyaknya mereka naik
haji.
Dou Mbojo
(Orang Bima) Dou Mbojo yang dikenal sekarang awalnya merupakan para pendatang
yang berasal dari daerah-daerah sekitarnya seperti Makassar, Bugis, dengan
mendiami daerah-daerah pesisir Bima. Mereka umumnya berbaur dengan masyarakat
asli dan bahkan menikahi wanita-wanitanya. Para pendatang ini dating pada
sekitar abad XIV, baik yang datang karena faktor ekonomi seperti berdagang
maupun untuk menyiarkan agama sebagai mubaliqh.
Mata
pencaharian mereka cukup berfariasi seperti halnya bertani, berdagang,
nelayan/pelaut dan sebagian lagi sebagai pejabat dan pegawai pemerintah. Karena
pada awalanya mereka adalah pendatang, pada beberapa generasi kemudian banyak
juga yang merantau ke luar daerah untuk berbagai keperluan dan profesi seperti
sebagai pegawai daerah, sekolah/kuliah, menjadi polisi/tentara, pedagang dan
lain-lain. Umumnya mereka memiliki sifat ulet, mudah menyesuaikan diri dengan
orang lain dan bahkan kasar.
Hingga kini,
beberapa daerah di Bima mewarisi sifat-sifat kasar ini seperti beberapa daerah
(desa) di Kecamatan Sape, Wera dan Belo. Orang Arab dan Melayu Orang Melayu
umumnya berasal dari Minangkabau dan daerah-daerah lain di Sumatera, baik
sebagai pedagang maupun sebagai mubaliqh. Jumlah mereka termasuk minoritas,
yang pada awalnya menempati daerah Bima pesisir Teluk Bima, Kampung Melayu dan
Benteng. Terdorong oleh arus mobilitas penduduk yang cukup cepat, sekarang
sebagian besar mereka telah membaur ke wilayah-wilayah pedalaman bersama
masyarakat Bima lainnya.
Orang Arab pun
datang ke Bima sebagai pedagang dan mubaliqh. Awal kedatangan orang Arab
umumnya sangat tertekan karena harus berhadapan dengan masyarakat Bima yang
sudah cukup variatif. Mereka dianggap sebagai pendatang dari Arab, sebagai
turunan Nabi. Akan tetapi, sekarang mereka telah diterima secara umum dan
wajar, serta telah berbaur dengan masyarakat. Bahkan seiring dengan kuatnya
pengaruh Islam melalui Hadirnya Kesultanan Bima, termasuk orang Melayu, sering
dianggap istimewa karena biasanya pada masa Kesultanan Bima mereka diangkat
sebagai Da’I dan pejabat hadat di seluruh pelosok tanah Bima.
Pendatang Lainnya
Para pendatang ini datang dengan latar belakang yang beragam, dengan menduduki
berbagai profesi baik sebagai pejabat pemerintah, polisi/tentara,
pedagang/pengusaha. Mereka datang dari Jawa, Madura, Ambon, Flores,
Timor-Timur, Banjar, Bugis, Bali, Lombok yang kemudian membaur dan menikah
dengan masyarakat Bima asli maupun dengan para pendatang lain. Orang Cina tak
ketinggalan memiliki peran di Bima, yang umumnya berprofesi sebagai pedagang.
Dari segi jumlah, orang Cina memang tergolong kecil namun karena mereka sangat
gigih dan ulet, peran mereka dalam perekonomian Bima sangat signifikan.
Variasi
Masyarakat Bima Berdasarkan Agama Kepercayaan Makakamba - Makakimbi Kepercayaan
ini merupakan kepercayaan asli penduduk Dou Mbojo. Sebagai media penghubung manusia
dengan alam lain dalam kepercayaan ini, diangkatlah seorang pemimpin yang
dikenal dengan nama Ncuhi Ro Naka. Mereka percaya bahwa ada kekuatan yang
mengatur segala kehidupan di alam ini, yang kemudian mereka sebut sebagai
“Marafu”. Sebagai penguasa alam, Marafu dipercaya menguasai dan menduduki semua
tempat seperti gunung, pohon rindang, batu besar, mata air,
tempat-tempat-tempat dan barang-barang yang dianggap gaib atau bahkan matahari.
Karena itu, mereka sering meminta manfaat terhadap benda-benda atau
tempat-tempat tersebut.
Selain itu,
mereka juga percaya bahwa arwah para leluhur yang telah meninggal terutama
arwah orang-orang yang mereka hormati selama hidup seperti Ncuhi, masih
memiliki peran dan menguasai kehidupan dan keseharian mereka. Mereka percaya,
arwah-arwah tersebut tinggal bersama Marafu di tempat-tempat tertentu yang
dianggap gaib.
Masyarakat asli
juga memiliki tradisi melalui ritual untuk menghormati arwah leluhur, dengan
mengadakan upacara pemujaan pada saat-saat tertentu. Upacara tersebut disertai
persembahan sesajen dan korban hewan ternak yang dipimpin oleh Ncuhi.
Tempat-tempat pemujaan tersebut biasa dikenal dengan nama “Parafu Ra Pamboro”.
Agama Hindu Sampai saat ini belum ada ilmuwan/sejarawan yang mengetahui secara
pasti kapan agama Hindu memasuki tanah Bima. Dari sekian petunjuk peninggalan
sejarah yang berupa prasasti maupun berbentuk monumen seperti prasasti Wadu
Pa’a yang dipahat Sang Bima saat mengembara ke arah timur pada sekitar
pertengahan abad VIII, bekas candi di Ncandi Monggo, prasasti Wadu Tunti di
Rasabou Donggo, kuburan kuno Padende dan Sanggu di Pulau Sangiang, tidak
meninggalkan informasi yang jelas tentang masuknya agama Hindu.
Pengaruh agama
Hindu dari Bali dan Lombok yang cukup besar tidak mampu menembus wilayah Bima,
dan hanya bertahan di wilayah Dompu dan sebagian daerah Bolo. Agama Kristen
Secara umum, Dou Mbojo tidak senang dengan kedatangan agama ini. Agama Kristen
dianggap sebagai agama orang luar yang sangat berbeda dengan kenyataan hidup
dan budaya mereka.
Meskipun agama
Kristen kurang mendapat angin segar dari Dou Mbojo, namun agama ini berhasil
menyebar dan dianut oleh masyarakat pendatang lainnya seperti pendatang dari
Timur, anggota polisi/tentara, serta pendatang dari Jawa dan Manado, yang
awalnya mendiami daerah-daerah pesisir Bima dan kemudian sebagian kecil lagi
memasuki daerah-daerah pedalaman. Akhir-akhir ini, tampaknya kegagalan sejarah
tersebutlah yang kemudian memotivasi kembali kaum misionaris untuk melancarkan
misinya ke daerah-daerah pelosok dan kepada masyarakat yang mendiami wilayah
pegunungan dan tergolong terbelakang, melalui apa yang dikenal dengan program
“Plan”.
Namun,
lagi-lagi misi ini bukan tak ada hambatan, karena kemudian Majelis Ulama
Indonesia NTB melarang keberadaan mereka dengan segala aktivitasnya. Agama
Islam Ada dua alasan utama kenapa agama Islam dapat lebih mudah diterima di
Bima. Pertama, jauh-jauh waktu sebelum diberlakukannya secara resmi sebagai
agama kerajaan, masyarakat Bima sudah lebih dulu mengenal agama Islam melalui
para penyiar agama dari tanah Jawa, Melayu bahkan dari para pedagang Gujarat
dari India dan Arab di Sape pada tahun 1609 M, yang awalnya dianut oleh
masyarakat pesisir. Kedua, tentu saja peran yang penting adalah peralihan dari
masa kerajaan kepada masa kesultanan yang kemudian secara resmi menjadikan
agama Islam sebagai agama yang umum dianut oleh masyarakat Bima.
Letak Bima yang
strategis sangat mendukung sebagai jalur perdagangan antar daerah bahkan
sebagai jalur transportasi perdagangan laut internasional, yang didukung dengan
keberadaan Pelabuhan Sape. Sebagai sultan pertama, diangkatlah Sultan Abdul
Kahir pada tanggal 5 Juli 1620 M. Kehadiran sultan pertama ini memiliki
pengaruh yang besar dan luas sehingga penyebaran agama Islam begitu cepat di
seluruh pelosok tanah Bima, kecuali di daerah-daerah tertentu seperti di Donggo
yang masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang. Selain Donggo, Wawo juga
termasuk sebagian daerahnya masih bertahan pada kepercayaan nenek
moyang. Akan tetapi pada beberapa generasi berikutnya mereka mulai
menerima Islam, karena makin sulitnya arus komunikasi terbatas internal yang
mereka lakukan sesamanya serta makin meluasnya arus komunikasi masyarakat yang
beragama Islam.
Sekarang,
bahkan di daerah-daerah yang dulu memegang kuat adat nenek moyang, hampir tidak
dapat dibedakan antara Islam dengan budaya setempat. Dalam kehidupan yang
demikian Islami tersebut, muncul satu ikrar setia pada Islam dalam bentuk ikrar
yang berbunyi “Mori ro made na Dou Mbojo ede kai hukum Islam-ku” yang berarti
“Hidup dan matinya orang Bima harus dengan hukum Islam”. Untuk menguatkan ikrar
ini, bahkan sejak masa kesultanan telah dibentuk sebuah majelis yang dikenal
dengan Hadat Tanah Bima, yang bertugas dan bertanggung jawab selain sebagai sarana
penyiaran dan penyebaran Islam juga sebagai penentu segala kebijakan kesultanan
yang berdasarkan Islam dan kitabnya. Penyebaran yang demikian pesat ini juga
diiringi dengan berkembangnya berbagai pusat pendidikan dan pengajaran Islam,
serta masjid-masjid selalu menghiasi di setiap desa dan kampung tanah
Bima.
Pusat-pusat
pengajaran Islam tidak hanya berkembang melalui pesantren, bahkan berkembang
dari rumah ke rumah, terbukti dengan menjamurnya tempat pengajian di
rumah-rumah yang menggema dan melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran di setiap
sore dan malam hari. Pada masa kesultanan juga diperlakukan aturan yang
bersendikan hukum Islam dengan mendirikan Badan Hukum Syara atau Mahkamah
Tussara’iyah, yang mengirim pemuda-pemuda Bima untuk belajar memperdalam kaidah
dan pengetahuan Islam ke Mekkah, Mesir, Istamul dan Bagdad serta negara-negara
Arab lainnya. Bahkan telah diusahakan tanah wakaf di Mekkah untuk menjamu
jamaah calon haji Dou Mbojo yang selalu membanjir setiap tahunnya untuk
menunaikan ibadah haji. Demikian dua model variasi masyarakat Bima yang kita
lihat dan kenal sekarang. Meski demikian, pada perkembangan-perkembangan
terakhir sebagaimana kenyataan yang dihadapi masyarakat Indonesia umumnya
dengan semakin cepatnya arus modernisasi, kenyataan tersebut secara perlahan
mengalami perubahan.
Berbagai
perubahan tersebut semakin memberi warna, baik putih maupun hitam, dalam
beragam kehidupan dan keseharian masyarakat Bima. Sebagai penutup, yang kita
harapkan bersama semoga masyarakat Bima tetap memegang teguh pada nilai-nilai
kearifan yang sudah tertanam sejak nenek moyang mereka, dan benar-benar
menghayati serta mengamalkan petuah “Maja Labo Dahu, Nggahi Rawi Pahu” dan
petuah-petuah lainnya kapan dan di manapun mereka berada.
0 komentar:
Posting Komentar