Jumat, 30 Mei 2014

Gunung Sangiang Kembali Beraktivitas


Tempo.com-Gunung Sangiang diSangiang Pulo, Kecamatan Wera, KabupatenBima, Nusa Tenggara Barat, meletus padapukul 15.55 Wita. Ketinggian asap mencapai 3.000 meter. Angin membawa asap ke arah barat hingga ke Kota Bima yang berjarak sekitar 70 kilometer. Kepala Badan Geologi Surono sewaktu dimintai konfirmasi oleh Tempo di Mataram menjelaskan, status Gunung Sangiang waspada. “Masyarakat tidak boleh berada dalam radius 1,5 kilometer,” kata Surono melalui telepon, Jumat sore, 30 Mei 2014.Saat berada di Gunung Ncai, sekitar 24kilometer dari Gunung Sangiang, Tempo merasakan udara menjadi panas. Karena itu, penduduk di sekitar Kecamatan Wera telah mengungsi ke Kota Bima menggunakan kendaraan bermotor untuk menghindari awan panas. Tanda-tanda akan meletusnya Gunung Sangiang diketahui sejak pagi. Pagi tadi terjadi gempa. Lalu gunung itu mengeluarkan asap. “Tinggi sekali asapnya dan udara menjadi gelap. Kata warga sekitar, asapnya terasa agak pedas dimata,” ujar salah seorang staf Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bima, Wahab Usman. Sangiang Pulo dihuni sekitar 42 kepala keluarga yang berprofesi sebagai petani. Sebagian warga yang yakin akan terjadi letusan sudah meninggalkan Sangiang Pulo menggunakan perahu motor. Kini aparat kepolisian dan TNI sedang berupaya melakukan penyelamatan warga.

Aktifitas Masyarakat di dalam Kawasan Hutan



Menurut Arkanudin (2001:40), bahwa dalam setiap aktivitas berladang pada orang Bima selalu didahului dengan mencari tanah. Dalam mencari tanah yang akan dijadikan sebagai lokasi ladang mereka tidak bertindak secara serampangan. Ukur (1994:13), menjelaskan bahwa orang Bima pada dasarnya tidak pernah berani merusak hutan secara intensional. Hutan, bumi, sungai, dan seluruh lingkungannya adalah bagian dari hidup.
Beberapa Aktifitas Masyarakat di dalam Kawasan Hutan. Menurut para Ahli sebagai berikut :
1.    Peladang
            Agus,  (2012) bahwa, berladang merupakan kegiatan bercocok tanam oleh sekelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini sangat erat kaitanya dengan tradisi budaya. Perladangan bergilir atau biasa di kenal perladangan berpindah adalah istilah lain yang menggabarkan masa tanam yang langsung secara bergiliran. Sistem tebas dan bakar,mengacu pada konsep ladang bergilir,yang dalam proses penyiapan lahan di awali dengan cara tebas dan bakar.
2.    Perambahan Hutan
Perambahan hutan terjadi karena dua faktor, yang pertama kebutuhan ekonomi yang mengharuskan pembuka lahan baru dan meramba hutan secara besar-besaran untuk menambah lahan yang sudah ada, sehingga untuk mendapatkan kebutuhan perekonomian dalam rumah tangga tersebut. yang kedua karena itu sudah menjadi tradisi dalam masyarakat disekitar hutan dan menyebabkan mereka membuka lahan baru. (Simon,1993)
3.    Pengolahan Hutan
Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang besar peranannya dalam berbagai aspek kehidupan baik aspek ekonomi, sosial, pembangunan dan lingkungan. Hutan dan ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional dengan keaneka ragaman flora dan fauna yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Kawasan hutan alam mengalami penurunan yang cukup signifkan, hal ini seiring juga terjadinya penurunan dari segi kualitas hutan sebagai fungsinya (Mubyarto, 1992).
4.    Pemukiman didalam Kawasan Hutan
Salim (1997), menjelaskan hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan bangsa dan Negara. Hal ini disebabkan hutan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yaitu:
a.  Manfaat langsung
Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat di rasakan dan dinikmati oleh masyarakat secara langsung yaitu masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan hasil hutan, antara lain kayu mempunyai hasil hutan, serta berbagai hasil hutan ikutan, seperti rotan,buah-buahan, madu dan lain-lain.
b.  Manfaat tidak langsung
Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang tidak langsung dirasan oleh masyarakat, tetapi yang dirasakan keberaaan hutan itu sendiri.
5.    Penebangan liar.
          Terkesan pengelolaan itu terintergrasi, ternyata tidak industri tumbuh pesat, sementara hutan terdegradasi, permintaan kayu yang semakin tinggi tidak diimbangin dengan kemampuan regenerasi hutan,sehingga terjadinya penerbangan liar. (Arsyad, 1977).

Rabu, 21 Mei 2014

Beberapa Budaya Bima yang Mengalami Degradasi Akibat Globalisasi Budaya

  1. Budaya Santabe (Sopan Santun)    Budaya “santabe” dalam bahasa kita (Bima-Dompu) menjadi sesuatu yang mengentalkan budaya sopan santun kita. Namun semakin hari seiring dengan perkembangan zaman, tekhnologi yang semakin berkembang nilai-nilai itu hilang seketika dan merambah pada tingkat kriminal yang akut. Pada saat norma yang mulai terkikis dan mode menjadi pilihan utama budaya baca yang awalnya sudah asing menjadi sangat asing dan kemudian kabur tidak jelas.
  2. Budaya Rimpu Mpida (Menutup Aurat) Rimpu menjadi cerminan masyarakat Bima yang menjunjung tinggi nilai keislaman, selain itu juga buat melindungi diri ketika beraktivitas di luar rumah.
Rimpu, ada 2 model.
a.      Rimpu mpida,, khusus buat gadis Bima atau yg belum berkeluarga. Model ini jg sering disebut cadar ala Bima,, Dalam kebudayaan masyarakat Bima, wanita yg belum menikah tidak boleh memperlihatkan wajahnya, tapi bukan berarti gerak-geraknya dibatasi.
b.      Rimpu colo,, ini rimpu buat ibu2. Mukanya sudah boleh kelihatan. Di pasar2 tradisional, masih bisa ditemukan ibu2 yang memakai rimpu dengan sarung khas dari bima (tembe nggoli)
3.      Budaya Kacoi Angi (Saling Menghargai) Seperti yang sudah kita pelajari, masyarakat Indonesia sangat beragam. Ada banyak suku, bangsa, bahasa, adat istiadat, dan kesenian di Indonesia.  Budaya menghargai menjadi sikap langka dan mahal untuk dilakukan di negeri ini. Lemahnya budaya menghargai tidak terlepas dari miskinnya pendidikan karakter yang tertanam pada masyarakat kita. Terutama karakter yang ditanamkan oleh orang tua kepada anak-anaknya semenjak dini.

“Tidak menghargai” sudah menjadi budaya ketidaksadaran kita, budaya yang muncul karena perbedaan kasta, suku, bangsa dan agama. Krisis menghargai terjadi karena kita dibutakan oleh ego, pengalaman, pangkat dan jabatan kita sehingga menganggap remeh orang lain yang pengalaman, posisi atau pendidikannya di bawah kita. Yang tua tidak menghargai pendapat yang muda, sehingga dipandang sebelah mata, begitupula yang mempunyai gelar serjana menganggap rendah yang tidak bergelar dan yang bergelar pun ingin dihargai karena gelarnya yang di anggap sakral dan keramat.

Tahukah Anda bahwa orang lain akan lebih menghargai orang yang menghargai mereka? Nah, sebelum kita menuntut orang lain menghargai kita, kita perlu terlebih dahulu menghargai mereka. Kuncinya hanya satu: buat orang lain merasa penting dan berharga. Lalu bagaimana cara agar kita dapat menghargai orang lain? Caranya adalah sebagai berikut :
a.      Kenali Orang-orang Sekitar
b.      Fokus pada Kelebihan
c.        Bangun Hubungan Saling Percaya
4.      Budaya Bantu Lenga Ro Iwa (Saling Membantu Sesama) Adalah menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk menunaikan hak-hak saudaranya berdasar Hadis Shahihain, dari riwayat Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau Bersabda, “Hak seorang Muslim terhadap Muslim lainnya ada lima perkara yaitu; menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantarkan jenazah, mendatangi undangan, dan mengucapkan tasymit bagi yang bersin.”

Selasa, 20 Mei 2014

Partisipasi Masyarakat dalam Mengelola Hutan Produksi



riaucitizen.com
Luas hutan Indonesia pada tahun 1990 mencapai 116.567.000 ha, kemudian pada tahun 2000 berkurang menjadi 97.852.000 ha dan tinggal  88.496.000 ha pada tahun 2005. Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), laju kerusakan hutan di Indonesia tahun 2002-2005 merupakan yang terbesar dan terparah di dunia. Setiap tahun, menurut FAO, rata-rata 1,871 juta ha hutan Indonesia hancur atau 2 persen dari luas hutan yang tersisa pada tahun 2005, yakni 88,495 juta ha. Sedangkan menurut World Reseach Institute (sebuah lembaga think-tank di Amerika Serikat), dari tutupan hutan Indonesia seluas 130 juta ha, 72 persen hutan asli Indonesia telah hilang. Berarti hutan Indonesia tinggal 28 persen. Data Departemen Kehutanan RI tahun 2000 sendiri mengungkapan 30 juta ha hutan di Indonesia telah rusak parah. Itu berarti 25 persen rusak parah. Sementara menurut data Bank Dunia, setidaknya setiap tahun 2,5 juta ha hutan Indonesia amblas dan jika dibiarkan hingga 2010 hutan tropis Indonesia akan musnah. Kantasapoetra (2008) mencatat bahwa dalam satu jam luas hutan Indonesia yang hancur setara dengan 300 lapangan sepakbola, dengan 1.8 juta ha hutan dihancurkan per tahun antara tahun 2000 hingga 2005. ini berarti tingkat kehancuran hutan sebesar 2% setiap tahunnya atau 51 km2 per hari (Mubyarto, 1992)
Faktor pendorong yang mempercepat kerusakan hutan di Indonesia yaitu, Pertama, pengusahaan hutan dilakukan secara tidak berkelanjutan (unsustainable)Kedua, perbedaan jangka waktu penggunaan konsepsi dan daur penerbangan. Ketiga, inefisiensi yang terdapat mulai dari penebangan sampai pemakaian. Keempat, cara penebangan yang dipakai menimbulkan bukaan besar. Kelima, jumlah jenis pohon kayu yang disukai pasaran hanya sebagian dari jumlah jenis kayu komersial yang telah diketahui. Keenam, efek penggandaan (multiplier effect) yang terjadi akibat hutan yang sebelumnya tidak pernah dijamah menjadi daerah yang mudah ditembus (Arkanudin, 2001)
Menghindari semakin meluasnya kerusakan hutan di Indonesia perlu segera dilakukan upaya pelestarian hutan, diantaranya dengan meningkatkan partisipasi seluruh lapisan masyarakat terkait terutama masyarakat sekitar hutan. Hal ini dimaksudkan agar di satu pihak mereka dapat membangun kehidupan yang lebih baik, tetapi di pihak lain dapat melestarikan dan menggunakan sumber daya alam berupa hutan secara berkelanjutan. Hasil konggres kehutanan Dunia VIII 1978 dengan tema Forest for people menghasilkan sebuah bingkai paradigma Social Forestry, yaitu konsep hutan untuk rakyat sehingga orientasi pembangunan kehutanan tidak lagi dititik beratkan pada penerimaan yang sebesar-besarnya bagi negara, melainkan juga sebagai sumber pendapatan masyarakat melalui perannya baik secara individu maupun dalam bentuk koperasi (Arsyad,1997)
Menurut UU RI No. 4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan Lingkungan Hidup pada bab III mengenai hak, kewajiban, dan wewenang bahwa setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, memelihara lingkungan hidup, mencegah kerusakan dan pencemarannya, dan berpartisipasi dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup (Departemen  Kehutanan, 1999)
Partisipasi akan terlaksana jika orang diikutsertakan dalam perencanaan serta pelaksanaan dari segala sesuatu yang berpusat kepada kepentingannya dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangannya atau tingkat kewajibannya. Menurut Michael (1988) partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional seseorang dalam suatu kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada tujuan kelompok dan berbagai tanggung jawab dalam pencapaian tujuan itu. Dengan demikian, partisipasi memiliki tiga unsur penting, yakni:
1.    Keterlibatan, yaitu keterlibatan mental, perasaan, dan fisik,
2.    Kontribusi, yaitu kesediaan untuk memberi sumbangan kepada usaha yang akan dilakukan guna mencapai tujuan kelompok,
3.    Tanggung jawab. 
Alasan penting melibatkan masyarakat dalam pengelolaan kelestarian hutan; pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Kedua, masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program jika mereka dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaan dan ketiga,mendorong partisipasi umum, karena anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri.
Partisipasi masyarakat dalam memelihara dan mengelola kelestarian hutan dapat dilakukan dengan melibatkan mereka dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pemeliharaan, serta pengembangan kelestarian hutan (Agus, 2012) yaitu :
1.    Perencanaan
Perencanaan adalah suatu kegiatan yang merupakan proses menetapkan tujuan, menetapkan alternatif-alternatif yang akan dikerjakan dan bagaimana melakukan kegiatan itu. Perencanaan pengelolaan hutan sebagai suatu proses mencapai tujuan kelestarian hutan dan usaha kehutanan tentu harus dilandasi oleh dasar-dasar yang kuat dan akurat antara lain pembagian fungsi hutan atau TGHK dan RTRWP serta data potensi yang detail dari kawasan hutan. Bentuk partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pengelolaan kelestarian hutan diantaranya: memberikan masukan, mengidentifikasi masalah, perumusan rencana-rencana, memberikan informasi, pengajuan keberatan terhadap rancangan, kerjasama dalam penelitian dan pengembangan juga bantuan tenaga ahli sehingga partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan dapat membantu pemikiran dan memberikan pertimbangan dalam bentuk teknis dan pengelolaan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian hutan.
Menurut PP No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan diharapkan mampu menjadi landasan dasar dan tolak ukur partisipasi masyarakat dalam perencanaan pengelolaan hutan di Indonesia. Dinamika persoalan kehutanan di lapangan yang semakin kompleks dan saling berkaitan maka studi tentang Perencanaan Pengelolaan hutan harus semakin digiatkan, tenaga perencanaan di pusat dan daerah harus dibekali IPTEK di bidang perencanaan, sehingga perencanaan tidak hanya bersifat top down(instruktif) melainkan juga bottom up (artikulatif). Kepentingan ekosistem dan sistem produktif seringkali berada pada kondisi trade off sehingga diperlukan kriteria sistem perencanaan yang benar dan tidak sekadar mekanistik. Mashab perencanaan historis by control dan by extrapolation yang bersifat stabil untuk kondisi yang normal dan reaktif sudah harus mulai ditingkatkan dan dilengkapi by anticipation and by contingency dan bahkan by strategic (Arkanudin, 2001)

2.    Pelaksanaan 
Pelaksanaan adalah pengimplementasian program-program yang sudah direncanakan. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pelestarian hutan dapat mencakup beberapa kegiatan, diantaranya; pertamaParticipatory Forestry yaitu kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan yang direncanakan oleh ahli kehutanan dengan usaha menggalakkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan.KeduaVillage Forestry yaitu kegiatan pengelolaan hutan dan sumber daya kayu dalam skala kecil yang dilaksanakan oleh masyarakat tanpa dilatih keahlian kehutanan baik hutan Negara maupun pada lahan bersama. Ketiga, Communal or Community Forestry yaitu suatu bentuk dari kehutanan desa dimana kegiatan pengelolaan hutan oleh suatu kelompok (Michael,1988). 
Program perhutanan model Participatory Forestry perlu lebih banyak dikembangkan bagi masyarakat sekitar hutan dengan mengintensifkan pelatihan-pelatihan dari para ahli kehutanan. Menurut Bratamihardja, Participatory Forestry bertujuan: 1). Untuk menghutankan kembali dan merehabilitasi lahan hutan yang rusak. 2). Untuk meningkatkan pendapatan petani miskin yang hidup di sekitar hutan yang rusak tersebut. Bagian terpenting dari pelaksanaan model ini adalah mencapai hubungan "mitra sejajar" antara Perum Perhutanan dengan masyarakat sekitar kawasan hutan (Arkanudin, 2001). 

3.    Pemanfaatan dan pemeliharaan .
Pemanfaatan hutan secara adil, demokratis dan berkelanjutan dituangkan dalam sebuah konsep yang disusun secara yuridis formal dalam bingkai program maupun kebijakan pembangunan kehutanan nasional. Sesuai dengan konsepsinya yang berupaya mewujudkan perubahan melalui pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan secara berkelanjutan. Dengan demikian, terdapat dua unsur sekaligus target utama pembangunan kehutanan. Pertama, hutan lestari yang mencerminkan keberlanjutan peran ekologis sumber daya hutan sebagai salah satu penyangga kehidupan ekosistem planet bumi secara lintas generasi. Kedua, rakyat sejahtera sebagai pengejawantahan optimalisasi manfaat sosial ekonomi sumber daya hutan sebagaimana tercermin dari peningkatan investasi, peningkatan devisa, dan penerimaan Negara serta penyerapan tenaga kerja (Agus, 2012).
Partisipasi masyarakat terhadap pemeliharaan hutan dilakukan dengan melibatkan mereka dalam kegiatan perlindungan dan konservasi. Konsep perlindungan hutan bersifat menjaga hutan dari gangguan, sementara konsep konservasi lebih bersifat pelestarian dan pengawetan alam. Perbedaan tekanan kegiatan meletakkan kegiatan perlindungan terpisah dengan konservasi. Tetapi karena objeknya hampir sama yaitu kawasan hutan, tegakan dan hasil hutan maka dalam setiap pembahasan selalu terkait perlindugan dan konservasi (Kasim, H 1990) 
Menurut, (Arief, 2001). Kurangnya perhatian pemerintah untuk melibatkan langsung masyarakat terhadap perlindungan hutan selama ini dengan lebih menitik beratkan keamanan fisik daripada teknik kehutanan telah mengakibatkan bencana kebakaran beserta implikasinya berupa ekspor asap sehingga Pemerintah Indonesia banyak mendapat kecaman dari Negara-negara tetangga. Aspek konservasi hutan menjadi unsur penting dari pelestarian hutan berkaitan dengan peranannya untuk mengarahkan pengelolaan hutan pada penanggulangan erosi, pengaturan air, pemeliharaan keragaman hayati, kesinambungan siklus karbon dan estetika wisata alam. Secara operasional kegiatan konservasi meliputi upaya melindungi, mengawetkan dan memanfaatkan secara lestari. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah akan sangat kesulitan melaksanakan kegiatan konservasi hutan tanpa adanya partisipasi langsung dari masyarakat khususnya masyarakat sekitar hutan. Namun demikian, dalam Lokakarya Paradigma Baru Manajemen Konservasi di Jogjakarta mencatat beberapa kendala konservasi hutan di Indonesia, diantarnya sebagai berikut:
a.    Pengurangan luas dan kualitas hutan, tekanan defisit pemenuhan produksi kayu, pertumbuhan populasi, kebakaran hutan dan belum memadainya peraturan dan implementasinya.
b.    Segmentasi pengelolaan sumberdaya hutan alam yang  berakibat pada eksploitasi berlebihan, sementara konservasi dianggap sebagai beban.
c.    Persepsi konservasi belum dimiliki oleh sebagian besar penentu kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan.
4.    Pengembangan 
Pengembangan kelestarian hutan, Abu Rizal Bakrie ketika masih menjadi Menko Perekonomian mencanangkan RPKK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan) yang di dalamnya memuat prioritas kebijakan dan strategi riset dan pengembangan teknologi, antara lain: 1). Insentif perpajakan bagi pengembangan riset dan pengembangan teknologi, 2). Pengadaan dana riset dan fokus riset jangka panjang berorientasi pada pemecahan masalah dan peningkatan daya saing, serta 3). Pengembangan kerjasama dan sinergi pemerintah, perguruan tinggi, swasta, dan lembaga riset (Leimena, 2003)
Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) adalah komitmen dan program Kabinet Indonesia Bersatu sebagai salah satu dari triple track strategy pembangunan nasional yaitu: stabilitas ekonomi makro yang medukung pertumbuhan ekonomi 6,5 persen per tahun; pembenahan sektor riil, khususnya UMKM, untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru; dan revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan untuk berkontribusi pada pengentasan rakyat dari kemiskinan. Dengan ketiga strategi ini ditargetkan berkurangnya tingkat kemiskinan dari 16,6 % tahun 2004 menjadi 8,2% tahun 2009 dan tingkat pengangguran turun dari 9,7% tahun 2004 menjadi 5,1% tahun 2009 (Salim. 1997)
Salah satu konsep pengembangan hutan yang menganut kaidah kelestarian dimana pelaksanannya harus memandang hutan sebagai satu kesatuan ekosistem, lengkap dengan keaneka ragaman hayati yang dikandungnya serta melibatkan partisipasi masyarakat sekitar hutan adalah Pengembangan Hutan Cadangan Pangan. Manfaat “Hutan Cadangan Pangan” adalah pelestarian hutan dapat dijaga, sumber-sumber air terpelihara, memunculkan sumber air baru, dan lahan kritis di sekitar hutan pun lama-lama dihijaukan dan dijadikan hutan baru. Beberapa model pengembangan hutan cadangan pangan diantaranya: Pertama, Agro-forestry, disamping tanaman pokok kehutanan, juga dilakukan budidaya komoditi penghasil bahan pangan sehingga areal hutan tersebut kaya dnegan berbagai jenis tanaman (sumber karbohidrat), kedua, Silvo-fishery, disamping tanaman pokok kehutanan ( khususnya pada areal hutan mangrove) juga dilakukan budidaya ikan serta komoditi pengairan lainnya sebagai sumber protein hewani, ketiga, Silvo-pasture, Pemanfaatan hutan dengan penanaman dan pengkayaan rumput dan hijauan makanan ternak sebagai upaya dalam rangka pemenuhan sumber protein hewani. Ketiga model konsep ini secara efektif melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung dalam sistem pengelolaan hutan, memberikan kontribusi secara real bagi kesejahteraan masyarakat, secara teknis maupun meningkatkan produktivitas sumberdaya hutan dan secara ekologis mampu menjamin kelestarian fungsi hutan. Untuk mewujudkan tuntutan pengelolaan terhadap kelesarian hutan secara adil dan berkelanjutan senantiasa menghadapi tantangan dan kendala yang terkait dengan hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan hutan. Kejelasan hak dan kewajiban yang ada pada masyarakat akan menumbuhkan suasana yang aspiratif dan partisipatif yang menempatkan masyarakat sebagaia basis pengelolaan hutan. Partisipasi masyarakat secara sadar akan berperan dan berfungsi dalam pengelolaan hutan yang lestari sehingga menjamin berkembangnya kapasitas dan pemberdayaan masyarakat serta distribusi manfaat hutan (Arief,1994). 

REFERENSI 
  1. Agus, 2012. Kehutanan Masyarakat. Penerbit IPB dan The Ford          Fundation. Bogor Departemen Kehutanan. 1986. Buku Informasi Nasional Indonesia. Bogor.
  2. Arkanudin, 2001. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 
  3. Departemen  Kehutanan 1999, Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Jakarta.  
  4. Arief A,1994 Hutan Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Penerbit. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.
  5. Arsyad.1997.pengawetan hutan, Departemen Ilmu-Ilmu hutan,Fakultas Pertanian Institut pertanian Bogor.
  6. Kasim, H 1990. Studi FaKtor-FaKtor Sosial Ekonomi Daiam Hubungan dengan Perladangan Di SUB DAS Pameran Kabupaten Luwu.  Skripsi Sarjana Universitas Hasanuddin Ujung Pandang.
  7. Leimena 2003.Studi Perladangan Berpindah Di Desa Mehalaan Kecamatan Mambi Skripsi Sarjana Fakultas dan Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar. 
  8. Michael R,1988.Sistem Perladangan di Indonesia.Suatu Studi Kasus dari Kalimantan Barat.Gajha Madha Univercity Press.Yogyakarta.  
  9. Mubyarto 1992. Hutan perladangan dan Pertanian masa depan pt. Aditya media Yogyakarta. 
  10. Salim. 1997. ‘Hutan dan perladangan berpindah ‘. Problematika dan strategi pemecahanya . Aditya Media, Yogyakarta
 

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda